Kesadaran Warga Memilah Sampah Masih Rendah

ANTARA FOTO/Basri Marzuki
Penulis: Tim Publikasi Katadata - Tim Publikasi Katadata
9/3/2020, 17.18 WIB

Sebagian besar rumah tangga di Indonesia hingga saat ini belum melakukan pemilahan sampah. Perilaku pemilahan sampah ini disurvei oleh Katadata Insight Center (KIC) terhadap 354 responden di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya pada 28 September hingga 3 Oktober 2019.

Menurut survei KIC, sebanyak 50,8 persen responden di lima kota besar Indonesia tidak memilah sampah. Dari 50,8 persen rumah tangga yang tidak memilah sampah, 79 persen di antaranya beralasan tidak ingin repot.

 

Warga yang memilah sampah berdasarkan dua kategori mencapai 77,60 persen, padahal kategori pemilahan sampah tersebut belum cukup karena beragamnya jenis sampah, seperti sampah yang mudah terurai, sampah daur ulang, maupun sampah bahan berbahaya dan beracun (B3). Dalam pengelolaannya, sampah B3 harus dipisahkan dari jenis lainnya karena mengandung zat berbahaya.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Pasal 5, karakteristik limbah B3 adalah mudah meledak, mudah menyala, rekatif, infeksius, korosif, dan beracun. Limbah B3 tersebut juga dapat ditemukan pada sampah rumah tangga, seperti pembersih kamar mandi, deterjen pakaian, bekas obat, bekas baterai, dan sebagainya.

Kurangnya pengetahuan masyarakat akan bahaya sampah B3 berdampak pada tercampurnya jenis sampah tersebut dengan sampah domestik karena tidak ada pemilahan sampah dari tingkat rumah tangga. Bahkan sampah B3 yang bercampur di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang mencapai empat persen dari seluruh komposisi sampah.

Menurut penelitian tentang Timbulan Sampah B3 Rumah Tangga oleh Universitas Gadjah Mada, penimbunan sampah B3 di lingkungan pemukiman dan TPA dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan bagi masyarakat sekitar area pembuangan. Di Tiongkok, anak yang tinggal di dekat area daur ulang sampah elektronik memiliki kadar timbal yang tinggi di dalam darahnya.

Hasil Survei Sosial Ekonomi (Susenas) 2017 mengungkapkan sebanyak 66,8 persen masyarakat Indonesia masih membakar sampah rumah tangga tanpa dipilah, sehingga sampah B3 turut terbakar bersama sampah lainnya. Perilaku membakar sampah B3 beserta sampah lainnya tak hanya berpotensi mencemari lingkungan tapi juga berbahaya bagi kesehatan. Gas beracun yang dihasilkan dari pembakaran sampah B3 menyebabkan penumpukan cairan paru-paru bahkan memicu kanker.

Guna mencegah risiko yang ditimbulkan sampah B3, masyarakat harus memisahkan sampah B3 dengan sampah lainnya melalui pemilahan sampah.

Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan idealnya, pemilahan sampah dibagi menjadi lima kategori, yaitu sampah B3, sampah yang mudah terurai, sampah yang dapat digunakan kembali, sampah yang dapat didaur ulang, dan sampah lainnya. Di Jakarta, pemerintah daerah menyediakan tiga jenis sampah dengan warna berbeda untuk memilah sampah organik, anorganik, dan limbah B3.

Pemilahan sampah yang baik dapat memudahkan petugas dalam memilah sampah yang didaur ulang, sehingga sampah dapat bernilai ekonomi. Selain itu, pemilahan sampah B3 dapat meminimalisir risiko yang membahayakan keselamatan petugas yang mengangkut sampah maupun masyarakat sekitar.

Pemilahan sampah daur ulang juga memberikan nilai ekonomi, karena bisa dijual kembali untuk diolah. Jenis sampah daur ulang yang ada di rumah tangga di antaranya botol kaca, kemasan plastik, atau kertas.

Saat ini industri daur ulang plastik Indonesia membutuhkan 7,2 ton sampah plastik pertahunnya, namun pemenuhan bahan baku hanya sebesar 913 ribu ton sehingga harus mengimpor sampah daur ulang dari negara lain. 

Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Racun Berbahaya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati, sampah di Indonesia belum memenuhi standar kebutuhan industri karena minimnya proses pemilahan sampah di rumah tangga. “Dampaknya, Indonesia terpaksa masih harus mengimpor sampah plastik sebanyak 320 ribu ton,” kata Rosa kepada SWA (13/8/2019).

Sekretaris Jenderal Industri Aromatika, Olefin, dan Plastik (Inaplas), Fajar Budiyono, menambahkan bahwa kapasitas industri plastik di Indonesia saat ini hanya 80 persen akibat sampah yang belum terpilah. Padahal bila warga dapat memilah sampahnya, biaya pemilahan sampah industri daur ulang dapat ditekan.

“Biaya sortir atau pilah berkisar 50 persen dari cost recycle,” ujar Fajar kepada Kompas (1/5/2019).

Di Indonesia, adanya bank sampah memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian melalui pemilahan sampah di tingkat rumah tangga. Pada 2018, terdapat 8.003 unit bank sampah di seluruh Indonesia menghasilkan Rp 2,50 miliar per bulan dari pemilahan sampah, yang kemudian dijual ke industri daur ulang.

Ratna, warga Duren Sawit, Jakarta anggota Bank Sampah Asri, mengungkapkan memilah sampah melalui bank sampah menambah penghasilan warga bahkan dapat digunakan untuk berinvestasi.

“Hasil memilah sampah di bank sampah selama setahun sekitar Rp400 ribu untuk investasi emas,” kata Ratna (8/11/2019).