Perusahaan penyelenggara haji dan umrah berpotensi rugi Rp 2,5 triliun, akibat kebijakan pemerintah Arab Saudi yang menyetop izin umrah sementara dari Indonesia. Angka ini dihitung dari potensi penjualan jasa haji dan umrah per bulan.
"Potensi penerimaan dan penjualan dalam satu bulan capai Rp 2-2,5 triliun," kata Ketua Asosiasi Penyelenggara Haji dan Umrah Joko Asmoro, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (29/2). Perhitungannya, biaya umroh untuk satu orang minimum senilai Rp 20 juta. Adapun, rata-rata jumlah jemaah dari Indonesia mencapai 100-150 ribu per bulan.
Kerugian tersebut dinilai bisa berdampak pada tenaga kerja pada perusahaan penyelenggara perjalanan tersebut. Namun, ia mengatakan para biro perjalanan memahami kondisi tersebut.
(Baca: Potensi Ekonomi Umrah bagi Arab Saudi)
Selain kerugian yang dialami biro perjalanan, ia mengataan calon jamaah juga ikut terdampak. Kerugian utamanya dirasakan untuk penyiapan visa. Joko mengatakan, masa berlaku visa hanya selama 14 hari. Bila dalam 14 hari tidak berangkat, mas berlaku visa akan hangus.
Sementara itu, biaya pembuatan visa mencapai US$ 195-200 atau setara Rp 2,7-2,8 (kurs Rp 14.317 per US$). "Jadi harus buat visa baru lagi," ujar dia. Berdasarkan catatannya, jumlah orang yang telah memiliki visa ke Arab Saudi mencapai 150 ribu.
Meski begitu, ia mengatakan pemerintah telah berkoordinasi dengan Duta Besar Saudi Arabia untuk memberikan keringanan saat penumpang melakukan penjadwalan ulang untuk umrah. Menurutnya, penumpang yang telah memiliki visa namun belum berangkat ke Negeri Minyak tersebut bisa mengajukan visa kembali tanpa dikenakan biaya.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Arab Saudi melalui akun twitter-nya menyatakan kebijakan Pemerintah Arab Saudi ini merupakan upaya untuk mencegah masuk dan menyebarnya wabah virus Covid-19 di negara kerajaan tersebut.
“Kedatangan ke Kerajaan (Arab Saudi) untuk tujuan umrah dan/atau mengunjungi Masjid Nabawi di Madinah sementara ditangguhkan,” tulis Kemenlu Arab Saudi melalui akun Twitter resmi berbahasa inggrisnya, @KSAmofaEN, dikutip Kamis (27/2).
Namun penangguhan tersebut hanya diberlakukan terhadap negara yang penyebaran virus corona berada pada level berbahaya, berdasarkan kriteria yang ditentukan otoritas kesehatan Kerajaan.
Adanya peningkatan tajam jumlah kasus yang dilaporkan di Timur Tengah menjadi salah satu faktor yang memicu Arab Saudi mengambil langkah pencegahan ini. Sebagian besar kasus tersebut berasal dari Iran yang saat ini memiliki angka kematian tertinggi di luar Tiongkok.