Mengenang BJ Habibie dan Persembahan Terakhir untuk Ainun

ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Sejumlah prajurit Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) mengangkat peti jenazah dari almarhum Presiden ke-3 RI, BJ Habibie menuju mobil ambulans di Rumah Jenazah Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu (11/10/2019). BJ Habibie meninggal dunia setelah menjalani perawatan di RSPAD.
Penulis: Sorta Tobing
12/9/2019, 06.00 WIB

BJ Habibie merupakan teknokrat ulung. Mr. Crack julukannya. Panggilan yang pas karena ia menemukan rumus untuk menghitung keretakan pesawat terbang.

Para ahli dirgantara pasti tahu Teori Habibie, Faktor Habibie, dan Fungsi Habibie. Semua teori itu merupakan temuan Presiden RI yang ketiga tersebut.

Anak keempat dari delapan bersaudara ini lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936. Ayahnya bernama Alwi Abdul Jalil Habibie dan ibunya RA Tuti Murini.

Ketika ayahnya meninggal pada 1950, ia pindah ke Bandung, Jawa Barat. Di kota ini, pria bernama panjang Bacharuddin Jusuf Habibie mulai terlihat kecerdasannya.

Masuk kuliah, ia diterima di Institut Teknologi Bandung (ITB), sebelum akhirnya ia mendapat beasiswa ke Jerman. Presiden Sukarno saat itu ingin menghasilkan anak muda yang ahli di bidang kedirgantaraan.

Habibie melaksanakan amanat tersebut. Ia belajar pembuatan pesawat hingga meraih gelar doktor dengan predikat sangat memuaskan alias summa cumlaude dari Universitas Teknologi Rhein Westfalen Aachen.

Lama ia berkarier di Negara Panser. Berbagai penghargaan ia raih, termasuk menyandang gelar profesor. Pada 1967 ia mendapat gelar itu dari ITB. Habibie juga memperoleh medali penghargaan bergengsi tempat berkumpulnya pakar penerbangan, yaitu Theodore Van Karman Award.

(Baca: Habibie Meninggal, Bendera Setengah Tiang Dikibarkan Selama Tiga Hari)

Kemasyhuran namanya di dunia internasional membuat Presiden RI kedua Soeharto tertarik memanggilnya. Habibie lalu mendirikan Industri Pesawat Terbang Nusantara (sekarang PT Dirgantara Indonesia) dan menjadi direktur utamanya pada 1976.

Dari IPTN, Habibie membuat pesawat penumpang sipil bermesin turbo propeller. Pesawat CN-235 dan CN-250 merupakan buah karyanya yang telah dieskpor ke berbagai negara, termasuk Korea Selatan dan Thailand.

Selain IPTN, ia juga menginisiasi berdirinya PT Pindad dan PT PAL. Di kedua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu, Habibie pernah menjabat sebagai direktur utama. Ia lalu masuk ke pemerintahan. Pada 1978 Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi.

Kariernya cemerlang, begitu pula otaknya. “Ingin seperti Habibie” menjadi jawaban lumrah anak-anak sekolah pada zaman itu ketika ditanya apa cita-citanya.

Namun, namanya sempat tergelincir ketika tiga media nasional mengalami pembredelan pada 1994. Ketiga media itu adalah Majalah TEMPO, Detik, dan Editor.

Menteri Penerangan Harmoko menilai ketiganya terlalu keras mengkritik Habibie dan Soeharto soal pembelian kapal-kapal bekas dari Jerman Timur. Pembelian kapal tersebut tak ada dalam rencana pemerintah sebelumnya dan diduga ada penggelembungan harga.

Ia juga sempat bikin geger ketika terpilih menjadi wakil presiden RI dan dilantik pada 10 Maret 1998. Padahal saat itu kondisi negara sedang genting dan krisis ekonomi. Tekanan agar Soeharto mundur begitu kuat.

Jabatan ini hanya bertahan dua bulan. Soeharto akhirnya lengser dan Habibie menjadi presiden RI yang ketiga.

Ia memimpin negara ini dalam waktu singkat. Hanya satu tahun lima bulan. Tapi perannya sebagai tokoh transisi dari Orde Baru ke Era Reformasi sangat penting.

