Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan saat ini sebagian masyarakat Indonesia gemar belajar atau mencari informasi tentang agama atau mengakses kontennya melalui media sosial (medsos). Padahal banyak konten di media sosial tanpa proses verifikasi sehingga rentan terpapar sikap intoleran hingga rawan ideologi radikal.
Berdasarkan laporan berjudul "Essential Inside Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerence Use Around the Wolrd" pada 30 Januari 2018, total populasi Indonesia sebanyak 255,4 juta yang menjadi pengguna aktif media sosial mencapai 130 juta orang. Sebanyak 127 juta orang menggunakan ponsel untuk mengakses media sosial.
Sedangkan berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2019, indeks diseminasi media sosial Indonesia mencapai 39,89 dari skor tertinggi sebesar 100.
"Ada 9,89 orang Indonesia yang menggunakan medsos mencari dan menyebarkan konten tentang agama," ujar Fachrul dalam Rapat Koordinasi Nasional Indonesia Maju di Sentul International Convention Center, Bogor, Rabu (13/11).
(Baca: Diminta Urus Radikalisasi, Menag Fachrul Razi: Tangani dengan Smooth)
Dari laporan tersebut, indeks orang yang mencari keberadaan Tuhan mencapai 43,91, sifat-sifat Tuhan 40,31, kuasa Tuhan 40,31, dan kisah hidup orang-orang suci 36,72.
Menurut Fachrul, data itu menunjukkan minat terhadap isu pemahaman agama di media sosial sangat tinggi. Data tersebut juga mencerminkan setengah dari keseluruhan masyarakat Indonesia menggunakan medsos untuk interaksi dan mencari informasi kehidupan, termasuk agama.
Sehingga, banyak masyarakat kini cenderung mencari sumber informasi agama melalui internet. Akibatnya, masyarakat menjadi tidak mandiri dan fokus pada otoritas agama tertentu.
Kondisi tersebut juga mencerminkan masyarakat yang mengganggap otoritas agama seperti guru, kyai, dan ustaz sebagai alternatif. Fachrul menilai, hal ini berbeda dengan generasi sebelumnya yang taat kepada fatwa otoritasnya.
"Akibatnya pemikiran keagamaan sebagian besar kita cenderung intoleran dan mudah terpapar ideologi radikal ekstrem," katanya.
(Baca: Bantah Larang ASN Gunakan Cadar, Menag Sebut Hanya Merekomendasikan)
Sebaliknya, lanjut dia, masyarakat juga rawan menjadi super intoleran hingga mengganggu sendi-sendi beragama akibat banyaknya pemikiran dari media sosial.
Banyak konten keagaamaan yang beraliran radikal dan ekstrem bisa dengan mudah dikonsumsi masyarakat tanpa berkonsultasi atau meminta pendapat dari otoritas atau sumber resmi agama terlebih dahulu.