Kementerian Komunikasi dan Informatika menuai sorotan setelah terbitnya peraturan yang memberikan opsi bagi penyelenggara sistem dan transaksi elektronik untuk menyimpan data di luar Indonesia. Sorotan datang dari sejumlah pihak, termasuk Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel).
Ketua Umum Mastel Kristiono menyebut ketentuan tersebut sangat tidak menguntungkan Indonesia. “Saat ini ibaratnya kita yang memiliki (pasar) tapi yang menguasai (data) platform global dan mereka juga yang mengkapitalisasinya jadi kita sekadar jadi pasar yang habis-habisan dieksploitasi mereka,” kata dia kepada katadata.co.id, Minggu (10/11).
(Baca: Contoh Singapura, Kominfo Akan Bentuk Komisi Perlindungan Data Pribadi)
Peraturan yang dimaksud yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 tahun 2019 yang merupakan revisi dari PP Nomor 82 Tahun 2012. Dalam Pasal 20 ayat 3, Penyelenggara Sistem elektronik Lingkup Publik wajib melakukan pengelolaan, pemprosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data elektronik di wilayah Indonesia.
Namun, berdasarkan Pasal 20 ayat 3, pengelolaan, pemprosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data elektronik di luar wilayah Indonesia bisa dilakukan dalam hal teknologi penyimpanan tidak tersedia di dalam negeri.
Sedangkan pada Pasal 21 ayat 1 disebutkan bahwa penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dapat melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data elektronik di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah Indonesia.
(Baca: Platform Transaksi Digital Wajib Terdaftar & Data Center di Indonesia)
Kristiono menjelaskan, data adalah new oil alias komoditas baru yang berharga. Penambangan data (data mining), kata dia, adalah industri masa depan. Dengan demikian, data adalah aset bangsa yang harus dilindungi dan dikelola untuk sebesar-besarnya kepentingan bangsa.
Ia menambahkan, sebagai negara yang berdaulat, sudah semestinya Indonesia memiliki undang-undang atas perlindungan data, serta memiliki strategi dan kebijakan untuk mengelola data untuk kepentingan nasional. Semua negara juga melakukan hal yang sama.
“Atas dasar apa regulasi tentang lokalisasi penyimpanan data direlaksasi menjadi boleh disimpan di luar negeri? Padahal regulasi (lokalisasi penyimpanan data) tersebut sudah terbukti menumbuh kembangkan industri nasional dan akan menciptakan ekosistem industri digital nasional,” ujarnya.
(Baca: Pemerintah Target Bisa Simpan Data di Cloud Milik Negara pada 2022)
Ia pun mempertanyakan, bila pemerintah membiarkan data disimpan di luar negeri, bagaimana pemerintah dapat menjamin bahwa data tersebut terlindungi dari penggunaan yang tidak seharusnya. Selain itu, bila Indonesia ingin mengelola data tersebut, bagaimana cara Indonesia memperolehnya kembali.
Maka itu, ia menekankan, pemerintah harus membuat regulasi terhadap semua platform yang memberikan layanan di wilayah yurisdiksi Indonesia. “Sehingga kita mampu mengambil manfaat dan memitigasi risiko serta ancaman yang dapat timbul,” ujarnya.