JAKARTA – Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menegaskan dia selalu mengeluarkan kebijakan berdasarkan riset atau minimal kajian sederhana. Sebelum mengeluarkan kebijakan, semua dipertimbangkan berdasarkan data dan fakta yang ada di lapangan.
Risma, begitu Tri Rismaharini biasa disapa, bercerita saat memutuskan untuk menutup lokalisasi Dolly misalnya, dia menerjunkan pegawai-pegawai dinas wanita. Para bawahannya dia minta langsung mendatangi Dolly untuk menemui para wanita tunasusila atau pekerja seks komersial (PSK) di kawasan tersebut.
“Pegawai saya, saya khusus memilih yang wanita, hampir setiap hari datang untuk melakukan survei. Mereka berbicara dengan dengan PSK di Dolly dan menanyakan hal-hal seperti mengapa mereka melakukan itu, apakah karena masalah ekonomi, sudah berapa lama mereka melakukannya, dan lain sebagainya. Dari hasil survei itulah kemudian baru saya memutuskan bahwa Dolly memang harus ditutup,” kata Risma dalam forum publik bertajuk “Mencari Model dan Pengelolaan Dana Riset untuk Indonesia” di Jakarta, Rabu, 31 Juli 2019.
Forum ini merupakan hasil kerja sama antara Katadata dan Knowledge Sector Initiative (KSI) yang didukung oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia. Selain Wali Kota Risma, forum ini juga menghadirkan Charge d’Affaires Kedutaan Australia untuk Indonesia Allaster Cox, Deputi II Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Kepala Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto, Associate Professor at Division of Economics, Nanyang Technological University, Singapura, Yohanes Eko Riyanto, dan Chief of Data Officer OVO Vira Shanty.
Setelah resmi ditutup pada 18 Juni 2014, menurut Risma, sekarang wajah Dolly sudah berubah sama sekali. Warga Dolly sekarang banyak menghasilkan barang-barang, seperti sandal hotel yang banyak dipesan hotel-hotel di Jakarta atau batik yang sering dipesan desainer-desainer, juga dari Jakarta.
Selain penutupan Dolly, Risma juga mendasari kebijakannya untuk membuat Kota Surabaya menjadi lebih lestari, sehat, dan ramah lingkungan, juga berdasarkan hasil penelitian. Untuk menjadikan sungai dan kali-kali yang ada di Surabaya menjadi bersih dan indah seperti sekarang misalnya, Risma menggunakan riset yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang ada di kotanya.
“Saya bertanya ke para peneliti, tanaman apa yang kira-kira yang cocok untuk bisa menekan banjir atau tanaman apa yang cocok untuk bisa menekan polusi,” Risma menambahkan.
Dari hasil penelitian-penelitian itu, menurut Risma, Kota Surabaya yang dulu dikenal suka banjir, sekarang sudah tidak banjir lagi. Atau dulu dikenal sebagai kota yang panas, kini udaranya sudah lebih bersahabat. Pemerintah kota telah bekerja sama dengan perguruan tinggi negeri maupun swasta yang ada di kota itu untuk menjadikan Surabaya sebagai kota yang lebih nyaman bagi warganya. Kini, Kota Surabaya memiliki jalur hijau seluas 35 hektare, taman kota di 420 lokasi seluas 133 hektare, serta hutan-hutan mangrove.
Bahkan untuk mengatasi masalah sampah, pemerintahannya berhasil melakukan program bank sampah dengan perputaran uang sebesar Rp 145 juta per bulan dan mengurangi sampah organik 7,14 ton per minggu. Dari limbah sampah itu juga berhasil dibangun pembangkit listrik tenaga sampah di tiga tempat, yaitu di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo yang menghasilkan listrik 2 megawatt, Rumah Kompos Bratang dengan kapasitas listrik 2 kilowatt, dan di Kebun Bibit Wonorejo dengan kapasitas 4 kilowatt.
“Dengan begitu, masalah sampahnya teratasi dan malah bisa menghasilkan listrik,” kata Risma. “Semua yang saya lakukan selalu berdasarkan riset, minimal kajian sederhanalah.”
Meskipun demikian, menurut Risma, Pemerintah Kota Surabaya sebenarnya tidak menyediakan dana khusus dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk membiayai penelitian. Dana yang digunakan adalah dana operasional dalam APBD yang dialokasikan untuk dinas-dinas pemerintah kota.
“APBD Pemerintah Kota Surabaya itu kecil sekali dibandingkan dengan APBD Pemerintah DKI Jakarta. APBD Tahun Anggaran 2019 hanya Rp 9,5 triliun, sementara Jakarta Rp 89,08 triliun,” kata Risma
Dengan dana sebesar Rp 9,5 triliun itu, menurut Risma, Surabaya kini memiliki jalan baru sepanjang 250 kilometer, 2.500 perpustakaan baru, 110 sekolah baru, serta 70 taman dan 70 lapangan olahraga baru setiap tahun.
Kepala Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto mengungkapkan, tidak banyak pemimpin daerah yang terbuka terhadap hasil-hasil penelitian atau kajian ilmiah. Kota Surabaya beruntung karena memiliki Tri Rismaharini sebagai wali kota.
“Surabaya sangat beruntung punya Bu Risma karena memiliki perangai ilmiah, yaitu semua kebijakan yang ada hukan hanya berbasiskan opini, ideologi, dan politik, tapi berbasiskan riset. Ibu Risma juga tipe pemimpin yang terbuka untuk hasil-hasil riset dan hal-hal baru,” kata Teguh pada kesempatan sama.
Dari sekian banyak pemimpin di Indonesia ini, menurut Teguh, tidak banyak pemimpin seperti Risma yang memiliki perangai ilmiah. Artinya, terbuka dengan hasil riset dan ada evaluasi sebelum dan sesudah proses pengambilan kebijakan.