Forest Watch Indonesia (FWI) berencana melaporkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) ke Bareskrim Mabes Polri. Pasalnya, kementerian tersebut belum melaksanakan putusan Mahkamah Agung untuk membuka informasi publik terkait data Hak Guna Usaha (HGU).
Padahal, putusan dengan nomor register 121 K/TUN/2017 tersebut telah diterbitkan Mahkamah pada Maret 2017 lalu. Opsi lainnya adalah mengadukan kasus ini kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal tersebut agar eksekusi putusan Mahkamah dapat diambil alih oleh pengadilan sehingga segera dilaksanakan oleh Kementerian.
Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI Mufti Barri mengatakan eksekusi putusan Mahkamah itu penting untuk menyelesaikan banyak persoalan hutan dan lahan. Sebab, berbagai masalah hutan dan lahan kerap terjadi di kawasan HGU.
(Baca: Balas Sindiran, BPN Prabowo Tagih Pengembalian Lahan Kubu Jokowi)
Berbagai masalah itu terkait tumpang tindih perizinan, konflik tenurial atau lahan berkepanjangan, hingga tingginya ancaman kehilangan hutan alam di Indonesia. “Ketertutupan HGU telah menimbulkan persoalan pada pemanfaatan hutan dan lahan,” kata Mufti di Jakarta, Senin (3/4).
Masalah itu muncul dari setiap tahap perizinan, mulai dari pelepasan kawasan hutan sampai dengan terbitnya HGU. Tanpa adanya keterbukaan data HGU, sulit untuk mengurai berbagai permasalahan tersebut. Karen itu, terbukanya dokumen HGU menjadi salah satu prasyarat utama dalam perbaikan tata kelola hutan dan lahan.
Sementara itu, Direktur Advokasi Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Arman Moehammad menyatakan tertutupnya data HGU menjadi pintu masuk penyebab perampasan wilayah adat. Banyak kawasan adat yang tiba-tiba ditetapkan menjadi kawasan hutan negara atau diberikan izin konsesi.
Masyarakat adat, kata Arman, baru mengetahui kalau kawasannya telah berpindah status setelah didatangi alat berat atau ada larangan beraktivitas. “Masyarakat adat tidak pernah tahu bagaimana proses penetapan wilayah adat menjadi kawasan hutan negara atau diberikan kepada konsesi,” kata Arman.
(Baca: KPA Nilai Reforma Agraria di Era Jokowi Belum Sesuai Target)
Hal tersebut kemudian membuat konflik antara masyarakat adat dan perusahan pemilik konsesi HGU. AMAN mencatat saat ini ada 313 ribu hektare dari 9,6 juta hektare wilayah adat yang tumpang tindih dengan izin-izin konsesi HGU.
Dari jumlah tersebut, 152 komunitas adat yang tengah berkonflik atas kepemilikan lahannya. “Ini yang terpublikasi informasinya ke AMAN, tapi banyak yang sulit terjangkau,” kata Arman.
Dia juga menilai tertutupnya data HGU berpotensi menimbulkan celah korupsi. Mengutip data Walhi pada Desember 2017, ada tambahan 389,5 ribu izin HTI baru dua tahun lalu. Dari jumlah tersebut, 2.509 izin dinyatakan tidak clean and clear. Sementara 3.788 izin mati, namun tidak dikembalikan kepada negara.
Meski demikian, para pemilik izin itu tetap beroperasi. “Lalu ke mana hasil produksi mereka? Karena tidak masuk ke kas negara, saya memastikan ada praktik korupsi di sana,” kata Arman.
Ombudsman Memediasi untuk Merumuskan Mekanisme Pembukaan Data HGU
Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih menilai tertutupnya data itu akan membuat kontrol terhadap HGU yang mau jatuh tempo menjadi sulit. Ombudsman mencatat ada 66 HGU yang akan jatuh tempo pada 2019 dan 84 HGU jatuh tempo pada 2020.
Alamsyah menilai HGU yang telah jatuh tempo bisa disalahgunakan oleh pemilik konsesi jika datanya tak dibuka. “Hanya bisa dianalisis kalau datanya dibuka. Itu kenapa informasi HGU harus dibuka,” kata Alamsyah.
Hanya saja, Alamsyah menilai data HGU memang tidak bsia dibuka secara ekstrem. Perlu ada mekanisme agar data yang dibuka nantinya tidak disalahgunakan.
(Baca: Ombudsman Desak Pemerintah Buka Data Kepemilikan Sertifikat HGU)
Karenanya, Ombudsman tengah memediasi Kementerian ATR/BPN bersama para pemangku kepentingan lainnya untuk merumuskan mekanisme pembukaan data HGU tersebut. “Harus dibuat agar tujuan informasinya tercapai, tapi membuatnya aman,” kata Alamsyah.