Para aktivis mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuka notulensi rapat pleno penetapan pergantian antarwaktu atau PAW untuk anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan. Ini terkait kasus suap yang menyeret Komisioner institusi tersebut Wahyu Setiawan.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menjelaskan, pembukaan notulensi ini untuk menghilangkan asumsi negatif terhadap KPU. "Sebaiknya KPU segera merilis siapa saja yang setuju berubah keputusan atau tidak," ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (11/1).
Pembukaan notulensi juga dinilainya penting guna mengusut keterlibatan pihak lain. Menurut dia, pembukaan notulensi bukan untuk menuduh secara sembarangan kepada pihak-pihak yang tak setuju dalam rapat pleno tersebut.
(Baca: Soal Kasus Suap KPU, Hasto: Ada yang Framing Saya Terima Dana)
jika KPU tak ingin membongkar notulensi tersebut, ia berharap Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu bisa mengambil alih kasus ini. "Bawaslu turut bertanggungjawab atas kasus ini," ucap dia.
Deputi Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Muhammad Hanif setuju dengan pembongkaran segera notulensi rapat. "Di notulensi kan bisa ketahuan seluruh pendapat komisioner KPU," kata Hanif dalam kesempatan yang sama.
Hanif pun menduga Wahyu tak sendirian dalam permainan penetapan PAW tersebut. "Tak mungkin dia main tunggal. Pasti ada teman lain yang diajak bergabung agar keinginan dari PDI Perjuangan ini bisa diloloskan," ujarnya.
Analis Politik Exposit Strategic Arif Susanto menyebut pembukaan notulensi rapat bisa membantu penegakan hukum. "Tak usah perlu izin Ketua KPU, langsung saja," kata dia.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan terhadap Wahyu Setiawan pada Rabu (8/1) lalu dan menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait penetapan PAW anggota DPR dari Fraksi PDIP.
(Baca: Suap Pergantian Anggota DPR, Pimpinan KPU & Caleg PDIP Jadi Tersangka)
Kasus ini bermula dari meninggalnya calon legislatif dari PDIP yang terpilih dalam Pemilu 2019, Nazarudin Kiemas. Alhasil, diperlukan pengganti. PDIP mengirimkan surat kepada KPU untuk menetapkan Harun Masiku sebagai penggantinya.
Namun, lewat rapat pleno 31 Agustus 2019, KPU justru menetapkan Riezky Aprilia. Rapat pleno pada 7 Januari juga kembali menolak permohonan PDIP. Transaksi suap diduga untuk mengubah keputusan ini.