ICW Tunjukkan Bukti UU KPK Baru Persulit Pengusutan Kasus Suap KPU

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar (kiri) menyaksikan penyidik menunjukkan barang bukti operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang menjerat seorang komisioner KPU di gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/1/2020).
12/1/2020, 19.59 WIB

Indonesia Corruption Watch (ICW) tetap menilai Undang-Undang KPK yang baru mempersulit kinerja komisi antirasuah. Meskipun, beberapa pihak beranggapan pengusutan kasus suap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuktikan undang-undang dan pimpinan KPK tak bermasalah.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyebut Undang-Undang KPK yang baru terbukti mempersulit kinerja KPK dalam penegakan hukum. Ia memaparkan, dalam kasus suap komisioner KPU, KPK terbukti lambat menggeledah kantor PDI Perjuangan. Ini lantaran penggeledahan kini memerlukan izin Dewan Pengawas.

Kondisi tersebut berbeda dengan sebelumnya. KPK tak perlu izin dari pihak mana pun untuk penggeledahan yang sifatnya mendesak. "Bagaimana mungkin tindakan penggeledahan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan bukti dapat berjalan dengan tepat serta cepat jika harus menunggu izin dari Dewan Pengawas?" kata dia dalam keterangan tertulisnya, Minggu (12/1).

(Baca: Suap Pergantian Anggota DPR, Aktivis Desak KPU Buka Notulensi Rapat)

Menurut dia, proses administrasi ketika meminta izin Dewan Pengawas memakan waktu. Hal itu dapat dimanfaatkan para pelaku korupsi menyembunyikan dan menghilangkan barang bukti.

Selain itu, ICW menduga tim KPK dihalang-halangi saat menangani perkara suap komisioner KPU tersebut. Sebelumnya dikabarkan tim penyidik KPK dihalang-halangi petugas keamanan saat akan menyegel kantor PDI Perjuangan.

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz pun menilai kondisi tersebut menunjukkan para penyidik KPK tak mendapatkan dukungan dari internal ketika mengusut kasus tersebut.

(Baca: Soal Kasus Suap KPU, Hasto: Ada yang Framing Saya Terima Dana)

Ia mengkiritisi Ketua KPK Firli Bahuri yang tak muncul sama sekali ketika pengusutan kasus korupsi tersebut dilakukan. Padahal, Firli seharusnya hadir karena dirinya bertanggung jawab menyelesaikan masalah teknis di lapangan. Terlebih ketika masalah tersebut berhubungan dengan polisi.

Sebelum menjabat sebagai Ketua KPK, Firli diketahui merupakan perwira tinggi di Polri. Dia pernah menjadi Kapolda Sumatera Selatan dan Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri. "Semestinya ia yang mempermudah kerja tim KPK yang berada di lapangan," kata Donal.

Dengan kondisi seperti ini, ICW menilai narasi penguatan KPK yang selama ini disampaikan Presiden Jokowi dan DPR hanya ilusi semata. Sebab, penegakan hukum yang dilakukan KPK saat ini justru sulit dilakukan.

Atas dasar itu, ICW mendesak Jokowi tak lagi membuang badan atas kondisi KPK yang semakin melemah, khususnya karena UU KPK baru. "Penerbitan Perppu harus menjadi prioritas utama Presiden untuk menyelamatkan KPK," kata Kurnia.

Lebih lanjut, ICW meminta KPK berani menerapkan aturan obstruction of justice. Ini karena dugaan adanya pihak-pihak yang menghalangi KPK ketika menangani perkara suap komisioner KPU.

"Penting untuk ditegaskan bahwa setiap upaya menghalang-halangi proses hukum dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menggunakan Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Kurnia.

Sebelumnya, KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap beberapa orang, termasuk Komisioner KPU Wahyu Setiawan (WSE). OTT terkait dugaan suap penetapan anggota DPR pergantian antarwaktu dari fraksi PDI Perjuangan.

KPK telah menetapkan Wahyu dan politisi PDIP Harun Masiku (HAR) sebagai tersangka. Wahyu diduga meminta dana operasional Rp 900 juta untuk membantu penetapan Harun sebagai anggota DPR pengganti antarwaktu, menggantikan anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia, Nazarudin Kemas.

(Baca: Kasus Suap KPU, PDIP Diminta Tanggung Jawab Dorong Harun Serahkan Diri)

Selain dua orang itu, KPK menetapkan dua tersangka lainnya, yaitu mantan anggota Badan Pengawas Pemilu atau orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina (ATF) dan Saeful (SAE) yang membantu Harun.

"Setelah melakukan pemeriksaan, KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi menerima hadiah atau terkait penetapan anggota DPR RI terpilih Tahun 2019-2024," ucap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/1).