Memasuki penghujung pemerintahan, wacana reshsuffle Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhembus diiringi sederetan kasus korupsi dari sejumlah menteri.
Peneliti LIPI, Firman Noor, Jumat (3/5) mengemukakan bahwa secara umum reshuffle bertujuan sebagai upaya penyegaran dalam meningkatkan performa suatu pemerintahan. Perlunya penyegaran menurutnya tercermin dari kinerja ekonomi yang stagnan dan membebani pemerintahan.
Firman Noor juga menyebutkan terdapat empat alasan yang melatarbelakangi dilakukannya reshuffle. Pertama, performa dari menteri tertentu dalam menjalankan amanahnya dan output dari kebijakan yang banyak merugikan negara.
Kedua, soal integritas, yaitu ada track record kasus kriminal, korupsi, pelecehan dan aspek lainnya yang dapat merusak kredibilitas pemerintah. Ketiga, dapat dilihat dari loyalitas menteri terhadap presiden dan kebijakan yang digariskan oleh pemerintah. Terakhir unsur politis, yaitu perbedaan orientasi politik.
Isu yang berkembang saat ini, bukan karena faktor politis dan loyalitas, sebab sejumlah menteri masih dalam barisan yang sama. Indikator utama yang mendorong terjadinya perombakan kabinet ini adalah mengenai integritas dan performa.
“Aspek loyalitas tidak diragukan, kasarnya masih diatas 80% lah terhadap presiden. Jadi hal kuat yang mendasari terdapat dari indikator integitras dan performa” ujarnya.
Dari sisi ekonomi, Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal menyebutkan, reshuffle harus dilakukan mengingat kondisi ekonomi yang tak prima. Tercermin dari angka defisit transaksi berjalan yang mencapai titik terburuk dalam empat tahun terakhir pada 2018 lalu yang disebabkan memburuknya kinerja perdagangan non migas dan meningkatnya impor.
(Baca: Sinyal Reshuffle Kabinet di Ujung Masa Pemerintahan Jokowi - JK)
Bongkar Kabinet Kerja: Momentum Uji Kapasitas Kepemimpinan Jokowi
Reshuffle dipandang Firman menjadi keniscayaan karena sejumlah indikator. Pertama, integritas menteri yang dipertanyakan, karena ada dugaan kasus korupsi yang menimpa sejumlah menteri Kabinet Kerja.
Kedua, soal performa menteri yang banyak melakukan pekerjaan diluar bidang keahliannya dan memiliki kinerja yang buruk. Dalam sistem pemerintahan yang modern, seorang individu dituntut untuk menjadi ahli, sehingga pekerjaan yang dijalankan akan semakin baik jika dilakukan secara detail dan terstruktur.
"Seseorang yang mengerjakan banyak hal diluar amanahnya jelas tidak profesional, ujung-ujungnya tidak fokus terhadap pekerjaan utamanya," Firman.
Firman juga menyebutkan bahwa dalam sistem presidensial, presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan sehingga presiden seharusnya memiliki kuasa yang kuat atas pemerintahannya.
Apabila ada seorang menteri yang memiliki posisi kuat, maka akan mengurangi power presiden karena kebijakan yang dihasilkan akan berpotensi mengikuti bayang-bayang orang lain.
“Fenomena ini tidak lazim di sistem pemerintahan yang mempunyai kredibilitas tinggi, apalagi dengan posisi yang hanya seorang Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman. Menteri yang mengerjakan segala urusan yang tidak sesuai jobdesk jelas tidak profesional,” Ujar Firman.
Ia menjelaskan bahwa saat ini merupakan momentum yang tepat bagi Jokowi untuk mendisiplinkan kabinetnya. Selain itu juga dapat menepis tuduhan bahwa Jokowi merupakan boneka partai dan dikendalikan bayang-bayang orang lain. Bayang-bayang tersebut juga dapat dilihat dalam menteri lainnya.