Sutopo Purwo Nugroho, Pejuang Bencana dan Kanker yang Telah Tiada

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Kepala Humas dan Pusat Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho meninggal pada pagi tadi sekitar pukul 02.20 waktu Guangzhou, Tiongkok, atau pukul 01.20 WIB.
Penulis: Sorta Tobing
7/7/2019, 12.44 WIB

Ketika terjadi bencana alam, Sutopo Purwo Nugroho menjadi orang pertama yang dicari awak media. Keterangannya akurat, penjelasannya tidak njelimet, dan update. Warganet pun melakukan hal serupa. Akun Twitternya, @Sutopo_PN menjadi rujukan informasi terkini soal bencana alam. Kala ada kabar bohong soal bencana yang meresahkan masyarakat, Sutopo dengan sigap menangkisnya.

Tapi sekarang sosok yang kerap disebut Pejuang Bencana itu telah tiada. Ia meninggal pagi tadi, Minggu (7/7), di Guangzhou, Tiongkok. Perjuangannya berakhir setelah hampir dua tahun melawan kanker paru-paru stadium 4B. Awalnya, ia berencana menjalani pengobatan selama sebulan di sana. Namun, Tuhan berkehendak lain. Sutopo wafat di usia 49 tahun dan meninggalkan seorang istri serta dua orang putra.

Kepala Humas dan Pusat Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ini bukan perokok. Tubuhnya bugar. Rajin berenang dan fitness. Sayur dan buah menjadi makanannya sehari-hari. Anak pensiunan guru ini tak memiliki garis keturunan langsung yang terkena kanker.

Saat berjumpa dengannya pada November lalu, banyak awak media yang telah menanti untuk mewawancarainya. Keluar dari lift di lantai 12 Graha BNPB, Jakarta Timur, Sutopo berjalan pelan menuju ruang kantornya. Pundaknya sudah miring kala itu. Yang kiri posisinya lebih rendah daripada yang kanan. Kanker sudah menggerogoti tulang belakangnya.

Di dalam ruang kantornya, banyak surat dan obat-obatan yang dikirim dari masyarakat. Ada kapsul ular, madu herbal, plasenta rusa, dan lainnya. Setiap hari ia mencoba membuka surat itu satu per satu. Semua rata-rata mendoakan untuk kesembuhannya.

Sutopo memilih hanya meminum kapsul plasenta rusa. Harganya mahal. Satu paket mencapai Rp 5 juta. Tapi sebenarnya, ia lebih percaya pengobatan medis, selain juga spiritual.

Tanpa perlu bertanya, Sutopo tahu saya pasti ingin menanyakan soal penyakitnya. Ia langsung menceritakan kondisinya. “Fisik saya sudah lemah sekali,” katanya.

Ia tak bisa tidur, susah makan, harus meminum obat penghilang rasa sakit, dan mudah lelah. Kadang ia muntah setelah memakai koyo berisi morfin. Tapi ia memilih beraktivitas seperti biasa. Kalau di rumah saja, ia mengatakan, malah jadi kepikiran dan terbayang kematian.

Saat pertama kali menerima kabar dirinya terkena kanker paru-paru stadium 4B, Sutopo mengaku terkejut. Lalu, ia marah dan kecewa. Wajah istri dan dua anaknya langsung terlintas dalam pikirannya. Padahal saat itu ia sedang di puncak karier. Media asing pun memuji caranya menyampaikan informasi bencana.

Ia banyak meraih penghargaan dalam bidang kehumasan. The First Responders dari media The Straits Times ia raih pada November lalu. Lalu, ia juga menerima penghargaan bidang Komunikasi Bencana Alam, Ikatan Ahli Geologi Indonesia Award pada 2018. Di tahun sebelumnya ia juga mendapat Outstanding Spokeperson dari The Jakarta Foreign Correspondents Club.

Setelah mengikuti kegiatan pesantren di Malang, Jawa Timur, ia hasilnya bisa nrimo dengan penyakit yang awalnya hanya batuk-batuk biasa itu. Sutopo tak lagi bertanya-tanya mengapa ia sakit. Tapi ia menghadapinya dengan optimsitis. Ia yakin akan sembuh, menjadi penyintas kanker.

