Dilema Isolasi Virus Corona dan Tekanan Cicilan Utang

ANTARA FOTO/Zabur Karuru/foc.
Pengunjung menaiki lift yang telah dipasangi garis batas setiap pengguna di Tunjungan Plaza, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (18/3/2020). Pembatasan tersebut dilakukan guna mengantisipasi penyebaran Virus Corona (COVID-19).
Penulis: Muchamad Nafi
19/3/2020, 07.55 WIB

Hari-hari ini sebagian orang di Jakarta dan beberapa daerah di sekitarnya lebih banyak beraktivitas di rumah. Perusahaan atau instansi tempatnya bekerja memang menyarankan work from home untuk menekan penyebaran virus corona.

Mobilitas masyarakat pun berkurang. Namun, upaya isolasi dari virus corona ini menjadi dilema bagi sebagian orang, terutama mereka yang bekerja di sektor non-formal. “Saya sih maunya libur. Enggak kerja dulu sementara. Cuma cicilan saya bagaimana?” kata Agus (35), pengemudi ojek online saat ditanya alasannya tetap bekerja di tengah pandemi Covid-19.

Ayah satu orang anak itu mengatakan tidak khawatir untuk biaya makan selama dua pekan ke depan. Dia dan keluarganya bisa menggunakan tabungannya. Akan tetapi uang itu tidak cukup jika untuk membayar kontrakan rumah dan cicilan sepeda motornya.

(Baca: Siasat Gojek & Grab Cegah Penularan Corona Lewat GoFood & GrabFood)

Setiap bulan, Agus harus menyisihkan sedikitnya Rp 2 juta untuk membayar cicilan dan uang sewa rumah. “Apa pemerintah mau menanggung cicilan saya?” ujarnya sembari berkelakar.

Saban pagi, Agus berangkat dari kontrakannya di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Tujuannya mangkal di Stasiun Palmerah. Di sana penumpang ramai menggunakan jasanya ke tempat kerja.

Dia sempat khawatir karena masih mengojek seperti biasa di tengah penyebaran virus corona yang merata di Ibu Kota. Ia juga resah penumpang yang diantarkannya mentransmisikan virus pada dirinya. “Cuma mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan meski sekarang ngojek juga sepi,” keluhnya.

Agus tak sendiri. Banyak warga lain yang masih beraktivitas seperti biasa meskipun Presiden Joko Widodo mengimbau agar masyarakat belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah. Kondisi dilema dialami Pupun (30), karyawan swasta yang tetap harus bekerja. “Banyak cicilan, lebih seram dari corona,” katanya sembari bercanda.

(Baca: Melawan Virus Corona dari Rumah)

Baginya didatangi debt collector yang menagih utang-utangnya lebih membuat merinding. Mengingat cicilan yang harus dibayar setiap bulan, mau tak mau Pupun harus tetap bekerja. Ia tak tenang jika berdiam diri di rumah.

Dua cicilan mesti diangsurnya setiap bulan: kartu kredit dan mobil. Setidaknya Pupun mesti menyisihkan Rp 4 juta. “Lagi pula, dari kantor belum ada ketentuan bekerja dari rumah,” ujar Pupun yang membekali dirinya dengan masker dan cairan pencuci tangan antiseptik setiap keluar rumah.

Persoalan cicilan menjadi bahan olok-olok di media sosial saat virus corona merebak. Ada bertaburan foto maupun meme menyinggung realitas sosial tersebut. Misalnya, foto bertuliskan, “Corona berhasil menunda semua acara, jadwal seminar, meeting, kebaktian, bahkan semua liga bola. Tetapi corona tidak berhasil menunda tagihan cicilan KPR, mobil, kartu kredit. Semua tetap ngejar pak bu” yang ditutup dengan emoticon tertawa.

Warga Jakarta lainnya, Epi (30), meminta semua kewajiban cicilan ditunda. Pemerintah harus memberikan pengertian pada pihak perbankan maupun lembaga keuangan untuk menghentikan sementara penagihan.

(Baca: Sri Mulyani Siapkan Stimulus Jilid III untuk Redam Penyebaran Corona)

Dengan setengah kesal, Epi berkata baru saja dihubungi provider seluler padahal ia rutin membayar tepat waktu setiap bulan. “Takut gue enggak bayar kali. Padahal kondisi lagi kaya gini (prihatin),” ujarnya.

Indonesia mungkin bisa mencontoh Mongolia yang memutuskan penundaan pembayaran pinjaman selama tiga bulan. Langkah itu diambil setelah pemerintah negara yang berbatasan langsung dengan Tiongkok itu melakukan karantina ketat pada warganya sejak akhir Januari.

Sejak 27 Januari Pemerintah Mongolia menutup perbatasan dengan Cina. Pada hari yang sama pula, sekolah-sekolah diliburkan. Seluruh festival maupun seminar dibatalkan. Pada 19 Februari dilakukan pemblokiran kendaraan, kecuali bus, di jalan raya agar masyarakat melakukan isolasi. Lalu-lintas bus pun dibatasi.

Di Indonesia, kemarin terdapat 55 tambahan kasus baru Covid-19 sehingga total pasien yang terinfeksi virus corona 227. Dari jumlah itu, 19 orang meninggal. Angka tersebut menempatkan Indonesia menjadi peringkat ketiga setelah Iran dan Spanyol untuk kasus kematian baru (berdasarkan data Worldometers).

Sejumlah ahli memperkirakan kasus Covid-19 akan semakin bertambah. Perhatikan grafik pada Databoks berikut ini: 

Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, Achmad Yurianto, kemarin mengakui dalam beberapa hari terakhir terjadi akselerasi jumlah positif virus. Pemerintah telah menyiapkan 132 rumah sakit rujukan daerah untuk penanganan Covid-19.

Reporter: Antara