Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mengubah formula harga elpiji (Liquefied Petroleum Gas/LPG). Alasannya, selama ini harga tersebut kurang mencerminkan kondisi yang sesungguhnya.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan selama ini penentuan harga LPG menggunakan asumsi. Jadi, yang setiap hari berubah itu sebenarnya harga impor.
Untuk itu akan dicari variabel tepat untuk harga LPG. “Variabelnya itu disesuaikan dengan realita. Jadi lebih realitis,” kata Djoko di Jakarta, Jumat (24/8).
Formula baru itu nantinya juga memperhitungkan gas yang berasal dari kilang dalam negeri baik milik swasta atau PT Pertamina (Persero). Kemudian ada pertimbangan biaya transportasi dan sewa fasilitas penampungan.
Pemerintah juga akan memilih opsi yang termurah dalam fasilitas penampungan. “Yang tadinya sewa mahal tuh yang floating, jadi storage darat lebih murah. Itu dilihat realitasnya,” ujar Djoko.
Adapun saat ini harga LPG 12 kilogram yang tidak subsidi sekitar Rp 144 ribu per tabung. Sementara itu, elpiji tiga kilogram yang subsidi mencapai Rp 20 ribu.
Dalam APBN 2018 subsidi elpiji hanya dipatok 6,450 juta MT atau Rp 94,53 triliun. Sedangkan tahun 2019 akan ditetapkan kg sebesar Rp68.332,3 miliar. Alokasi subsidi tersebut termasuk perhitungan carry over ke tahun berikutnya sebesar Rp5.000,0 miliar.
(Baca: Dua Opsi Mengendalikan Subsidi Elpiji)
Perhitungan anggaran subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg tahun 2019 tersebut menggunakan beberapa asumsi dan parameter. Pertama, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat Rp 14.400 per US$. Kedua, asumsi harga minyak Indonesia (ICP) US$70 per barel. Ketiga, volume LPG tabung 3 kg sebesar 6.978 juta kg.