Pemerintah akan membangun terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral, Jakarta Pusat. Pembangunan terowongan tersebut termasuk dalam proyek renovasi Masjid Istiqlal yang ditargetkan rampung pada April 2020.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, rencana pembangunan terowongan tersebut telah disampaikan kepadanya. "Tadi ada usulan untuk dibuat terowongan dari Masjid Istiqlal ke Katerdral, sudah saya setujui," kata Jokowi saat meninjau proyek renovasi Masjid Istiqlal, seperti dikutip Antara di Jakarta, Jumat (7/2).
Terowongan itu diharapkan menjadi sarana untuk silaturahmi. “Tidak perlu menyeberang, sekarang pakai terowongan silaturahmi,” katanya.
(Baca: Jokowi Sebut Renovasi Masjid Istiqlal Terbesar dalam 41 Tahun Terakhir)
Toleransi Bukan Sekadar Simbol
Namun, beragam tanggapan hadir dari sejumlah tokoh. Ada yang mendukung, ada pula yang meminta Jokowi untuk mengkaji ulang ide pembangunan terowongan yang menghubungkan dua rumah ibadah itu.
Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama (NU), mengkritik pembangunan terowongan tersebut. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyatakan, masyarakat membutuhkan silaturahmi dalam bentuk infrastruktur sosial, bukan dalam bentuk infrastruktur fisik berupa terowongan.
“Di mana pemerintah secara sungguh-sungguh membangun toleransi otentik, toleransi hakiki, dan bukan toleransi basa-basi. Itu yang dibutuhkan,” kata Abdul Mu'ti seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
Hal serupa dilontarkan oleh NU. Ketua Umum Pengurus Besar NU, Said Aqil Siroj, mempertanyakan urgensi pembangunan tersebut. “Harus ada nilai dong, apa nilai budaya, apa nilai agama, atau cuma strategi politik?” ujar Said, seperti dikutip dari Republika.
Menurunya, akan lebih baik jika kedua rumah ibadah membangun kerja sama di bidang lainnya, seperti teknologi dan ekonomi. Selain itu, membangun toleransi juga dapat dilakukan melalui kebersamaan sikap mengenai kondisi di dalam dan luar negeri.
Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Gomar Gultom mengatakan, simbol-simbol yang dibangun itu tidak mengatasi beragam kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. “Kita membutuhkan kerukunan yang eksistensial, bukan yang formalistik dan simbol-simbol semaja,” ujarnya seperti dikutip dari Tempo.co.
(Baca: Jalan Santai, Imam Masjid Istiqlal & Ma'ruf Amin Bahas Toleransi Agama)
Fungsi Terowongan
Kontras dengan kritik tersebut, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Uskup Agung Ignatius Suharyo menyatakan dukungannya terhadap rencana pembangunan terowongan bawah tanah itu. Seperti dilansir dari Republika, terowongan tersebut menjadi monumen abadi yang sangat berarti dan bermakna.
Begitu pun dengan Wakil Kepala Masjid Istiqlal Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan ikon toleransi. Terowongan itu akan menjadi sarana penyeberangan bagi jemaat Gereja Katedral yang memarkir kendaraannya di halaman Masjid Istiqlal tanpa harus memutar terlebih dahulu.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Kedeputian Komunikasi Politik Donny Gahral mengatakan, rencana pembangunan terowongan itu sebenarnya telah disepakati kedua pengurus rumah ibadah. Hal tersebut didasari oleh kebutuhan lalu-lalang kedua umat beragama, baik dari Katedral ke Istiqlal maupun sebaliknya.
“Tapi kemudian oleh Pak Jokowi itu dinarasikan sebagai terowongan silaturahmi. Jadi, Pak Jokowi memberikan makna terhadap sesuatu yang sebenarnya fungsional saja,” kata Donny seperti dikutip dari Detik.com, Jumat (8/2).
(Baca: Istiqlal, Masjid Besar Penuh Makna yang Siap Bersolek)
Sebagai informasi, renovasi Masjid Istiqlal dimulai sejak Mei 2019 dan menghabiskan anggaran Rp 475 miliar. Dana tersebut digunakan untuk memperbarui beragam fasilitas dalam masjid, seperti lantai, karpet, pencahayaan, serta tata suara. Selain itu, renovasi juga menambah lahan parkir dan membangun ruang bawah tanah. Pembenahan eksterior pun dilakukan, seperti perbaikan taman dan sungai yang mengelilingi masjid.
Penulis : Destya Galuh Ramadhani (Magang)