Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan akan disahkan pada 24 September mendatang. Pembahasan RUU yang menjadi inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak 2 Februari 2015 ini telah memasuki tahap akhir.
RUU Pertanahan memang termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2019. RUU ini diusulkan oleh empat fraksi di Komisi II DPR, yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). Selain itu, Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga menjadi pengusul RUU Pertanahan.
Sejumlah kalangan menyoroti poin-poin yang kontroversial di dalam RUU Pertanahan. RUU ini dinilai lebih membela kepentingan investor dan membuat posisi rakyat semakin lemah dalam konflik agraria. Berikut ini poin-poin tersebut berdasarkan informasi yang dikumpulkan Katadata dari berbagai sumber.
1. Reforma agraria tak dianggap penting
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gajah Mada (UGM), Maria Sumardjono, menilai RUU Pertanahan tidak menganggap penting reforma agraria. Pengaturan reforma agraria dalam RUU ini hanya menyalin isi Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018.
"Padahal RUU Pertanahan diharapkan memuat prinsip-prinsip reforma agraria itu apa, subjek prioritas pemanfaatannya siapa, objeknya apa, dan bagaimana memecahkan konflik lahan," ujar Maria dalam diskusi di Komnas HAM, Jakarta, seperti dikutip CNNIndonesia.com, Jumat (6/9).
(Baca: Picu Konflik, Ombudsman dan KPA Minta DPR Batalkan RUU Pertanahan)
2. Perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) hingga 90 tahun
Dalam pasal 25 RUU Pertanahan, disebutkan perpanjangan HGU yang sudah diberikan selama 35 tahun bisa diperpanjang untuk kedua kalinya sehingga total HGU mencapai 90 tahun. Padahal, sebelumnya disebutkan perpanjangan HGU hanya bisa dilakukan satu kali.
RUU Pertanahan memberi pengecualian perpanjangan hingga dua kali dengan mempertimbangkan umur tanaman, skala investasi, dan daya tarik investasi. Namun, tidak jelas pihak mana yang menentukan hal tersebut. Maria menilai pasal ini hanya berpihak pada kepentingan investor dan menutup kemungkinan bagi masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah.
(Baca: JK: Revisi UU Pertanahan untuk Akomodir Investasi dan Hak Masyarakat)
3. Hidupkan praktik politik agraria zaman kolonial
RUU Pertanahan dikhawatirkan menimbulkan masalah baru. Wakil Ketua Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengatakan, mekanisme penyelesaian konflik agraria yang komprehensif tidak ada sehingga yang berpotensi muncul adalah pengadilan pertanahan.
Ia menyoroti Pasal 36 RUU Pertanahan yang mewajibkan permohonan perpanjangan lima tahun sebelum hak atas tanah berakhir. "Ketika satu tanah tidak bisa dibuktikan siapa pemiliknya, otomatis negara memilikinya," kata Sandra. Ketentuan ini sama seperti praktik politik agraria zaman kolonial Belanda yang bernama Domein Verklaring di mana tanah yang tidak didaftarkan akan menjadi milik negara.
(Baca: Tolak Buka Data HGU, Walhi Sebut Menteri Agraria Lakukan Pembangkangan)
4. Nama pemegang izin HGU dirahasiakan
Salah satu poin yang juga mendapat penolakan dari berbagai kalangan adalah soal informasi pemilik hak atas tanah yang dirahasiakan kepada publik. Hal ini terdapat dalam pasal 45 ayat 9 RUU Pertanahan. Seperti dilansir Tempo.co, disebutkan dalam ayat tersebut bahwa informasi publik mengenai data pertanahan yang dikecualikan antara lain:
a. Daftar nama pemilik hak atas tanah
b. warkah
Forest Watch Indonesia (FWI) pernah menggugat Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk membuka data HGU di Kalimantan. Menurut Komisi Informasi Publik (KIP), HGU bukan data pribadi karena merupakan hak mengusahakan tanah penguasaannya ada pada negara. Oleh karena itu, data HGU harus tersedia dan bisa diakses oleh publik.
5. Ancaman pidana bagi korban penggusuran
Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, Siti Rakhma Mary Herawati, mengatakan ada sembilan ancaman pidana dalam RUU Pertanahan. Pasal 89 berisi ancaman kriminalisasi bagi masyarakat yang berusaha mempertahankan tanahnya dari penggusuran.
"Masyarakat yang menyuarakan atau memperjuangkan kembalinya tanah dapat ditafsirkan melakukan pemufakatan jahat yang menyebabkan sengketa atau konflik pertanahan," kata Rahma seperti dikutip CNNIndonesia.com, Jumat (6/9).
Selain itu, pada pasal 94 terhadap ancaman pidana 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 15 miliar bagi setiap orang atau kelompok yang menyebabkan sengketa lahan. Padahal, menurut catatan YLBHI, kasus pertanahan menjadi aduan yang paling banyak masuk ke lembaga tersebut selama 2018, yakni sebanyak 300 kasus.
Ombudsman Republik Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga meminta pembahasan RUU Pertanahan dihentikan karena belum mengakomodir konflik-konflik agraria. "Konflik-konflik terkait pertanahan ini masih kerap terjadi. Apakah UU ini bisa mereduksi konflik-konflik yang ada?" kata Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih dalam konferensi pers, Senin (9/9).
Menurut data Ombudsman, selama 2015-2019 jumlah kasus pertanahan yang paling banyak dilaporkan masyarakat kepada lembaga tersebut, yakni 4.806 kasus. Kasus maladministrasi proses Sertifikat Hak Milik (SHM) menempati laporan terbanyak periode Januari-Juni 2019 dengan 128 laporan. Kasus terbanyak kedua adalah penerbitan sertifikat (96 laporan) dan ganti rugi pembebasan tanah (46 laporan).