Catatan Sejarah Gempa Bumi yang Pernah Mengguncang Bali

ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF
Ilustrasi. BMKG menginfokan dua kejadian gempa bumi di Bali pagi tadi, Senin (12/8). Lokasinya di barat daya Jembrana. Gempa pertama bermagnitudo 4,9. Kemudian lindu kedua terjadi 43 menit kemudian dengan magnitudo 5,0.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Sorta Tobing
12/8/2019, 17.37 WIB

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) lewat cuitan di akun Twitternya pagi tadi menginfokan kejadian gempa bumi di Bali. Dalam satu jam, wilayah Bali bagian barat, Jembrana, diguncang dua lindu sekaligus.

Gempa pertama bermagnitudo 4,9 berpusat di 59 kilometer (km) barat daya Jembrana pada kedalaman 82 km di atas permukaan laut, yang terjadi pada pukul 05.08.16 WIB. Lalu, 43 menit kemudian, gempa kedua terjadi dengan magnitudo 5,0 berpusat di 181 km barat daya Jembrana pada kedalaman 10 km.

Keduanya terjadi akibat adanya aktivitas dua lempeng bumi yang membentang di sepanjang selatan Jawa hingga Bali, "Gempa bumi berkedalaman dangkal ini diakibatkan oleh aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia yang menyusup ke bawah Lempang Eurasia," tulis Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, dalam rilisnya, Senin (12/8).

Laporan BMKG juga menunjukkan hingga pukul 06.12 WIB, telah terjadi tiga gempa susulan yang menggetarkan Jembrana. Meski tidak berpotensi menimbulkan gelombang tsunami, getarannya juga dirasakan sampai Denpasar, Kuta, Banyuwangi dan Jember.

Berselang dua jam, BMKG kembali merilis kejadian gempa dengan magnitudo 3,0 di Gunung Kidul, Yogyakarta. Gempa pagi ini berasal dari getaran yang berpusat di 12 km arah barat laut dengan kedalam 10 km di atas permukaan laut.

(Baca: Bali Diguncang Dua Kali Gempa, Tak Ada Kerusakan)

Pantauan BMKG Yogyakarta, hingga pukul 08.00 WIB telah terjadi beberapa kali gempa susulan. Getaran ini terjadi akibat adanya aktivitas dari sesar lokal, namun tak ada potensi kerusakan yang signifikan.

Gugusan pulau di Indonesia yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia memang kerap mengalami gempa. Di sinilah tempat pertemuan dua lempeng dunia, yaitu Indo-Australia dan Eurasia, sehingga sering memicu aktivitas subduksi atau penunjaman hingga terjadilah gempa.

Wilayah Bali, dalam rentan sebulan terakhir telah mengalami tiga kali lindu karena aktivitas lempeng itu. Yang pertama pada Selasa pagi, 16 Juli lalu, dengan kekuatan 6,0 M dan berpusat di 83 km arah barat daya Nusa Dua, Bali, di kedalaman 68 km.

Kemudian, gempa kembali terjadi pada Rabu malam, 24 Juli 2019. Kekuatan gempa ini mencapai 5,3 M dan berpusat di 198 km barat daya Nusa Dua dengan kedalaman 10 km. Dan yang terakhir adalah pagi tadi di Jembrana.

(Baca: Gempa Bumi Magnitudo 5,3 Guncang Laut Sulawesi Utara)

Gempa dan Tsunami di Bali

Bali memiliki kondisi geologis unik. Posisinya yang dekat dengan pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia membuat provinsi itu kerap mengalami gempa di wilayah selatan. Adanya sesar naik Flores di timur laut juga bertanggung jawab terhadap aktivitas lindu di kawasan utara dan timur Pulau Dewata.

