Sistem Tenaga Kerja RI Hambat Partisipasi Perempuan dan Daya Saing

ANTARA FOTO/DESTYAN SUJARWOKO
Pekerja melinting rokok sigaret kretek di salah satu industri rokok di Tulungagung, Jawa Timur, Rabu (31/5). Minimnya tenaga terampil terlatih serta menurunnya minat warga sekitar bekerja di sektor industri rokok membuat sejumlah industri rokok sigaret linting tangan (SKT) kesulitan tenaga kerja dan hanya mengandalkan rombongan buruh linting di pabrik rokok besar seperti dari PT Gudang garam, Tbk.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Ekarina
24/9/2019, 07.07 WIB

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan ekosistem ketenagakerjaan Indonesia masih cenderung kaku, sehingga menghambat produktivitas hingga partisipasi kalangan perempuan. Transformasi tenaga kerja perlu dilakukan meski tidak disukai oleh semua orang.

"Ekosistem tenaga kerja dibuat fleksibel. Fleksibilitas tidak bisa bisa ditolak meski kita tidak suka," kata dia di sela Indonesia Economic Outlook'20 Forum di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (23/9).

Kakunya sistem ketenagakerjaan Indonesia salah satunya terdapat di masalah sistem jam kerja dan jumlah hari libur.  

Kakunya ekosistem kerja juga dapat mengorbankan perempuan.  Banyak pengusaha tidak bisa menerima karyawan perempuan yang ingin membagi waktu antara bekerja dan berumah tangga.

(Baca: Kenaikan Cukai Rokok, Menaker Minta Tak Ada PHK)

Akibatnya, lanjut Hanif, angka partisipasi perempuan masih rendah. Berdasarkan data Bank Dunia pada 2018, hanya ada 50,7% perempuan Indonesia berusia 15 tahun ke atas berpartisipasi dalam angkatan kerja (baik bekerja atau mencari pekerjaan).

Sedangkan menurut standar internasional angka ini termasuk rendah. Yang menarik, Kamboja yang merupakan negara dengan PDB terendah kedua di ASEAN justru memiliki angka partisipasi yang terbilang tinggi, yaitu sebesar 81,2% pada 2018.

"Jadi tidak ada pengusaha yang mau terima perempuan kerja jam 11-2 siang, karena jam kerja kita kaku," ujar dia.

Selain jam kerja, jumlah hari libur tenaga kerja masih lebih banyak dibandingkan negara lainnya juga dinilai sebagai faktor yang menjadikan sistem ketenagakerjaan Indonesia kurang produktif dan tak kompetitif dibanding negara ASEAN lainnya. 

(Baca: Dorong Daya Saing, Pengusaha Tekstil Minta Revisi UU Ketenagakerjaan)

Pasal 77 Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan jumlah jam kerja di Indonesia sebanyak 40 jam per minggu. Waktu kerja tersebut lebih rendah dibandingkan negara lain yang mencapai 48 jam per minggu. Hal ini membuat Indonesia dipandang kompetitif di mata investor. 

Selain itu, faktor Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia masih cukup kaku. Sementara kompetisi tenaga kerja di berbagai negara terus terjadi.

Berdasarkan Pasal 151, dijelaskan bahwa dengan segala upaya, PHK harus diupayakan agar tidak terjadi. Bila tidak dapat dihindari, PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau dengan pekerja/buruh.

Hanif mengambil contoh, proses produksi sepatu di pabrik Vietnam membutuhkan proses sebanyak 10 tahap. Namun, proses tersebut telah disederhanakan menjadi 3 tahap agar lebih kompetitif.

Semestinya, Indonesia mengikuti upaya Vietnam agar berdaya saing di pasar global. "Konsekuensinya ada pemotongan karyawan dari 1000 jadi 200. Namun saya tidak izinkan karena aturannya begitu," ujar dia.

Reporter: Rizky Alika