Tokoh Ulama Aceh Ajak Masyarakat Terima Hasil Pemilu 2019

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Petugas PPSU dan PPK tengah membereskan logistik Pemilu 2019 di Kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat (15/4).
Penulis: Muchamad Nafi
19/5/2019, 16.05 WIB

Kalangan ulama Aceh mengajak masyarakat serta semua pihak menerima hasil Pemilu 2019 yang akan ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Mei mendatang. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Tgk H Faisal Ali menyatakan merupakan kewajiban bersama menerima hasil pesta demokrasi tersebut.

Menurut Faisal, proses pemilu sudah selesai dan berjalan demokratis. Karena itu, dia berharap tidak ada upaya memprovokasi masyarakat untuk melanggar hukum. “Tidak boleh. Itu hal yang salah. Pemilu sudah selesai. Apa pun hasilnya harus diterima karena semuanya merupakan pilihan rakyat,” kata Faisal di Banda Aceh, Minggu (19/05/2019).

Faisal Ali yang akrab disapa Lem Faisal mengatakan, Pemilu 2019 terlaksana dengan sukses dan damai. Masyarakat juga sudah memberikan hak pilihnya. Rekapitulasi penghitungan hasil perolehan suara juga sudah dilakukan secara berjenjang. Dalam proses ini juga melibatkan saksi, pengawasan, serta pihak terkait lainnya.

Oleh karenanya, hasil pemilu yang akan ditetapkan oleh KPU pada 22 Mei mendatang wajib diterima. “Proses pemilu ini berjenjang, ada saksi, ada pengawas, serta pihak terkait lainnya. Sudah menjadi kewajiban bagi peserta pemilu maupun masyarakat menerima hasilnya,” ujar Lem Faisal.

(Baca: Antisipasi Teror di Aksi 22 Mei, Polri Datangkan Personil dari Daerah)

Menurut dia, jika ada pihak yang tidak menerima, bisa menggunakan jalur yang diatur oleh negara dan tidak memprovokasi masyarakat. Langkah ke depan perlu upaya untuk bersatu kembali dan tidak lagi terpecah hanya karena perbedaan politik.

Sebelumnya, sejumlah tokoh Islam di Kalimantan Selatan (Kalsel) juga menolak segala ajakan untuk mengerahkan massa secara besar-besaran atau people power untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. KH Asmuni, misalnya, menyatakan pemerintahan yang sah tidak bisa digoyang hanya karena pihak yang tak sejalan kalah dalam pemilu.

Bagi Guru Danau, begitu dia biasa disapa, menggoyang pemerintah dalam konteks ini berarti melanggar hukum. Karena itu dia mengimbau masyarakat tidak mudah terprovokasi.  “Masyarakat di sini sungguh sangat menolak bermacam politik untuk menggulingkan pemerintah. Jadi kami tolak mentah-mentah,” kata Guru Danau kepada Antara Minggu (12/5/2019).

Ulama kharismatik ini, yang dikenal sejuk dalam setiap ceramahnya, berharap bangsa Indonesia tidak terpecah akibat kepentingan politik yang hanya urusan duniawi. Hal itu yang dia tekankan setiap berdakwah, terutama di sejumlah pondok pesantren yang ia kelola, seperti Pondok Pesantren Darul Aman di Pajukungan, Amuntai.

(Baca: Tokoh Islam Kalimantan Selatan Tolak People Power Usai Pemilu)

Seruan senada disampaikan KH Abdul Bari. Pengasuh Pondok Pesantren Asy-Syafi'iyah Sungai Pandan, Alabio Kabupaten Hulu Sungai Utara ini menolak keras people power karena bertentangan dengan demokrasi di negara Indonesia.

“Kami ingin daerah aman dan kondusif, sehingga menerima hasil keputusan KPU nanti,” tegas ulama yang juga anggota Dewan Pertimbangan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Hulu Sungai Utara itu.

Reporter: Antara