Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan anggaran pengembalian biaya operasi (cost recovery) pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 sebesar US$ 10-11 miliar atau sekitar Rp 152 triliun. Pertimbangannya adalah capaian dan target tahun ini.
Adapun dalam APBN tahun ini, cost recovery dianggarkan US$ 10,39 miliar. Sedangkan realisasinya sejak awal tahun hingga Mei 2018 telah mencapai US$ 4,71 miliar.
Meski begitu, pemerintah tetap berupaya menekan cost recovery. Bahkan pemerintah tidak akan membayar cost recovery jika produksi rendah.
Menurut Jonan, memang perlu ada sebuah evaluasi jika cost recovery naik, tapi di sisi lain produksi turun. "Ini perlu evaluasi serius," kata Jonan.
Dalam lima tahun terakhir, cost recovery paling rendah terjadi di tahun 2017 dengan nilai US$ 11,32 miliar. Sedangkan capaian tertinggi terjadi tahun 2013 lalu, yakni sebesar US$ 15,9 miliar.
Anggota Komisi VII DPR Kardaya Warnika mengaku tidak sepakat rencana Jonan tidak membayar cost recovery yang diajukan kontraktor jika produksi tidak tercapai. "Kalau Bapak Menteri mau yang produksi turun tidak di-cost recovery, itu bisa arbitrase," kata dia.
(Baca: Saya Mewakili Negara Berdagang, Cost Recovery Itu Abusive)
Menurut Kardaya yang harus dievaluasi jika cost recovery membengkak tapi produksi tak tercapai adalah Divisi Perencanaan di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Ini karena merupakan kewenangan mereka.