Indonesian Petroleum Association (IPA) menyebut Presiden Joko Widodo memiliki sejumlah pekerjaan rumah dan tantangan di sektor hulu migas. Salah satunya terkait minimnya upaya eksplorasi migas.
Padahal menurut Direktur IPA Nanang Abdul Manaf, Indonesia masih memiliki potensi cadangan migas yang cukup besar. Bahkan ada 70 basin yang belum dieksplorasi.
Para investor pun masih memliki daya tarik terhadap wilayah kerja migas Indonesia. Namun diperlukan intensif fiskal agar eksplorasi menjadi ekonomi.
“Potensi geologis yang sangat besar ini tidak dapat dipisahkan dari sisi komersial dan kebijakan fiskal yang ada, sehingga dapat menarik minat investor untuk melakukan eksplorasi,” ujar Nanang dalam keterangan tertulis, Jumat (25/10).
Jika basin tersebut bisa dieksplorasi, dia yakin Indonesia mampu meningkatkan produksi migas nasional guna memenuhi kebutuhan energi di masa mendatang.
(Baca: SKK Migas Tantang Pertamina dan Medco Temukan Migas Seperti Repsol)
Jika upaya mencari cadangan migas baru semakin minim, maka berdampak pada jumlah produksi yang dihasilkan di masa mendatang. “Perlu dipikirkan sejumlah cara agar investor mau melakukan eksplorasi di Indonesia,” kata Nanang.
Makanya Nanang menyebut perlu kolaborasi antara pemerintah dengan pihak industri dalam upaya peningkatan industri hulu migas nasional. Dengan begitu, impor dapat berkurang sehingga defisit neraca perdagangan dapat ditekan.
Defisit neraca perdagangan sektor migas membengkak 429,9% menjadi US$ 755,1 juta pada Agustus 2019 dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar US$ 142,5 juta.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut ekspor migas turun 45,5% menjadi US$ 875,4 juta dari bulan sebelumnya US$ 1,6 miliar. Sedangkan impor migas pada Agustus 2019 sebesar US$ 1,6 miliar, turun 6,7% dari Juli 2019 yang sebesar US$ 1,7 miliar. Selengkapnya data defisit neraca perdagangan migas pada Agustus 2019 dalam grafik Databoks berikut ini :
Di sisi lain, Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong menyampaikan industri migas nasional menyambut baik adanya kebijakan baru tentang keterbukaan data yang diterbitkan oleh pemerintah, yaitu Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 7/2019 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Data Minyak dan Gas Bumi. Kebijakan tersebut diyakini dapat membantu calon investor pada tahap awal untuk mengetahui ada tidaknya potensi hidrokarbon di suatu wilayah kerja yang ditawarkan pemerintah.
“Namun kebijakan ini harus terus disempurnakan khususnya tentang mekanisme pengelolaan data dan kualitas dari data yang ada itu sendiri,” ujarnya.
Berdasarkan infografis yang diterbitkan IPA, proyeksi kebutuhan minyak pada 2025 sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) mencapai sebesar 2 juta barel per hari. Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan penemuan cadangan migas baru sebanyak 10 kali Lapangan Cepu atau investasi sebesar US$ 12 miliar.
Selain potensi geologis dan keterbukaan data, IPA juga menyoroti perihal rencana pemerintah untuk mengurangi birokrasi perijinan yang diperlukan dalam kegiatan hulu migas nasional. Hal ini sejalan dengan fokus pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi pada periode kedua.
“Penyederhanaan perijinan tidak saja pada Kementerian ESDM, tetapi juga harus terjadi pada Kementerian atau Lembaga terkait, termasuk Pemerintah Daerah. Hal ini disebabkan karena kegiatan industri hulu migas juga terkait dengan sektor-sektor lainnya,” kata Meiti.
(Baca: Hingga September, Lifting Migas Hanya Capai 89% dari Target APBN)