Mewaspadai Bahaya Gelombang Kedua Virus Corona

ANTARA FOTO/REUTERS/Mike Segar/foc/dj
Ilustrasi. Gelombang kedua virus corona diperkirakan bakal menghantam Amerika Serikat pada musim dingin dan lebih buruk daripada yang pertama.
Penulis: Sorta Tobing
23/4/2020, 19.26 WIB

Gelombang kedua virus corona diperkirakan bakal menghantam Amerika Serikat pada musim dingin. Kondisinya akan lebih parah dari situasi yang terjadi sekarang karena bertepatan pula dengan peningkatan kasus influenza.

“Ada kemungkinan serangan virus Covid-19 di negara kita pada musim dingin mendatang akan lebih sulit ketimbang yang kita lalui sekarang,” kata Direktur Pusat Pengendalian dan Pecegahan Penyakit AS (CDC), Robert Redfield, dilansir dari Washington Post, Rabu (22/4).

Dengan kondisi dua wabah pernapasan terjadi serentak, Redfield memprediksi layanan dan fasilitas kesehatan akan kewalahan. Pada gelombang pertama saja, korban meninggal di negara itu telah menembus 47 ribu orang. Rumah sakit banyak kekurangan tenaga medis, alat pengetesan, ventilator, dan alat pelindung diri (APD).

AS saat ini menempati peringkat pertama secara global jumlah terbanyak kasus virus corona. Angka yang positif, melansir dari situs Worldometers, per hari ini pukul 17.00 WIB mencapai 849.090 orang. Yang meninggal 47.681 orang dan sembuh 84.050 orang.

Menanggapi hal itu, Presiden AS Donald Trump dalam konferensi persnya mengatakan pernyataan itu tidak benar. “Media salah mengutip,” ucapnya. Bukan bertambah parah, dua wabah sekaligus hanya akan membuat situasi lebih sulit dan rumit.

(Baca: Singapura Jadi Negara Pertama di ASEAN yang Capai 10 Ribu Kasus Corona)

Singapura Hadapi Gelombang Kedua Virus Corona

Negeri tetangga Indonesia ini sempat dipuji karena keberhasilannya dalam menangani pandemi corona. Tanpa menutup perbatasan secara penuh, Singapura berhasil menurunkan jumlah kasus. Kuncinya dengan memperbanyak jumlah tes dan melakukan pembatasan gerak sosial di masyarakat.

Namun, ketika perlahan pembatasan perbatasan mulai diperlonggar, gelombang kedua kasus itu langsung datang. Hanya dalam waktu empat hari, mengutip dari Business Insider, pada awal April lalu Singapura melaporkan tiga ribu kasus baru.

Mayoritas kasus itu berasal dari asrama tempat tinggal para pekerja migran. Mereka hidup berdesak-desakan dalam kondisi lingkungan yang buruk.

“Mereka hidup dalam asrama yang penuh sesak, seperti ikan sarden, dengan 12 orang dalam satu ruangan,” ujar pengajar dan mantan diplomat Singapura, Tommy Koh.

(Baca: Klaim Pengangguran AS Ditaksir Capai 26 Juta Orang akibat Corona)

Salah satu asrama yang paling parah terkena dampak Covid-19 adalah S11 Punggol. Di dalamnya terdapat lebih 300 ribu pekerja migran dari Bangladesh dan India. Mereka tinggal dalam kamar sempit dengan ranjang untuk 20 orang laki-laki.

Pemerintah di sana berusaha keras menangani masalah ini dan mencegah penyebaran infeksi bertambah luas. Kasus virus corona Singapura telah mencapai 11.178 orang. Klaster asrama pekerja migran berkontribusi sebesar 75% dari angka tersebut.

Sejak pekan lalu, Singapura menempati posisi tertinggi jumlah kasus Covid-19 di Asia Tenggara. Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan perbandingannya.

Negara yang Akan Hadapi Gelombang Kedua Virus Corona

Inggris pun sedang mewaspadai datangnya gelombang kedua. Puncak kasus positif virus corona mulai berakhir dengan turunnya jumlah pasien baru. Jumlah kasusnya saat ini mencapai 133.495 orang.  

Kemarin, Sekretaris Menteri Kesehatan Matt Hancock mengatakan kepada parlemen kalau tindakan lockdown (isolasi penuh) selama 4,5 minggu menunjukkan hasil. Melansir dari Wired, para menteri di negara itu sedang berdebat bagaimana dan kapan melonggarkan perbatasan.

Jasmina Panovska-Griffiths, peneliti senior dan dosen pemodelan matematika di University College London, mengatakan dari pandemi flu sebelumnya, gelombang kedua biasanya lebih buruk. Flu Spanyol 1918 yang menewaskan 50 juta orang, terdiri dari tiga gelombang. Yang kedua membunuh lebih banyak daripada yang pertama.

Lalu, pandemi flu babi 2009 dimulai pada musim semi di belahan bumi utara. Pada saat gelombang kedua muncul, jumlah kasusnya lebih besar dan terjadi pada musim gugur yang suhunya lebih dingin. Inggris kini berusaha menjaga agar gelombang berikutnya tak separah yang pertama.

(Baca: Tes Imunitas Corona dan Harapan Ekonomi Kembali Berputar)

Yang berbahaya dari virus Covid-19 adalah masa inkubasinya. Perlu waktu 14 hari hingga orang yang terinfeksi menunjukkan gejala. Dalam waktu tersebut, orang itu mungkin tak sadar membawa virus dan menularkan ke orang lain.

Korea Selatan juga mengalami hal serupa dengan Inggris. Jumlah kasus telah berkurang, tapi bayang-bayang datangnya gelombang kedua masih menghinggapi. Penambahan jumlah kasusnya hari ini hanya 8 orang saja. Padahal, pada bulan lalu sempat menduduki posisi kedua kasus terbanyak di dunia.

Pemerintah Negeri Ginseng tetap memberlakukan masa pembatasan sosial hingga 5 Mei. “Adalah paling aman untuk menjaga jarak sosial yang intensif, tapi itu tidak mudah secara realistis. Kita perlu menemukan jalan tengah,” kata Perdana Menteri Korea Selatan Chung Sye-kyun, seperti dikutip dari Vox.

Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Jung Eun-kyeong mengatakan semua pihak sebaiknya hati-hati dalam manafsirkan angka-angka sebagai tanda terburuk sudah berakhir. “Kami tetap gelisah,” ucapnya.

Selama herd immunity (kekebalan kelompok) belum tercipta, baik secara alami dan melalui vaksin, rasa-rasanya sulit menyebut kasus virus corona telah berakhir. Jumlah yang terinfeksi boleh turun, namun angka kasus Covid-19 masih berpotensi naik.

(Baca: Gagal di Inggris & Belanda dalam Hadapi Corona, Apa Itu Herd Immunity?)