Lima Tokoh Dunia Angkat Bicara soal Isu Perubahan Iklim di Davos

ANTARA FOTO/REUTERS/Denis Balibouse
Isu lingkungan hidup menjadi salah satu fokus dalam pertemuan tahunan World Economic Forum (WEF) 2020 di Davos, Swiss.
Penulis: Hari Widowati
23/1/2020, 12.37 WIB

Isu perubahan iklim mendapat perhatian khusus dalam pertemuan para tokoh dan pemimpin negara di World Economic Forum (WEF) Annual Meeting 2020 yang berlangsung di Davos, Swiss. Untuk pertama kali sejak WEF diselenggarakan pada 1971, isu lingkungan hidup menjadi salah satu dari lima risiko global jangka panjang yang harus dihadapi para pebisnis, investor, dan pembuat kebijakan.

Hal tersebut terungkap dari WEF's 2020 Global Risks Perception Survey terhadap 750 responden di dunia. Para pemimpin dunia menyebut risiko global yang terkait isu lingkungan mencakup cuaca ekstrem, kegagalan aksi iklim, bencana alam, kerugian keragaman hayati, dan bencana alam yang ditimbulkan oleh manusia. Adapun lima risiko jangka pendek yang membayangi perekonomian global tahun ini adalah pencurian data, serangan siber, krisis air, kegagalan tata pemerintahan global, dan gelembung harga aset.

Survei WEF itu juga menunjukkan bahwa para pemimpin dunia mengidentifikasi kegagalan tindakan untuk menyikapi perubahan iklim menjadi risiko dengan dampak terbesar terhadap perekonomian global. Dalam jangka pendek, gelombang panas ekstrem dan perusakan ekosistem alam berada di peringkat ketiga dan keempat dalam jajaran risiko yang berpotensi muncul di 2020.

Presiden WEF Borge Brende mengatakan, untuk menghadapi konsekuensi global dari risiko-risiko global ini diperlukan langkah pencegahan dan mitigasi. "Sangat disayangkan di tengah tantangan yang membutuhkan aksi kolektif segera dilakukan, perpecahan di komunitas global justru terlihat melebar," kata Brende dalam siaran pers, 21 Januari lalu.

Amerika Serikat (AS) merupakan satu-satunya negara yang menarik diri dari Paris Agreement. Presiden Donald Trump meragukan emisi yang dihasilkan manusia merupakan penyebab utama memburuknya perubahan iklim. Perpecahan juga terlihat dalam pembahasan perubahan iklim yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Madrid, Spanyol pada Desember 2019.

Lantas, apa saja sorotan dari para tokoh dunia terhadap isu perubahan iklim di WEF 2020? Berikut pendapat lima tokoh dunia mengenai hal ini.

1. Greta Thunberg

Greta Thunberg, aktivis lingkungan hidup asal Swedia yang dinobatkan sebagai TIME Person of the Year 2019, menjadi salah satu pembicara di WEF 2020. Aktivis berusia 16 tahun itu menyebut para pemimpin dunia tidak melakukan apa-apa untuk mengurangi emisi karbon.

Thunberg mengutip hasil riset Intergovernmental Panel on Climate Change pada 2018 yang menyebutkan negara-negara di dunia hanya punya waktu sekitar 8,5 tahun untuk menjaga agar kenaikan suhu bumi tidak melampaui 1,5 derajat Celcius. Ia meminta perusahaan-perusahaan, perbankan, lembaga internasional, dan pemerintahan untuk meninggalkan ekonomi berbasis energi fosil.

"Segera tinggalkan subsidi energi fosil. Kami tidak ingin ini dilakukan pada 2050 atau 2030 atau bahkan 2021. Kami ingin ini dilakukan saat ini juga," ujar Thunberg, seperti dikutip CNN.com, Selasa (21/1).

(Baca: BMKG: Waspadai Potensi Hujan Ekstrem hingga Pertengahan Februari 2020)

2. Pangeran Charles

Pangeran Charles dalam wawancara eksklusif dengan CNN.com menyatakan, dunia membutuhkan model ekonomi baru untuk menyelamatkan bumi dari kebakaran akibat pemanasan global. Revolusi ekonomi global dan pasar keuangan bisa menyelamatkan bumi dari krisis iklim dan menjamin kesejahteraan di masa depan.

"Kita tidak bisa terus-menerus seperti ini, setiap bulan rekor temperatur terpanas dipecahkan. Jika kita biarkan terlalu lama, ini akan berkembang menjadi hal yang terlalu sulit (ditangani)," ujar Pangeran Charles kepada CNN.com, Rabu (22/1).

