Setop Rekrut Karyawan hingga Hemat Listrik, PBB Krisis Keuangan

ANTARA FOTO/REUTERS/Eduardo Munoz
Kantor pusat PBB di New York. PBB tidak akan dapat memenuhi daftar gaji atau tagihannya kecuali iuran anggota yang belum dibayar segera mengalir masuk ke kas organisasi itu.
Penulis: Agustiyanti
14/10/2019, 07.47 WIB

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan sejumlah langkah-langkah penghematan angaran sebagai solusi atas krisis arus kas yang tengah dialami organisasi dunia tersebut. Tak ada perekrutan karyawan baru, rapat setelah jam kerja, opsional perjalanan kerja, hingga penggantian alat kerja jika tak mendesak.

Penerjemahan dokumen dikurangi, tak ada lagi konferensi gratis, serta penghematan listrik dengan pembatasan pemanas dan pendingin udara dan penutupan beberapa eskalator dan air terjun dekoratif.

"Ini bukan krisis anggaran, ini krisis arus kas," ujar Sekretaris Jenderal untuk strategi manajemen, kebijakan dan kepatuhan PBB Chaterin Pollard, seperti dikutip dari The New York Times, Senin (14/10).

Chaterin menjelaskan PBB bergantung pada pembayaran anggotanya. Ia berbicara sehari setelah Sekretaris Jenderal Antonio Guterres mengirim surat kepada semua kepala departemen, kantor, dan misi politik khusus untuk memberi tahu mereka tentang tingkat keparahan masalah keuangan tersebut.

Dalam surat itu, Guterres mengatakan bahwa langkah-langkah penghematan akan dimulai Senin (14/10) dan akan mempengaruhi kondisi kerja dan operasi sampai pemberitahuan lebih lanjut.

(Baca: Perang Dagang, Tiongkok Sebut Tak Tertarik Bermain 'Game of Throne' )

Anggaran organisasi sebesar US$ 2,87 miliar untuk tahun depan akan mencakup sisa saldo US$ 1,3 miliar yang masih terutang tahun ini. Guterres menyampaikan kondisi krisis anggaran itu minggu ini dan menyebut situasi itu sebagai krisis keuangan yang parah.

Ia juga memperingatkan bahwa PBB tidak akan dapat memenuhi daftar gaji atau tagihannya kecuali uang yang belum dibayar segera mengalir masuk ke organisasi tersebut.

Ia menjelaskan PBB bergantung pada kemampuan negara-negara anggota untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka setiap tahun. Kini organisasi dunia itu tengah mengalami krisis keuangan paling akut sejak beberapa tahun terakhir hingga perlu melakukan langkah penghematan untuk menjaga kesinambungan operasional lembaga.

Presiden AS Donald Trump, yang sering meremehkan kinerja PBB dan mengeluh tentang jumlah uang yang harus dibayar oleh Amerika Serikat, menyatakan tidak simpati dengan krisis anggaran yang dilanda lembaga tersebut.

"Buat semua negara anggota membayar, bukan hanya Amerika Serikat!" Katanya, Rabu di Twitter.

(Baca: AS-Tiongkok Rujuk, Trump Umumkan Kesepakatan Dagang Tahap 1)

Amerika Serikat adalah donor tunggal terbesar untuk PBB, memasok sekitar 22 persen dari anggaran regulernya dan 28 persen dari anggaran yang dihitung secara terpisah untuk operasi pemeliharaan perdamaian. Amerika Serikat juga merupakan debitur terbesar organisasi ini.

Chandramouli, Asisten Sekretaris Jenderal untuk Perencanaan Program, Keuangan dan Anggaran PBB mengatakan, AS berutang US$ 674 juta untuk tahun berjalan dan US$ 381 juta untuk tahun-tahun sebelumnya. Dia juga mengatakan Amerika Serikat biasanya cenderung membayar menjelang akhir tahun.

Secara keseluruhan, menurut dia, tujuh negra, yakni AS, Brazil, Argentina, Meksiko, Iran, Israel, dan Venezuela bertanggung jawab atas 97% anggaran yang belum dibayar.

Gutteres menyebut sebanyak 131 anggota PBB telah membayar iuran mereka tahun ini. Adapun besaran iuran anggota didasarkan pada penilaian menggunakan formula rumit yang mencerminkan ukuran ekonomi dan utang negara tersebut.

(Baca: Sri Mulyani: Indonesia Harus Waspadai Resesi)

Tidak seperti negara yang dapat meminjam uang di pasar modal global dengan menerbitkan obligasi, PBB tidak memiliki otoritas seperti itu. Jadi bukan hal yang aneh bagi pejabat anggaran organisasi untuk mengungkapkan kekhawatiran ketika mereka melihat pengeluaran mereka melebihi pendapatan, yang sering terjadi pada kuartal terakhir tahun kalender.

Namun, Ramanathan mengatakan bahwa selama dekade terakhir, negara-negara anggota yang secara historis membayar tepat waktu semakin menunda pembayaran. “Setiap tahun, defisit yang kami alami terjadi di awal tahun, tinggal lebih lama dan menjadi lebih dalam,” katanya.

Kalau bukan karena kumpulan uang yang tidak digunakan dari misi penjaga perdamaian yang dihentikan tahun ini, ia ragu bahwa organisasi akan dapat membiayai sesi Majelis Umum yang berakhir beberapa minggu yang lalu.

Ditanya apakah dia membayangkan penutupan PBB karena masalah arus kas, Ramanathan memberikan jawaban diplomatis. "Akan ada satu titik ketika kami tak memiliki cukup staff untuk menjalankan lembaga ini jika tren seperti ini (krisis arus kas) terus berlanjut," ungkap dia.