Tak Hanya Buruh, Walikota pun Protes Omnibus Law

ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
Wali Kota Bogor Bima Arya (kiri) bersalaman dengan sejumlah peserta saat prosesi wisuda Sekolah Ibu di GOR Indoor Basket Pajajaran, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (26/11/2019).
Penulis: Fahmi Ramadhan
Editor: Pingit Aria
16/2/2020, 18.36 WIB

Tak hanya menuai penolakan dari kalangan buruh, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja kini juga diprotes Kepala daerah. Walikota Bogor Bima Arya menganggap draf omnibus law tersebut banyak rugikan daerah.

Selain itu, menurutnya regulasi sapu jagat itu tidak partisipatif melibatkan daerah. "Proses ini (pembahasan omnibus law) seharusnya transparan, inklusif, dan partisipatif," ujar Bima di Jakarta pada Minggu (16/2). Sejauh ini, menurut Bima, pemerintah daerah dilibatkan, namun tidak terlalu intens.

Salah satu poin yang ia tidak setujui yaitu penghapusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Menurutnya, yang dibutuhkan dunia usaha bukan penghapusan, tapi penyederhanaan izin. 

"Jadi kan di daerah banyak perizinannya. Ada izin lingkungan, Amdal (Analisi Mengenai Dampak Lingkungan), IMB, rumit sekali. Bukan berarti dihapus, tapi disederhanakan," ujar Bima yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi). 

(Baca: Untung Rugi Bonus Lima Kali Gaji di Omnibus Law)

IMB diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Menurutnya, pemerintah daerah perlu menerbitkan IMB agar ada pengawasan dalam proses pembangunan. Ia mengatakan, jangan sampai demi investasi, pengawasan terhadap lingkungan itu dikesampingkan.

Bima juga mengaku keberatan dengan draf RUU Cipta Kerja (sebelumnya Cipta Lapangan Kerja) yang mengatur kepatuhan kepala daerah kepada presiden. Dalam aturan itu, kepala daerah harus melaksanakan program prioritas nasional.

"Kalau tidak dijalankan bisa kena sanksi bahkan sampai pemecatan. Itu bertingkat mulai dari bupati/walikota, gubernur, hingga ke atas sanksi dikeluarkan oleh Mendagri (Menteri Dalam Negeri)," kata Bima. 

Pada draf RUU Cipta Lapangan Kerja pasal 520 ayat 3 sanksi yang dikenakan mulai dari ringan berupa sanksi administrasi, nonjob dalam waktu tertentu, hingga sanksi berat yaitu pemecatan. "Mengejar pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengesampingkan demokrasi," ujarnya.

(Baca: 9 Alasan Organisasi Buruh Tolak Omnibus Law Cipta Kerja)

Dalam RUU Cipta Kerja juga diatur mengenai penetapan upah minimum di tingkat provinsi oleh gubernur. Tidak lagi Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). "Harus dikaji dulu, karakteristik kan berbeda-beda, harus hati-hati di situ jangan dulu ke kabupaten kota lain, antara Kota Bogor dan Kabupaten Bogor saja sudah beda," ujar Bima. 

UMK Kota Bogor saat ini Rp 4,1 juta. Sementara UMP Jawa Barat yaitu Rp 1,8 juta. Apabila aturan disahkan, maka upah minimum di Bogor akan mengikuti Jawa Barat sebesar Rp 1,8 juta. 

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan