Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menilai paspor milik aktivis HAM Veronica Koman bisa dicabut. Apalagi jika Veronica benar disangkakan melanggar hukum.
Selain itu, pencabutan paspor Veronica dapat dilakukan jika pengajuannya berasal dari institusi penegak hukum. "Kalau melanggar hukum kan bisa. Permintaan (penegak hukum) bisa," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (10/9).
Yasonna menilai tak tepat jika pencabutan paspor Veronica disebut berpotensi melanggar HAM. Sebab, dia menganggap hal tersebut sudah sesuai ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang Imigrasi.
Ada pun, Yasonna menyebut pencabutan paspor Veronika telah diajukan oleh Polda Jawa Timur. Yasonna mengatakan pihaknya tengah mengkaji pencabutan paspor Veronika saat ini.
"Sudah masuk (pengajuan pencabutan paspor dari Polda Jawa Timur). Jadi biar Dirjen Imigrasi yang menangani," ujar Yasonna.
(Baca: Jokowi Janjikan Pekerjaan di BUMN dan Swasta untuk 1.000 Sarjana Papua)
Lebih lanjut, Yasonna menilai Veronika bisa diekstradisi dari Australia, tempat terakhir polisi mendeteksi keberadaan Veronika, jika paspornya dicabut. Sebab, pemerintah Indonesia dan Australia telah memiliki perjanjian ekstradisi.
"Kalau bukan ekstradisi, diusir dia di sana," kata dia.
Pengajuan pencabutan paspor Veronika lantaran dirinya disangkakan menjadi penyebar provokasi dan penyiaran berita bohong terkait pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Setidaknya, ada empat postingan Veronica Koman yang dijadikan alat bukti penetapannya sebagai tersangka.
Keempat postingannya yakni mobilisasi aksi monyet turun ke jalan di Jayapura (18 Agustus), momen polisi mulai tembak asrama Papua. Total 23 tembakan dan gas air mata (17 Agustus), anak-anak tidak makan selama 24 Jam, haus dan terkurung disuruh keluar ke lautan massa (19 Agustus). Kemudian postingan soal 43 orang mahasiswa Papua ditangkap tanpa alasan yang jelas, lima terluka, satu terkena tembakan gas air mata (19 Agustus).
(Baca: Dapat Hibah Tanah, Jokowi: Istana di Papua Dibangun Mulai 2020)
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) sebelumnya menilai penetapan Veronica Koman sebagai tersangka penyebar provokasi pengepungan asrama mahasiswa Papua sebagai kekeliruan. Kontras berpendapat penetapan ini sebagai ancaman bagi aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam keterangannya, Kontras menyatakan data dan informasi yang disampaikan Veronica di media sosial merupakan fakta lapangan yang diperoleh dari mahasiswa Papua di Surabaya saat kejadian. "Postingan Veronika Koman tak mengandung unsur berita bohong, ujaran kebencian, dan provokasi sehingga tak termasuk tindakan pidana lantaran telah diatur dalam UUD RI 1945 pasal 28F," tulis Kontras dalam siaran pers dikutip Selasa (10/10).
Adapun UU itu berbunyi, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelola dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Selain itu, Kontras pun menilai tindakan tindakan Veronica Koman menyebarkan informasi seputar pelanggaran HAM merupakan bentuk dari kerja pembela HAM seperti yang telah dijamin dalam pasal 100, 101, 102, dan 103 UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
(Baca: Kontras: Status Tersangka Veronica Koman Keliru dan Ancam Aktivis HAM)
Tindakan Veronika berupa penyampaian informasi dan pendapat terhadap kejadian di asrama Papua di media sosial, pun tak lepas dari sorotan. Kontras menilai, upaya ini dilakukan Veronica dalam kapasitasnya menjalankan profesinya sebagai advokat.
Dia diketahui berprofesi salah satu kuasa hukum mahasiswa dan aktivis Papua sejak 2018. "Tindakan Veronica dalam menyampaikan informasi, semata-mata hanya bertindak sebatas profesinya sebagai kuasa hukum untuk menjamin rasa keamanan dan keadilan bagi kliennya," ungkap Kontras.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat pasal 16 disebutkan advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang persidangan. Sehingga, tindakan itu dinilai tak melanggar hukum atau termasuk dalam upaya memprovokasi dan menyebarkan ujaran kebencian seperti yang tercantum dalam tuntutannya.
(Baca: Kominfo Minta Maaf Atas Cap Disinformasi Cuitan Veronica Soal Papua)