Sutopo BNPB (ANTARA)

Sutopo Bertemu Raisa dan Jokowi

Awal menjadi juru bicara di BNPB, Sutopo mengaku tak berminat sama sekali bekerja di bidang kehumasan. Ia meyakini dirinya lebih tepat sebagai peneliti, profesi awalnya ketika bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Apalagi ia sudah meraih gelar doktor bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor pada 2010.

Namun, di tahun yang sama, ia malah diminta mengabdi di BNPB. Sutopo mau-tak mau belajar dari nol soal komunikasi dan cara menulis dengan baik. Lalu, ia melihat media yang paling aktif menjangkau masyarakat, yaitu media sosial.

Sutopo sangat memanfaatkan akun Twitternya. Pengikutnya mencapai lebih 235 ribu orang. Kicauannya sudah mencapai 13 ribu. Ia sadar tak mungkin memakai bahasa teknis, bahkan untuk menjelaskan soal likuifaksi pasca gempa di Palu, Sulawesi Tengah. Bahasanya sederhana, memakai guyonan khas milenial, dan kadang memenggal lirik lagu Raisa.

Pria kelahiran Boyolali, 7 Oktober 1969 itu mengaku senang dengan lagu-lagu Raisa. Bahkan hafal hampir semua lagunya. Ia tersenyum ketika ingat warganet membuat tanda pagar #raisameetsutopo yang sempat menjadi trending topic. Perjumpaan itu akhirnya terwujud pada November lalu saat menghadiri wawancara khusus sebuah media nasional.

Semua cuitan, caption di Instagram, hingga rilis media, Sutopo memilih menuliskannya sendiri. Setiap tahun, ia mengaku membuat 300-600 rilis. Tak pernah memakai jasa admin karena ia tak mau gaya penulisannya berubah.

Momen yang berkesan bagi Sutopo adalah ketika bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tokoh ini menjadi salah satu idolanya, bahkan sejak Jokowi masih menjadi Walikota Solo.

Kesempatan untuk melihat sosok orang nomor satu di Indonesia itu pernah beberapa kali terjadi dalam kehidupan Sutopo. Tapi peristiwa berjumpa, bersalaman, dan berbicara empat mata baru bisa terwujud pada Oktober lalu. Ketika itu, Jokowi mengundang Sutopo datang ke Istana Bogor. Presiden mengucapkan terima kasih untuk kerja Sutopo dan mendoakan untuk kesembuhannya.

(Baca: Puja Puji Sutopo ke Jokowi Usai Dapat Hadiah Foto Jelang Ulang Tahun)

Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MDMC) Budi Setiawan menyampaikan duka cita yang mendalam atas meninggalnya Sutopo. “Kita semua kehilangan atas meninggalnya Pak Topo," kata Budi melalui pesan tertulis seperti dikuti Antara.

Ia mengatakan, Sutopo tetap menyampaikan berita-berita kebencanaan secara cepat dan akurat meskipun dalam keadaan sakit. Menurut Budi, hal itu sangat penting karena kerap kali terjadi informasi yang simpang siur tentang bencana yang yang terjadi. "Pak Topo secara cepat memberikan berita yang lugas dan bisa cepat diterima," tuturnya.

Budi mendoakan Sutopo meninggal secara khusnul khotimah dan dapat lahir "Sutopo-Sutopo" baru dalam penginformasian kebencanaan di Indonesia.

Sebelum sakit, Sutopo sempat mendirikan museum dan pusat informasi bencana alam yang letaknya tak jauh dari ruang kantornya. Ia mengatakan, menata sendiri informasi apa saja yang patut diberikan kepada pengunjung. Ada diorama, peta, dan bagan interaktif. Barang-barang yang tertimbun abu Gunung Merapi, Yogyakarta pun bisa dilihat oleh pengunjung.

Museum ini seolah menjadi karya pamungkas Sutopo. Seluruh pengabdian hidupnya dapat dilihat di sana. Selamat jalan, Pak Topo. Terima kasih untuk perjuangannya.