Aktivitas gempa pada sebulan terakhir di kawasan wisata andalan Indonesia ini sebenarnya bukanlah yang paling parah. Berdasarkan katalog gempa periode 1538-1877 yang disusun oleh ahli geologi dan mineral asal Jerman, Arthur Wichmann pada tahun 1918, Bali pernah dilanda gempa berkekuatan 7 M pada 22 November 1815.

Gempa yang terjadi dua abad silam itu bukan hanya mengakibatkan kerusakan, di saat yang sama ombak tsunami menggulung wilayah pesisir Bali bagian utara. Kejadian dahsyat ini sering diperingati oleh masyarakat sekitar sebagai “Gejer Bali” alias Bali bergetar.

(Baca: Pemerintah Bakal Bentuk Badan Khusus untuk Kelola Dana Bencana)

Gempa kala itu diperkirakan juga terasa hingga Surabaya di wilayah barat dan Lombok dan Bima di belahan timur. Berdasarkan catatan Badan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) Amerika Serikat, kejadian Gejer Bali telah mengakibatkan 1.200 orang meninggal akibat gempa dan terjangan tsunami.

Catatan sejarah lainnya oleh AAN Sentanu yang diarsipkan di Museum Puri Ayodya Buleleng, Bali, menunjukkan, saat itu wilayah terdampak adalah kawasan pusat kerajaan Buleleng di Singaraja.

Dalam penanggalan tradisional, Gejer Bali terjadi pada hari Rabu Umanis Kurantil tahun Saka 1737. Singaraja yang saat itu merupakan pusat pemerintahan sekaligus pemukiman yang sentral kemudian luluh lantah akibat gempa. Bahkan dalam naskah sejarah itu juga menyebutkan gempa mengakibatkan pegunungan retak hingga longsor dengan suara yang keras menyerupai guntur.

Arsip sejarah lainnya tentang kejadian ini juga tercatat dalam kejadian sejarah milik kerajaan-kerajaan di Bali atau Babad. Dua Babad yang tersimpan di Museum Gedung Kirtya, yaitu Babad Ratu Panji Sakti  dan Babad Buleleng menyebutkan, pasca kejadian gempa pegunungan yang menjulang di wilayah Singaraja kemudian longsor, disusul datangnya gulungan air bah yang menghanyutkan kawasan pesisir.

Selain itu, Bali bagian utara juga pernah diguncang gempa berkekuatan 7 M pada abad yang sama. Tepatnya pada 13 Mei 1857. Meski berkekuatan sama dengan gempa sebelumnya, namun dilaporkan korban meninggal lebih sedikit, yaitu 36 orang.

(Baca: Mewaspadai Potensi Gempa Bumi Besar di Selat Sunda)

Pada 14 Juli 1976 gempa berkekuatan 6,5 M mengguncang wilayah barat daya Pulau Dewata. Lindu ini menyebabkan 90% rumah-rumah di Kabupaten Buleleng rusak parah.

Sebuah sekolah di Kecamatan Seririt runtuh dan menyebabkan 200 siswa terjebak di dalamnya. Kejadiannya begitu mencekam sehingga lindu ini kerap disebut Gempa Seririt.

Akibat gempa itu, sebanyak 573 orang meninggal. Empat ribu lainnya menderita luka-luka dan 450 ribu orang tak memiliki tempat tinggal.

Catatan sejarah gempa di Bali paling parah banyak terjadi di wilayah utara. Namun, banyak pula kejadian-kejadian gempa yang berpusat di wilayah selatan.

Gempa akibat subduksi lempeng di kawasan selatan yang terparah pernah terjadi pada Kamis pagi, 13 Oktober 2011. Lindu berkekuatan 6,8 skala Richter mengakibatkan kerusakan sedang di wilayah Nusa Dua, Bali dengan laporan puluhan orang luka-luka. Aktivitas tektonik tersebut berpusat di lautan dengan jarak 143 km arah barat daya Nusa Dua, Bali, pada kedalaman 10 km.

Penulis: Abdul Azis Said (Magang)