Cara Serikat Membantu Pekerja Kerah Biru Bertahan di Tengah Corona

ANTARA FOTO/FB Anggoro
Sejumlah pekerja mengerjakan kubah Masjid Raya Provinsi Riau di Kota Pekanbaru, Kamis (20/2/2020). Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia meminta pemerintah untuk merevisi draft Omnibus Law Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh karena menghapus ketentuan upah minimum di kabupaten/kota, menghapus sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan, hingga menurunkan pesangon bagi buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja.
23/3/2020, 19.20 WIB

Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada 15 Maret 2020 telah menginstruksikan agar masyarakat mengurangi aktivitas di luar rumah guna mencegah penyevaran virus Covid-19 atau umum disebut Corona. "Saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah," kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Bogor, Minggu (15/3/2020).

Instruksi tersebut dikeluarkan Jokowi menyusul terus bertambahnya pengidap Corona di Indonesia. Data pemerintah per 23 Maret 2020 menyatakan 579 orang positif Corona dengan rincian: 500 masih dalam perawatan, 49 orang meninggal dunia dan 30 orang sembuh. Atau, rasio meninggal dunia sebesar  8,5 persen dan rasio sembuh sebesar 5,2 persen dari keseluruhan kasus.

Pelaku usaha mengikuti instruksi Presiden Jokowi dengan membuat kebijakan bekerja di rumah bagi pekerjanya atau work from home untuk sementara waktu. Kebijakan ini bervariasi, mulai dari seminggu hari kerja sampai dua minggu hari kerja work from home.

Namun bukan bagi Heydi Noer. Pekerja kerah biru di salah satu perusahaan alas kaki di Subang, Jawa Barat ini tetap harus berangkat ke pabrik di tengah bahaya virus Corona. Ia harus tetap berbaur dengan buruh lainnya yang sama-sama berisiko mengidap dan menularkan Corona. Apalagi menurutnya perusahaan tempatnya bekerja belum maksimal dalam melakukan pencegahan penularan Corona.

Menurut Heydi, perusahaannya hanya melakukan tes suhu badan bagi seluruh pekerja sebelum memasuki pabrik. Sementara alat pencegahan dini lain seperti hand sanitizer belum tersedia.    

"Khawatir pasti, tapi mau bagaimana lagi. Kalau tidak kerja upah bisa dipangkas," kata Heydi kepada Katadata, Senin (23/4/2020).

Upah memang menjadi hal penting bagi pekerja kerah biru seperti Heydi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada November 2019 menyatakan rata-rata upah buruh di Indonesia terbilang masih rendah dan terdapat ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, yakni Rp2,45 juta untuk perempuan dan Rp2,91 juta untuk laki-laki.

Kondisi Heydi ditangkap oleh Sekjen Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Sunarno. Menurutnya, banyak pekerja kerah biru lain di Indonesia mengalami kejadian serupa bahkan lebih parah seperti para buruh tekstile yang terancam PHK karena industri tekstile goyah akibat Corona. Oleh karena itu, ia menyatakan KASBI telah melakukan langkah-langkah agar pekerja kerah biru dapat bertahan di tengah pandemi virus Corona, yakni sebagai berikut:

Mengusulkan Rotasi Jadwal Kerja

Sunarno menyatakan, perwakilan KASBI di tingkat perusahaan telah melakukan komunikasi dengan pemilik perusahaan agar memberlakukan rotasi jadwal kerja bagi buruh. Langkah ini menurutnya bisa menjadi jalan tengah untuk menjaga produksi tetap berjalan sekaligus tetap memastikan keselamatan pekerja kerah biru.

"Sistemnya seminggu sebagian (buruh) bekerja, seminggu setelahnya sebagian (buruh) lainnya (bekerja). Beberapa perusahaan sudah melakukan itu, seperti di Kabupaten Tangerang," kata Sunarno kepada Katadata Senin (23/4/2020).

Melakukan Pendampingan

Selanjutnya, Sunarno menyatakan pihaknya akan melakukan pendampingan kepada para buruh anggota KASBI agar mendapatkan haknya ketika positif mengidap Corona, seperti mendapat kompensasi upah sakit dan perawatan kesehatan.

Selain itu, KASBI juga bekerja sama dengan bidan desa untuk melakukan penyuluhan dampak Corona kepada para pekerja kerah biru. Baik yang berstatus sebagai anggotanya, maupun yang tidak.

Mendesak Kemenaker Melakukan Pengawasan

Terakhir, kata Sunarno, KASBI akan berkomunikasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan mendesak mereka melakukan pengawasan terhadap perusahaan atau pabrik agar tetap memberikan hak buruh selama pandemi Corona berlangsung.

"Jadi Disnaker di daerah harus proaktif. Kalau ada perusahaan yang tidak menyediakan alat pencegahan dini supaya ditegur atau bahkan diberi sanksi," kata Sunarno.