Pewaris tahta Inggris yang juga aktivis lingkungan hidup ini menyinggung tentang kebakaran hutan hebat yang terjadi di Australia dan menyebabkan jutaan binatang mati. Riset terbaru juga menunjukkan lautan di dunia menyerap panas yang setara dengan panas yang dihasilkan oleh lima bom atom setiap detik. Selain itu, dalam satu dekade terakhir bumi mencatat suhu terpanas sepanjang sejarah.

Pangeran Charles dalam pidatonya di WEF, Rabu (22/1), memperkenalkan "Sustainable Markets Initiative". Ia mendesak para pemimpin dunia bergerak untuk menata pasar dan menempatkan masyarakat serta bumi sebagai fokus dari semua tindakan di dunia. "Kontribusi alam terhadap perekonomian dunia diprediksi mencapai US$ 125 triliun setiap tahun. Faktanya, alam adalah darah dari pasar finansial," kata Pangeran Charles. Oleh karena itu, ia meminta perekonomian dunia berjalan harmonis dengan lingkungan hidup.

3. Perdana Menteri Pakistan Imran Khan

Dalam pidatonya di WEF 2020, Perdana Menteri Pakistan Imran Khan menegaskan pentingnya perlindungan terhadap lingkungan hidup. Pada Agustus 2017, Pakistan sukses menanam satu miliar pohon di Khyber Pakhtunkhwa, kawasan yang sempat kehilangan sebagian besar hutannya akibat banjir besar pada 2016.

Proyek yang bernama Billion Tree Tsunami itu dilaksanakan di lahan seluas 350 ribu hektare (ha). Penanaman kembali diharapkan bisa memulihkan hutan-hutan yang hilang dan memerangi dampak perubahan iklim. Pakistan adalah satu dari enam negara yang diprediksi paling terdampak oleh pemanasan global menurut riset PBB.

"Yang saya cintai dari Pakistan adalah alam liar dan pegunungan-pegunungannya. Seiring waktu, keindahan alam menghilang karena ulah manusia yang menghancurkan hutan," ujarnya. Untuk mempertahankan keindahan Pakistan, Imran Khan akan mengkampanyekan penanaman 10 miliar pohon di negaranya.

(Baca: Bank Dunia: Kerugian Kebakaran Hutan di Indonesia Rp 72,9 Triliun)

4. Mark Carney

Mantan gubernur bank sentral Inggris, Mark Carney, hadir di pertemuan tahunan WEF kali ini sebagai utusan khusus PBB untuk aksi penanganan iklim dan pembiayaannya. Dalam sesi diskusi berjudul "Solving the Green Growth Equation" Carney mengungkapkan, perusahaan-perusahaan dunia bakal wajib mengikuti standar akuntansi yang memasukkan indikator-indikator pengurangan emisi karbon. Hal ini menjadi bagian dari KPI (key performance indicators) perusahaan-perusahaan global yang akan dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi PBB mengenai Iklim (COP26) yang diselenggarakan di Glasgow, Rusia pada November 2020.

Carney mengatakan, para investor membutuhkan informasi mengenai transisi energi dari energi fosil ke energi yang lebih ramah lingkungan. Dengan demikian, mereka bisa mengalihkan aset-asetnya ke perusahaan yang memiliki emisi karbon rendah.

"Dua-pertiga pertanyaan yang muncul di dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah mengenai rencana perusahaan untuk mengurangi emisi karbon," ujar Carney. Para investor sadar hal ini tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, sehingga mereka meminta manajemen perusahaan untuk menyiapkan strategi untuk menghadapi isu tersebut.

(Baca: Desakan Transisi Energi Nonfosil Global dan Implikasinya ke Indonesia)

5. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen

Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, mengatakan strategi pertumbuhan baru Uni Eropa saat ini mengacu pada The European Green Deal. Berdasarkan kesepakatan tersebut, Eropa akan menjadi benua pertama yang netral secara iklim pada 2050. Ia juga mendesak negara-negara di dunia untuk mengembangkan level permainan yang sama, memastikan tidak ada lagi karbondioksida yang diimpor dari negara manapun.

Ia juga meminta Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) membuat harga acuan dan sistem perdagangan karbon. "Ini adalah contoh kerangka kerja internasional yang kita butuhkan saat ini," ujarnya.

(Baca: Punya Hutan Luas, RI Bisa Raup Rp 350 Triliun Dari Perdagangan Karbon)