Keraton Yogyakarta Tambah Koleksi Wayang Digital

ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani
Ilustrasi.
Penulis: Dwi Hadya Jayani
Editor: Yuliawati
8/11/2019, 19.30 WIB

Keraton Yogyakarta menambah daftar koleksi wayang dalam bentuk digital yang diluncurkan pada Kamis, (7/11) bertepatan dengan Hari Wayang Nasional. Peluncuran tersebut merupakan kedua kalinya setelah Kotak Ampilan pada 13 Mei 2019.

KPH Notonegoro, suami dari putri keempat Sultan Hamengkubowono X, GKR Hayu menjelaskan dari koleksi keraton 14 kotak wayang, terdapat dua kotak yang akan bertransformasi ke digital. Koleksi wayang digital yakni kotak Ampilan yang berisi 580 wayang, sedangkan kotak kedua berisi 267 wayang.

Keraton memulai proses digitalisasi wayang sejak awal 2019. Tujuannya mengenalkan budaya keraton kepada masyarakat secara lebih meluas. Wayang digital ini dapat diakses melalui laman Kepustakaan.kratonjogja.id.

(Baca: Kenang Tokoh Komik, Pos Indonesia Rilis Prangko Jagoan Nusantara)

KPH Notonegoro menceritakan, ide wayang digital ini dimulai ketika ia dan istrinya tinggal di New York, Amerika Serikat (AS). Mereka mengalami kesulitan mencari informasi mengenai kebudayaan Jawa di internet.

Sehingga mereka pun berpikir membuka akses informasi secara digital. "Kami mudahkan masyarakat untuk mengakses, sekaligus mengenalkan budaya keraton," jelas KPH Notonegoro dalam agenda Jenius x Blibli.com Journalist Focus Group Discussion, Jumat (8/11).

Lahirnya wayang digital ini diharapkan dapat menginspirasi pengrajin wayang maupun para dalang. Digitalisasi wayang ini pun bukan tanpa hambatan.

(Baca: Jokowi Ditemani Jan Ethes Curi Perhatian Masyarakat Yogyakarta)

Pihak keraton memerlukan waktu selama empat bulan untuk memotret dengan detail dan rinci. Hal ini bertujuan untuk memperlihatkan warna asli, sekaligus tatahan sungging di tubuh wayang.

"Setiap wayang memiliki kekhususan dan karakteristik. Dari mahkotanya, bahunya sehingga perlu waktu lama untuk memotret setiap detail dari wayang itu sendiri,"

Selain itu, GKR Hayu juga sempat mengalami konflik dari internal. Ia ditentang ketika ingin mengenalkan budaya keraton melalui ranah digital.

"Ketika saya mencoba untuk memberikan ide mengenalkan budaya melalui website, atau membuat sosial media. Gejolak terdapat di internal karena dianggap menurunkan derajat dari kerajaan Keraton," jelas GKR Hayu.

Sebagai informasi, selain wayang kulit juga terdapat manuskrip yang dikenalkan melalui digital. Manuskrip ini didapatkan dari British Library sebanyak 70 dalam bentuk softcopy.

Pihak Keraton tidak memiliki semua manuskrip karena dijarah oleh Rafles pada masa penjajahan dulu. Rafles hanya menyisakan dua manuskrip, yaitu Al Quran dan Suryorojo.