(Baca: Jokowi: Habibie Selalu Hadir di Setiap Persoalan Bangsa)

Sehari setelah dilantik, Habibie memilih kabinet baru yang diambil dari semua unsur, yaitu partai politik, ABRI, daerah, dan teknokrat. Ia juga memisahkan Bank Indonesia dari jajaran kabinet agar menjadi lembaga independen.

Kebebasan pers mulai diberikan ruang di saat kepemimpinannya. Beberapa tahanan politik dibebaskan. Ia juga menghapus kewajiban pegawai negeri sipil untuk memilih Golkar.

Habibie menyetujui referendum Timor Timur (sekarang Timor Leste). Hasilnya, provinsi itu memutuskan melepaskan diri dari negara ini. Keputusan yang disayangkan para kaum nasionalis, namun dipuji oleh negara asing.

Presiden RI Ketiga BJ Habibie (Instagram/@b.jhabibie)

Kesedihan Habibie Setelah Ainun Meninggal

Kehidupan Habibie berubah 180 derajat ketika istrinya, Hasri Ainun Besari, meninggal pada 22 Mei 2010. Ia menjadi melankolis. Syal putih yang Ainun kenakan saat sakit hingga wafat, kerap ia pakai sebagai obat kangen.

Selama 100 hari sejak Ainun meninggal, Habibie selalu mengunjungi makamnya di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Keduanya hidup sebagai suami-istri selama 48 tahun 10 hari.

Kesedihan Habibie kala itu tak terbendung sampai ia menderita psychosomatic malignant. Tekanan darahnya mencapai angka 200 dan kondisi ini mempengaruhi seluruh fungsi tubuhnya.

Dokter memberi pilihan, membiarkan tubuh lemah dan menyusul istrinya atau bangkit kembali. Habibie memilih yang kedua.

Dalam wawancara dengan Tempo pada 12 Desember 2010, Habibie menemukan penyembuhan diri melalui menulis. “Sebulan pertama, saya menulis dengan terus menangis, mengenang istri yang sangat saya cintai,” katanya.

(Baca: Selamat Jalan Bapak Teknologi Indonesia BJ Habibie)

Ia mengakui Ainun bukan cinta pertamanya, tapi cinta sejati. Keduanya bertemu saat masih remaja dan sekolah di Bandung. Tapi persahabatan itu terputus ketika Habibie memilih sekolah di Jerman, sementara Ainun melanjutkan ke Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.

Setelah tujuh tahun tak berjumpa, keduanya bertemu kembali. Habibie mengakui Ainun sangat cantik ketika itu. “Gula jawa menjadi gula pasir,” ucapnya.

Ia percaya dari situlah perasaan cintanya muncul. Ketika berbicara dan berpandangan mata dengan Ainun, Habibie dapat merasakan kecepatannya mencapai satu miliar kilometer per jam.

Dalam hitungan detik, ia merasa bisa membaca pikiran Ainun dan merasa sinkron. Mereka lalu menikah dan memiliki dua anak, Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie.

Kesedihan Habibie kemudian menghasilkan buku berjudul Habibie dan Ainun. Buku terdiri dari 37 bab ini kemudian laku terjual dan difilmkan dengan judul yang sama.

Reza Rahadian berhasil memerankan Habibie dengan gaya bicara yang kebule-bulean, kepala sedikit miring, dan mata yang melotot. Piala Citra 2013 untuk pemeran utama pria terbaik berhasil ia raih berkat film itu.

Kisah hidup Habibie kemudian menjadi waralaba film drama yang diproduksi Manoj Punjabi dari MD Pictures. Sudah tiga film dibuat dan masih ada tiga lainnya yang bakal tayang di bioskop.

(Baca: BJ Habibie Meninggal Dunia dalam Usia 83 Tahun)

Dari buku itu juga lahir Opera Ainun. Tepat setahun lalu opera ini tampil di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Kisahnya dimulai sejak masa Ainun menjadi mahasiswa, menikah, hidup di Jerman, dan kembali ke Indonesia hingga meninggal.

Opera itu tampaknya menjadi persembahan terakhir Habibie untuk istrinya. Kemarin, Rabu (11/9), ia meninggal pada usia 83 tahun saat dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta Pusat.

Habibie mengalami gagal jantung dan fungsi organ tubuh yang melemah karena usia. Di tempat peristirahatan yang terakhir, ia akan dikubur berdekatan dengan makam istrinya. Itulah syarat ketika ia menyetujui menguburkan istrinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata.