RUU Pertanahan Dinilai Tak Berpihak ke Petani dan Masyarakat Adat

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Petani dikawasan Marunda, Cilincing, Jakarta mulai sibuk memanen padi yang sudah mulai menguning (5/7). Rata-rata harga beras kualitas medium di penggilingan sebesar Rp 9.166 per kg atau naik sebesar 0,26 persen. Sedangkan rerata hara beras kualitas rendah di penggilingan sebesar Rp 9.012 per kg, angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 0,65 persen.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Pingit Aria
22/9/2019, 16.45 WIB

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan yang tengah dibahas DPR bersama pemerintah saat ini bukanlah rancangan aturan yang sesuai dengan agenda reforma agraria. Justru, RUU Pertanahan dianggap tidak berpihak kepada rakyat, petani, juga masyarakat adat.

"RUU Pertanahan mengatur cara negara mengamputasi hak konstitusi agraria petani dan dan setiap warga negara Indonesia," kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika di Jakarta, Minggu (22/9).

Dewi mengatakan, ada berbagai persoalan mendasar terkait dengan RUU Pertanahan. Pertama, RUU Pertanahan tidak sesuai dengan UUD 1945 dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). 

Menurutnya, RUU Pertanahan tidak memiliki prinsip reforma agraria, yakni adanya keadilan, kemanusiaan, dan kedaulatan sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 dan UUPA. Selain itu, RUU Pertanahan tidak memiliki prinsip untuk menyelesaikan konflik, sumber kesejahteraan rakyat, mengatasi kemiskinan, dan pertimbangan ekologis. "Penyimpangan konstitusi dan UUPA terdapat hampir di seluruh bab dan pasal RUU Pertanahan," kata Dewi.

Persoalan kedua, dalam RUU Pertanahan karena terdapat ketentuan bahwa pemerintah dapat menerbitkan hak pengelolaan (HPL) tanah berbasis hak menguasai negara (HMN). Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam Pasal 42-45.

(Baca: Lima Poin Kontroversial dalam RUU Pertanahan yang Akan Disahkan DPR)

Menurut Dewi, pasal-pasal tentang HPL ini serupa dengan konsep domein verklaring di zaman kolonial yang dihapus UUPA. Sebab, melalui berbagai pasal HPL tersebut pemerintah bisa langsung menertibkan tanah yang legalitasnya tidak bisa dibuktikan untuk kemudian menjadi tanah negara.

Hal tersebut dinilainya berpotensi menimbulkan kekacauan penguasaan tanah oleh negara. "Sementara banyak tanah petani dan masyarakat adat itu belum diakui oleh negara. Kalau serta-merta semua tanah di Indonesia (ditertibkan sebagai) tanah negara, sepanjang tidak bisa menunjukkan sertifikat, kan berbahaya,"kata Dewi.

Dewi pun menilai ketentuan HPL dalam RUU Pertanahan berbahaya karena kewenangannya begitu kuat. Dari HPL saja pemerintah bisa menerbitkan hak milik, HGU, dan HGB. 

Persoalan ketiga dalam RUU Pertanahan adalah terkait dengan perpanjangan HGU yang sudah diberikan selama 35 tahun, bisa diperpanjang untuk kedua kalinya sehingga total mencapai 90 tahun. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 25 RUU Pertanahan.

Padahal, UUPA menyebutkan bahwa perpanjangan HGU hanya bisa dilakukan satu kali. "Ini bagaimana mau reforma agraria, tapi dia mengatur bagaimana korporasi semakin dapat alokasi tanah lebih lama," kata Dewi.

(Baca: Jokowi-JK Dinilai Gagal Realisasikan Agenda Reforma Agraria)

Lebih lanjut, Pasal 100 RUU Pertanahan menyebutkan bahwa pemegang hak yang menguasai tanah lebih dari batas yang diberikan hanya diwajibkan membayar pajak atas kelebihan tanahnya. Menurut Dewi, hal tersebut tidak tepat karena memberikan keleluasaan bagi korporasi atau pemilik HGU untuk menguasai lahan lebih besar. 

"Dia tidak ditarik HGU-nya, hanya diberikan sanksi bayar pajak. Ini semacam pemutihan," kata Dewi.

Hal lain yang jadi persoalan adalah terkait adanya sistem pengadilan pertanahan dalam RUU Pertanahan. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 79-81.

Dewi menilai pembentukan pengadilan pertanahan tak bisa menyelesaikan konflik agraria struktural yang selama ini terjadi. Justru, pembentukan pengadilan pertanahan dapat semakin melemahkan posisi petani, masyarakat miskin dan masyarakat adat atas tanah mereka.

Alasannya, melalui pengadilan pertanahan yang akan diutamakan adalah masalah legalitas. Padahal, banyak tanah petani, masyarakat miskin, dan masyarakat adat diukur bukan berdasarkan legalitas, melainkan prinsip keadilan sosial, pemulihan, hak, dan historis penempatan tanah secara turun-temurun. "Tanah mereka nanti akan dibilang ilegal, karena sistem hukumnya legalistik semata," kata dia.

Selain itu, Dewi juga mempersoalkan adanya ancaman kriminalisasi bagi masyarakat yang berusaha mempertahankan tanahnya dari penggusuran. Hal tersebut muncul melalui Pasal 89 dalam RUU Pertanahan. 

Selain itu, ada ancaman pidana 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 15 miliar bagi setiap orang atau kelompok yang menyebabkan sengketa lahan dalam Pasal 94 RUU Pertanahan. "Itu pasal-pasal karet yang berpotensi mempidanakan petani, masyarakat adat, dan masyarakat di pedesaan," ucapnya.

Reporter: Dimas Jarot Bayu