Diklaim Cina, Bupati Dukung Pemerintah Unjuk Kekuatan di Laut Natuna

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I Laksdya TNI Yudo Margono (kanan) didampingi Panglima Koarmada 1 Laksda TNI Muhammad Ali (kiri) melepas KRI Tjiptadi-381 usai upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (3/1/2020). kedaulatan negara.
Editor: Sorta Tobing
4/1/2020, 09.11 WIB

Bupati Natuna Abdul Hamid Rizal mendukung penuh sikap TNI dan Kementerian Pertahanan menggelar kekuatan lebih besar di wilayah Laut Natuna. Hal ini ia katakan sebagai respon masuknya kapal nelayan Cina yang melakukan aktivitas perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Laut Natuna Utara.

"Itu merupakan bentuk gangguan terhadap kedaulatan Republik Indonesia. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna memiliki kedudukan hukum yakni UNCLOS 1982," ujar Abdul Hamid, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/1).

Pada Kamis lalu Komando Armada I TNI Angkatan Laut melaporkan adanya kapal coast guard Tiongkok beserta kapal nelayan Cina yang masuk ke wilayah Laut Natuna. Coast guard itu mengawal kapal nelayan melakukan aktivitas perikanan.

Hal tersebut membuat kapal perang Indonesia KRI Tjiptadi-381 dan KRI lainnya mencegat kapal-kapal Cina itu dan mengawalnya keluar dari wilayah Natuna. Pemerintah juga telah memprotes pernyataan resmi dari Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Geng Shuang.

Pihak Tiongkok menyatakan perairan di sekitar Kepulauan Nansha (Kepulauan Spratly), termasuk Laut Natuna Utara, sebagai wilayah tradisional penangkapan ikan mereka.

(Baca: Foto: Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 Mengintai Tiongkok)

Pemerintah Kabupaten Natuna beserta warga masyarakatnya, menurut Abdul Hamid, siap mempertahankan kedaulatan di wilayahnya. Namun, untuk memperkuat kewenangannya, ia mengusulkan agar Natuna dan Anambas bisa menjadi provinsi khusus.

Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pemerintah kabupaten atau kota tidak memiliki kewenangan terhadap perairan laut. Dengan menjadikan Natuna sebagai provinsi khusus, maka kemampuan dalam menjaga dan mengelola wilayah pantai dan lautnya dapat meningkat.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD sebelumnya mengatakan pemerintah sedang mempersiapkan langkah tegas guna menyelesaikan konflik di perairan Natuna dengan Tiongkok.

Pemerintah tidak akan setengah hati dalam menjaga kedaulatan negara. "Kami tetap melakukan langkah-langkah utk menjaga kedaulatan. Tentunya ada jalan diplomatik," kata Mahfud kemarin.

(Baca: Sengketa Natuna dengan Tiongkok, Bakamla Tambah Pasukan Pengaman)

Apalagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan aturan internasional mengenai tidak adanya hak Tiongkok atas perairan Natuna dalam United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) pada 1982.

"Sudah jelas, Tiongkok tidak punya hak atas itu dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ditetapkan oleh UNCLOS salah satu unit PBB yang menetapkan tentang perbatasan," ucap Mahfud.

Kepala Badan Kemanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya TNI (Purn.) Achmad Taufiqoerrochman akan menambah jumlah personil keamanan untuk menjaga perairan Natuna dari kapal asing. Guna memperkuat pertahanan, kerja sama dengan TNI Angkatan Laut akan dilakukan.

"Pasti ada tambahan (personil), TNI juga menyerahkan tapi dalam situasi damai," kata Achmad. Dia juga menambahkan, berdasarkan hasil pantauannya pada Jumat (3/1) hingga pukul 12.00 WIB tidak ada kapal asing yang memasuki perairan Natuna.

Ia mengklaim telah mengusir beberapa kapal asing pada tanggal 19, 24 dan 30 Desember 2019. "Kenapa bisa banyak nelayan asing? Karena ikannya banyak yang ngumpul di situ (Natuna)," kata dia.

(Baca: Tolak Klaim Laut Natuna, Tiongkok Didesak Hormati Hukum Internasional)

Kementerian Luar Negeri menegaskan Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan Tiongkok. Indonesia tidak akan pernah mengakui sembilan dash-line Tiongkok karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS tahun 2016.

Namun, pemerintah Tiongkok menolak protes Indonesia. Beijing mengklaim pihaknya juga memiliki hak historis di Laut Cina Selatan. Nelayan-nelayannya telah lama melaut dan mencari ikan di sekitar Kepulauan Nansha.

Padahal, klaim Tiongkok atas perairan itu juga tumpang tindih dengan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Bahkan, kepulauan yang oleh Tiongkok disebut Nansha itu juga memiliki nama lain, yakni Kepulauan Spratly.

Reporter: Fariha Sulmaihati