Ombudsman Republik Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan Rancangan Undang-Undang Pertanahan belum mampu mengakomodir konflik-konflik agraria sehingga pembahasannya perlu dihentikan. Rencananya Dewan Perwakilan Rakyat akan mengesahkan RUU Pertanahan pada September ini.
Anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih menyebutkan berdasarkan data yang dihimpun dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPR dengan Komisi II pada 20 Agustus 2019, konflik agraria menempati urutan pertama. Jumlah kasus pertanahan pada 2015 hingga 2019 sebanyak 4.806 laporan.
“Konflik-konflik terkait pertanahan ini masih kerap terjadi. Nah lalu kami lihat, apakah Undang-Undang ini nantinya bisa mereduksi konflik-konflik yang ada? Saya yakin tidak karena UU yang mengatur lebih masuk ke UU Pembangunan ,” kata Alamsyah di Jakarta, pada Senin (9/9).
(Baca: JK: Revisi UU Pertanahan untuk Akomodir Investasi dan Hak Masyarakat)
Berdasarkan data RDP tersebut, kasus maladministrasi yang paling tinggi selama periode Januari hingga Juni 2019 merupakan proses Sertifikat Hak Milik (SHM) sebanyak 128 laporan. Ini diikuti dengan 96 laporan tentang penerbitan sertifikat, dan 46 laporan tentang ganti rugi dan pembebasan tanah.
Ombudsman menyebutkan terdapat lima akar masalah dalam maladministrasi pertanahan di Indonesia. Lima akar masalah tersebut yakni, ketidakpatuhan administrasi pendaftaran tanah, proses administrasi tanah barang milik negara yang tidak jelas, integritas peradilan yang buruk, pembatasan penguasaan lahan dan sistem redistribusi yang buruk, serta penyeludupan hukum.
“Hal-hal ini yang menjadi poin penting yang harus mampu diakomodir RUU,” kata dia. (Baca: Ditargetkan Rampung 2019, RUU Pertanahan Atur Hak di Bawah Tanah)
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Sartika menyebutkan RUU Pertanahan ini perlu dikaji lebih dalam karena isi RUU berpotensi menimbulkan konflik agraria.
“RUU Pertanahan ini tidak berniat menyelesaikan konflik agraria struktural di semua sektor seperti konflik perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan konflik akibat pembangunan infrastruktur dan properti dan lain-lain yang memperbesar potensi terjadinya konflik,” kata Dewi.
RUU Pertanahan dianggap menyederhanakan konflik-konflik agraria yang bersifat struktural menjadi sengketa perdata pertanahan. Dewi juga mengatakan bahwa akan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan peradilan umum atau peradilan tata usaha negara apabila pemerintah membiarkan RUU ini disahkan.
Berdasarkan catatan KPA, dari tahun 2015-2018 terdapat 1.771 konflik agraria dengan kasus terbanyak yakni 642 kasus dari sektor perkebunan. Konflik perkebunan ini juga melibatkan perusahaan negara dan swasta dengan rincian 127 kasus pada 2015, 162 kasus (2016), 208 kasus (2017), dan 114 kasus (2018).
(Baca: Pembahasan RUU Pertanahan Terancam Ditunda)
“RUU Pertanahan ini bahkan bertentangan dengan UUD 1945 dan UUPA 1960. Pemerintah dan DPR mengklaim RUU ini melengkapi UUPA, nyatanya justru menggantikan,” kata dia.
Sedangkan menurut Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Badan Pertahanan Nasional (BPN) Yagus Suyadi menyatakan pihak pemerintah secara substansi mendukung pengesahan RUU Pertanahan. Ia mengatakan pemerintah sempat mengusulkan menghapus RUU ini namun setelah pengkajian lebih lanjut, pemerintah mendukung usulan inisiatif DPR.
Beberapa kementerian seperti Kemendagri, Kemenkumham, Kementerian PUPR, Kementerian Kelautan, Kementerian LHK serta Kementerian ESDM menjadi wakil pemerintah dalam memberikan tanggapan dalam pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari DPR. "Pembahasan ini agar substansinya lebih komplit lagi,” kata Yagus.
(Baca: Potensinya 400 Ribu Hektare, Bank Tanah Diusulkan Masuk RUU Pertanahan)
Reporter: Dorothea Putri (Magang)