Pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan soal cuaca panas membunuh virus corona menuai tanda tanya. Pasalnya, sampai sekarang belum ada bukti ilmiah soal kebenaran teori ini.
“Dari hasil modelling kami, cuaca Indonesia, (di) ekuator yang panas dan kelembaban udara tinggi membuat Covid-19 tidak kuat (hidup),” katanya saat melakukan rapat koordinasi, Kamis (2/4), seperti dikutip dari Kompas.com.
Tapi kondisi itu tak lantas membuat Indonesia aman dari pandemi corona. Luhut tetap mengimbau masyarakat untuk disiplin memutus rantai penularan virus tersebut. Menjaga jarak, menghindari kerumuman, dan beraktivitas di dalam rumah harus tetap dilakukan semua orang.
(Baca: Daftar Koruptor Lansia Berpeluang Bebas Karena Penanganan Virus Corona)
Situs BBCIndonesia.com menyebut teori soal pengaruh cuaca terhadap ketahanan hidup virus corona belum benar-benar terbukti. Para pakar sudah mewanti-wanti jangan terlalu berharap virus ini akan musnah pada musim panas.
Memang ada kajian pada 10 tahun lalu dari Pusat Penyakit Menular di Universitas Edinburgh yang menemukan tiga jenis virus corona biasanya muncul pada musim dingin. Virus-virus ini menginfeksi manusia antara Desember hingga April. Pola ini juga berlaku pada influenza.
Contohnya, virus corona yang menyebabkan sindrom pernapasan akut SARS. Wabah penyakit ini terjadi pada 2002-2003. Penelitian yang masih awal menunjukkan corona jenis ini punya kemampuan bertahan hidup di cuaca sejuk dan dingin. Semakin tinggi suhu dan kelembabannya, semakin rendah kemampuan virus bertahan hidup. Tapi riset ini pun masih tahap awal.
Nah, virus corona jenis keempat, yaitu Covid-19 (nama resminya SARS-CoV-2) yang sedang menjangkiti dunia sekarang memiliki pola lebih sporadis. Apalagi kalau sudah masuk level pandemi, biasanya tidak lagi mengikuti pola musiman. Kondisi serupa juga terjadi ketika Flu Spanyol menginfeksi dunia pada 1918.
(Baca: Prediksi 5 Lembaga soal Corona di Indonesia: Paling Cepat Mereda Mei)
Virus Corona Tak Tahan Panas, Bukan Berarti Musnah
Analisis awal dari Massachusetts Institute of Technology, melansir dari The New York Times, menunjukkan sebagian besar penularan Covid-19 terjadi di suhu tiga sampai 17 derajat Celcius. Negara khatulistiwa dan belahan bumi bagian selatan (yang sedang mengalami musim panas) hanya menyumbang sekitar 6% kasus global saat ini.
“Di suhu dingin, jumlah kasus meningkat dengan cepat,” kata ilmuwan komputasi di MIT, Qasim Bukhari. “Anda melihat ini di Eropa, yang memiliki layanan kesehatan terbaik di dunia.”
Amerika Serikat juga mengalami pola seperti itu. Negara-negara bagian di sebelah selatan, seperti Arizona, Florida, dan Texas, mengalami pertumbuhan infeksi Covid-19 yang lebih lambat dibandingkan bagian utara.
Tapi Bukhari mengakui faktor pembatasan gerak dan jarak sosial, ketersedian tes serta layanan rumah sakit turut mempengaruhi jumlah kasus di berbagai negara. Korelasi antara virus corona dan iklim tak seharusnya dipakai pembuat kebijakan dan publik berpuas diri. “Suhu yang lebih hangat hanya membuat penularan virus ini kurang efektif, bukan berarti tidak ada penularan,” ucapnya.
(Baca: Krisis Ventilator di Tengah Pandemi Corona, Seberapa Penting Alat Ini?)
Di udara hangat Covid-19 akan sulit bertahan hidup. Tapi bukan berarti musnah atau tidak ada. Mikroorganisme itu masih ada di sel makhluk hidup dan menunggu kondisi yang tepat untuk menyebarkan infeksi lagi.
Badan Organisasi Kesehatan Dunia dalam rilisnya juga menyebut, tidak peduli seberapa cerah atau panas cuacanya, semua orang bisa terinfeksi Covid-19. “Untuk melindungi diri Anda, pastikan sering membersihkan tangan dan menghindari menyentuh mata, mulut, dan hidung Anda,” tulisnya.