Aristides Katoppo, Wartawan Pemberani Penjaga Kebinekaan

Dok. Sinar Harapan
Aristides Katoppo, wartawan senior dan pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI), wafat dalam usia 81 tahun karena serangan jantung, di Jakarta, Minggu (29/9).
Penulis: Hari Widowati
30/9/2019, 13.20 WIB

Kabar duka menyelimuti dunia pers Indonesia. Aristides Katoppo, wartawan senior Sinar Harapan yang juga pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI), wafat di usia 81 tahun akibat serangan jantung, di Jakarta, Minggu (29/9).

Pria kelahiran Tomohon, 14 Maret 1938 ini dikenal sebagai sosok yang gigih dan pemberani. Tides -sapaan akrab Aristides- menceritakan pengalamannya mendapatkan berita eksklusif mengenai tawaran Amerika Serikat (AS) John F Kennedy (JFK) kepada Presiden Soekarno untuk menengahi perundingan dengan Belanda soal Irian Barat.

Surat tersebut disampaikan oleh Robert (Bob) F Kennedy, adik JFK yang pada waktu itu menjabat sebagai Jaksa Agung AS, saat berkunjung ke Istana Merdeka pada Januari 1964. Presiden Kennedy meminta Indonesia tidak menggunakan kekerasan militer dan senjata dari Uni Soviet.

Isi surat yang diperoleh Tides secara eksklusif itu menjadi berita utama di Sinar Harapan dan The New York Times (NYT). Pada saat itu, Tides juga menjadi koresponden untuk NYT. "Semua media internasional mengutip pemberitaan New York Times. Ada rombongan wartawan yang dibawa Bob dari AS tetapi tidak berhasil mendapat surat itu," kata Tides kepada CNN Indonesia, 29 Desember 2015.

Tides mendapat bonus US$ 500 dari NYT. Pada saat itu, uang tersebut setara harga satu unit mobil Volkswagen (VW). Berkat bonus tersebut, Tides bisa membeli sepeda motor.

Putra dari Elvianus Katoppo, mantan Menteri Pendidikan dan Agama Negara Indonesia Timur, itu juga gencar menulis soal penembak misterius (petrus) di masa pemerintahan Presiden RI kedua Soeharto. Akibatnya, kantor surat kabar Tides di Malang dikirimi kotak berisi kepala orang yang baru menjadi korban petrus. "Jurnalis juga harus punya nyali untuk mengungkapkan kebenaran, karena berita yang diturunkan tidak bisa menyenangkan semua orang," kata Tides, seperti dikutip Nawacita.co.

Keberanian Tides dalam menulis berbuah ancaman dan sanksi pembredelan. Namun, hal-hal tersebut tak membuatnya kapok. Ia justru mendapat kesempatan belajar di berbagai universitas terkemuka, seperti Stanford dan Harvard ketika meninggalkan Indonesia tak lama setelah Sinar Harapan dibredel pada 1972.

(Baca: Veby Mega Indah, Jurnalis Indonesia yang Tertembak di Hong Kong)

Pecinta Alam dan Sahabat Soe Hok Gie

Tides juga dikenal sebagai pecinta alam. Sewaktu masih menjadi mahasiswa, ia bergabung dengan Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI). Ia kerap mendaki gunung bersama Soe Hok Gie, Rudy Badil, dan Herman Lantang. Sebelum meninggal, Tides pernah berpesan agar jika ia meninggal nanti ia dikremasi dan abunya ditaburkan di gunung.

Kecintaannya terhadap alam dimulai sejak ia kecil. Saat terjadi Perang Dunia II, pesawat Sekutu menjatuhkan bom di Minahasa. Salah satunya di persawahan tidak jauh dari rumah Tides. Ia dan keluarganya pun mengungsi ke kebun kopi milik salah satu pegawai ayahnya. Saat tidur di sebuah pedati yang ada tendanya, tanpa sadar ia terguling keluar tenda. Ketika menengadah, Tides melihat indahnya bintang-bintang bertaburan di langit.

(Baca: Cosmas Batubara Wafat, Mantan Menteri Soeharto yang Jadi Bos Properti)

Menurut Mimis Katoppo, istri Tides, pengalaman itu adalah ingatan yang sangat mengesankan bagi Tides. "Sampai sekarang pun Tides senang menerawang ke langit, bila bintang-bintang bertaburan,” kata Mimis dalam buku Tides Masih Mengembara, yang diterbitkan pada peringatan ulang tahun Tides ke-80, tahun lalu. Pengalaman ini menjadi salah satu alasan Tides bersama kawan-kawannya untuk mendirikan lembaga swadaya masyarakat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Penjaga Kebinekaan

Tides juga dikenal sebagai sahabat Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Mereka memiliki pandangan-pandangan yang sejalan mengenai kebinekaan. Putri Gus Dur, Anita Wahid, melalui akun Twitternya turut menyampaikan ungkapan duka cita.

"Innalillahi wa innailaihi rojiuunnn...Turut berbelasungkawa atas kepergian Bapak Aristides Katoppo, seorang pejuang kebebasan pers dan jurnalisme. Semoga engkau sudah dalam damai di sisi-Nya, Pak Tides. Mungkin sekarang engkau sedang bersenda gurau dengan Gus Dur di sana." Demikian tulisnya di akun @AnitaWahid.

Dalam peluncuran buku Resonansi Kepemimpinan Transformatif Kang Yoto di Yogyakarta pada 2016, Tides pernah mengungkapkan tentang kebersamaan dan kebinekaan yang menjad modal sosial Indonesia. Kedua hal tersebut adalah aset yang tidak bisa diukur dengan uang. "Sayang sekali, di dunia sekarang ini kekayaan sosial kurang dianggap penting karena politik dan pasar adalah panglima," ujar Tides seperti dikutip Sinar Harapan.

Padahal, Indonesia lahir karena memiliki kemampuan sosial dan budaya berupa toleransi tinggi terhadap kebinekaan. Jika modal sosial tersebut tidak dirawat, Indonesia akan rawan mengalami gesekan dan konflik, seperti yang terjadi di negara lain.

(Baca: Mbah Moen, Ulama Pemersatu Bangsa yang Diperebutkan Jokowi dan Prabowo)