Uji Materi UU KPK ke MK Prematur, Mahasiswa Harap Jokowi Buat Perppu

ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi Majelis Hakim MK Wahiduddin Adams (kiri) dan Enny Nurbaningsih (kanan) bersiap memimpin sidang perdana uji materi UU KPK di ruang sidang pleno Gedung MK, Jakarta, Senin (30/9/2019). Sebanyak 18 orang mahasiswa mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Penulis: Fahmi Ramadhan
Editor: Ratna Iskana
30/9/2019, 14.37 WIB

Sejumlah mahasiswa mengajukan uji materi terhadap revisi Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Meski begitu, Presiden Joko Widodo diharapkan tetap menerbitkan Peraturan Pengganti Undang Undang (Perppu) KPK.

Sebab, revisi UU KPK belum diundangkan. Sehingga besar kemungkinan permohonan yang diajukan ke MK otomatis ditolak.

Biarpun begitu, kuasa hukum pemohon uji materi Zico Leonard Simanjuntak mengatakan inisiatif pihaknya tetap mengajukan uji materil ke MK agar Presiden bisa melihat keseriusan mahasiswa mencabut revisi UU KPK yang telah disahkan oleh DPR dan pemerintah.

"Sekarang kami mau tunjukan ini jalan akhir kami. Kami masih berharap Bapak Jokowi dengarkan suara kami," ujarnya.

Dia pun meminta Jokowi bisa melihat segala upaya yang telah ditempuh oleh mahasiswa untuk mencabut revisi UU KPK, mulai dari demonstrasi hingga mengajukan uji formil dan materil ke MK.

"Harapannya Pak Jokowi mendengarkan kami supaya jangan sampai ke keputusan, ini kan sudah langkah terakhir," kata Zico di Gedung MK, Jakarta, Senin, (30/9).

(Baca: Tak Ada RUU yang Selesai dari Komisi VI DPR selama 2014-2019)

Selain meminta dibatalkanya revisi UU KPK, Zico juga mempersoalkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasal tersebut memuat tentang persyaratan pemilihan dan penetapan pimpinan KPK. 

Menurut Zico, peraturan tersebut tidak memuat mekanisme yang jelas jika terjadi pelanggaran terhadap syarat-syarat pemilihan dan penetapan pimpinan KPK. Artinya, peraturan itu tidak memberi ruang kepada masyarakat untuk melakukan gugatan terhadap capim KPK jika melanggar persyaratan tersebut.

Apalagi terdapat pro dan kontra saat proses pemilihan Firli Bahuri sebagai Pimpinan KPK.  "Nah itu tidak diatur. Jadi kan Presiden bentuk pansel dan DPR yang memilih kan. Jadi kalo presiden dan DPR meloloskan pimpinan itu, maka tidak akan ada dampaknya," kata Zico.

Pihaknya pun berharap ada aturan yang dapat memberikan legal standing bagi masyarakat untuk mengetahui proses pemilihan pimpinan KPK. Zico menyebut pemohon mengutarakan niatnya agar MK dapat membuat norma seperti yang telah dimohonkan oleh pemohon.

Di sisi lain, Hakim MK Wahidudin menilai mahasiswa terlalu terburu-buru dalam menyusun pemohonan. Sebab, UU KPK yang baru belum diundangkan sehingga petitum yang seharusnya disi nomor justru diisi titik-titik oleh pemohon.

"Kelihatannya ini memang terburu-buru dalam menunggu nomor dari undang-undang yang sudah disetujui bersama," kata Wahiduddin.

(Baca: TNI Kerahkan Ribuan Personel Perketat Penjagaan Pelantikan Anggota DPR)

Reporter: Fahmi Ramadhan