Serukan Perdamaian, 9 Pemimpin Muda Minta Prabowo Ikut Proses yang Sah

Wahyu Dwi Jayanto|KATADATA
(ki-ka) Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, Wagub Jatim, Emil Dardak, Gubernur NTB, Zulkiflimansyah, Bupati Banyuwangi, Azwar Anas, Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, Walikota Bogor, Bima Arya, Walikota Tangsel, Airin Rachmi Diany, Gubernur Jabar, Ridwan Kamil, Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah dan Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute, Agus Harimurti Yudhoyono berfoto bersama dalam acara Silaturahmi Bogor untuk Indonesia di Bogor, Jawa Barat, Rabu, (15/5/2019).
Penulis: Fahmi Ramadhan
16/5/2019, 02.43 WIB

Sejumlah tokoh muda nasional hadir dalam diskusi tertutup yang bertajuk 'Silaturahmi Bogor Untuk Indonesia'. Acara berlangsung di Museum Kepresidenan Balai Kirti, Bogor, Jawa Barat, Rabu, (15/5) sore. Para tokoh berkumpul membahas keadaan pasca-Pemilu 2019 baik pemilihan presiden (Pilpres) maupun pemilihan legislatif (Pileg).

"Kami semua hari ini dipersatukan oleh suatu hal yang sangat penting, bahwa kita cinta Indonesia dan cinta perdamaian. Kami ingin Indonesia yang damai," kata Walikota Bogor Bima Arya, saat konferensi pers usai pertemuan tersebut.

(Baca: Bertemu Relawan, Sandiaga Berpesan Agar Kawal Pemilu Dengan Damai)

Dalam acara tersebut turut hadir tokoh-tokoh seperti Direktur eksekutif Yudhoyono Institute, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur NTB Zulkieflimansyah, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Walikota Tanggerang Selatan Airin Rachmi Diany.

Sejatinya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan turut diundang, namun karena harus memimpin agenda di internal pemerintah provinsi (Pemprov), maka Anies urung datang.

Terkait konteks politik, AHY, Zulkieflimansyah dan Bima Arya merupakan tokoh dari partai yang pada Pemilu 2019 berkoalisi dengan pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (Prabowo-Sandiaga). Hal itu berbanding terbalik dengan beberapa tokoh yang hadir, yang merupakan adalah pendukung Jokowi-Ma'ruf.

Ia pun menanggapi santai hal tersebut, dengan menyebut karena terkait urusan bangsa dan negara, masing-masing tokoh yang hadiri ini lupa dari partai mana. "Semua ditujukan pada persoalan bangsa bersama," katanya.

Di tempat yang sama, Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo mencoba menjawab keresahan masyarakat pada saat ini. "Justru karena situasi dan kondisi yang ada di Jakarta ini kami berkumpul, untuk menunjukan pada masyarakat bahwa kami ini bersahabat," jelasnya.

(Baca: Hendropriyono Minta Provokator Berhenti Hasut Masyarakat)

Tokoh-Tokoh Serukan Prabowo Sebaiknya Tempuh Mekanisme yang Berlaku

Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid mengimbau semua pihak menghormati proses Pemilu 2019. Menurutnya, jika memang  ada ketidakpuasan terkait hasil Pemilu 2019, maka sudah sewajarnya untuk mengajukan keberatan melalui mekanisme yang berlaku.

Imbauan tersebut ia utarakan karena akhir-akhir ini indikasi pergerakan massa yang menyuarakan ketidakpuasan terhadap hasil Pemilu 2019, terus menguat. Ia khawatir, pengerahan massa akan dibalas dengan pengerahan massa juga, yang akhirnya menimbulkan konflik.

Dirinya pun mengungkapkan tidak ingin hal tersebut terjadi . "Padahal kan sudah ada mekanisme damai yang telah disepakati bersama," ujar Yenny.

Terkait istilah people power, Yenny menyebut istilah tersebut sudah muncul sedari lama, pernah pula terjadi tahun 1998 silam. Namun, menurut Yenny people power dulu dan sekarang kondisi sosial politiknya jelas berbeda. "People power saat ini hanya dikarenakan persoalan residu pilpres, jelas berbeda dengan dulu," ungkapnya.

Ia menjelaskan, jika artian people power hanya dalam konteks menghimpun massa jelas tidak dilarang, bahkan dijamin Undang-Undang (UU). Namun, jika pengerahan massa dimaksudkan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, itu sudah bentuk tindakan melanggar konstitusional. "Definisinya harus jelas, people power seperti apa," sebutnya.

Sementara, AHY yang juga merupakan Komandan Satuan Tugas Bersama Partai Demokrat, mengungkapkan keheranannya apabila ada pihak yang secara terang-terangan tidak mempercayai dan menolak hasil Pemilu 2019.

Menurutnya, mekanisme Pemilu 2019 yang dijalankan ini merupakan kesepakatan dari kedua kubu, baik paslon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin (Jokowi-Ma'ruf) dan Prabowo-Sandiaga, beserta parta-partai yang mendukung kedua paslon ini. Sehingga, apabila ada salah satu yang tidak mempercayai mekanisme Pemilu 2019, menurutnya aneh.

"Kalau tidak mau menggunakan mekanisme Pemilu kenapa disepakati dari awal? Kalau maunya turun ke jalan, kenapa harus ada pemilu, kenapa ada pileg? Langsung aja turun ke jalan. Ini kan negara hukum," cetus AHY.

(Baca: Tolak Hasil Hitung KPU, Prabowo dan Sandi Minta Pendukung Berjuang)

Ia menegaskan, bahwa Partai Demokrat tetap memegang teguh jalur yang memang sudah disediakan yakni jalur konstitusional. Partai Demokrat pun ia katakan aktif mencegah elemen-elemen di internal partai melanggar konstitusi.

Ia melanjutkan, kalaupun memang ada kecurangan, Partai Demokrat ia katakan tetap berkomitmen menjunjung tinggi norma dan etika dalam kancah perpolitikan dalam berdemokrasi.

AHY mengakui bahwa suasana politik saat ini tengah rumit, ia juga menyebut bahwa dinamika politik memang selalu diwarnai permasalahan yang akan terus terjadi. Namun, bukan berarti permasalahan dalam Pemilu tidak ada solusinya.

Mekanisme hukum yang telah disusun itulah yang ia sebut sebagai solusi dari segala permasalahan serta ketidakpuasan dalam berpolitik. "Masih tersedia ruang proses yang bisa dilalui, tiga hari setelah tanggal 22 Mei bisa mengajukan gugatan ke MK, tentu dengan disertakan buktinya," pungkasnya.

(Baca: Gerakan People Power, Siasat Terakhir Prabowo Jelang 22 Mei)

Reporter: Fahmi Ramadhan