Carole Cadwalladr, Jurnalis Penguak Skandal Cambridge Analytica

YOUTUBE/HAY FESTIVAL
Jurnalis The Observer dan The Guardian, Carole Cadwalladr, ketika menjadi pembicara di Hay Festival, 25 Mei 2019.
Penulis: Pingit Aria
29/1/2020, 20.43 WIB

Ada beberapa orang yang dianggap paling berkuasa di era internet. Di antara mereka adalah para pendiri Google: Larry Page dan Sergey Brin, dua petinggi Facebook: Mark Zuckerberg dan Sheryl Sandberg, serta bos Twitter: Jack Dorsey.

Setelah Brexit, dan terpilihnya Donald Trump dalam Pemilu Amerika Serikat (AS), seorang jurnalis dengan berani menuduh mereka sebagai penghancur demokrasi. “Demokrasi kita telah hancur, mereka menghancurkannya.”

Jurnalis itu adalah Carole Cadwalladr. Ia melontarkan tudingan itu secara langsung di hadapan para tokoh yang disebutnya para ‘Dewa Sillicon Valley’. Ya, pernyataan itu tak diucapkannya dalam sembarang forum, melainkan dalam TED Talk.

Larry Page, Sergey Brin, Mark Zuckerberg dan Sheryl Sandberg merupakan sponsor dan hadir dalam konferensi tahunan di bidang teknologi tersebut. Jack Dorsey bahkan turut menjadi pembicara dalam TED Talk edisi April 2019 yang kala itu digelar di Vancouver, Kanada.

Siapa Carole Cadwalladr, dan apa yang membuatnya melontarkan tudingan itu? Cadwalladr adalah wartawan The Guardian and Observer, dari Inggris. Ia juga yang menguak skandal pencurian data pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica.

(Baca: Diteken Jokowi, Ini Poin-poin RUU Perlindungan Data Pribadi)

Cadwalladr lahir pada 1969 di Taunton, Somerset, Inggris. Dalam TED Talk, Cadwalladr menjelaskan bagaimana internet, terutama media sosial punya peran besar dalam membentuk opini publik, tanpa mengenal batas negara.

Ia mengawali presentasinya dengan cerita soal investigasi yang dilakukannya usai jajak pendapat memutuskan Inggris keluar dari Uni Eropa atau yang lebih dikenal dengan Brexit. Saat itu, Juni 2016, Cadwalladr pergi ke Ebbw Vale, sebuah kota kecil di Wales.

Sebanyak 62% dari penduduk kota itu memilih untuk meninggalkan Uni Eropa. Ia mencari tahu apa sebabnya. “Uni Eropa tak pernah melakukan apapun bagi kita,” kata anak muda yang ditemuinya di depan gelanggang olahraga. Ironis, sebab gelanggang olahraga itu, juga sebuah kampus, jembatan, jalan raya, bahkan jalur kereta api di Ebbw Vale dibangun dengan dana dari Uni Eropa.

Kemudian, beberapa orang yang ditemuinya menyatakan bahwa alasan mereka memilih Brexit adalah karena Uni Eropa ‘mengirim’ terlalu banyak imigran dan pengungsi. Sedangkan, Ebbw Vale adalah salah satu kota yang paling sedikit menerima imigran di Inggris.

Saat bertanya dari mana warga mendapat berbagai informasi menyesatkan itu, di antara mereka ada yang menjawab, “Facebook”. Saat itu, Facebook menayangkan berbagai iklan, baik komersil maupun politis tanpa keterangan mengenai siapa pihak yang bertanggung jawab atas iklan itu. Masalahnya, dalam beberapa kasus, iklan politik itu berisi misinformasi, bahkan hoaks.

(Baca: Tantangan Jurnalisme Data di Era Hoaks dan Disinformasi)

Iklan politik yang masif berulang dalam Pemilihan Presiden AS, November 2016. Cadwalladr kemudian mendapati firma konsultan Cambridge Analytica mencuri data jutaan pengguna Facebook untuk kampanye yang memenangkan Presiden Donald Trump.

Data itu, dari informasi pribadi, likes, komentar, hingga pesan, diolah sedemikian rupa hingga Cambridge Analytica bisa mendapatkan preferensi politik pengguna. Mereka kemudian menyasar mereka dengan materi iklan yang sesuai.

“Berbeda dengan kampanye di tempat terbuka zaman dulu, ini seperti membisikkan pesan ke telinga orang-orang. Tiap pesan itu disesuaikan dengan isu-isu yang menarik perhatian mereka sehingga lebih efektif,” kata Christopher Wylie, mantan pegawai Cambridge Analytica yang menjadi peniup peluit dalam kasus ini.

(Baca: Terulang Lagi, 267 Juta Data Pengguna Facebook Bocor)

Laporan Cadwalladr dipublikasikan secara bersamaan oleh The Guardian di Inggris, dan The New York Times di AS pada Maret 2018. Sejak itu, Facebook telah melakukan beberapa perubahan, termasuk membatasi data yang dapat diakses oleh pengembang aplikasi eksternal, serta menjadi transparan dalam penayangan iklan politik.

Pada April 2018, Mark Zuckerberg sempat diintrogasi oleh Senat AS atas masalah tersebut. Namun, ia tak pernah menghadiri panggilan Parlemen Inggris.

Atas investigasinya, Cadwalladr bersama jurnalis The New York Times menjadi finalis penghargaan bergengsi di bidang jurnalisme, Pulitzer Prize 2019. Kisahnya juga diangkat dalam film dokumenter The Great Hack yang tayang di Netflix.

Selain menjadi wartawan, Cadwalladr juga menulis novel The Family Tree yang telah diterjemahkan dalam bahasa Spanyol, Italia, Jerman dan Portugis.

Carole Cadwalladr akan hadir dalam Indonesia Data and Economic Conference (IDE 2020) yang diselenggarakan oleh Katadata di Hotel Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (30/1).

(Baca: IDE Katadata 2020 Bakal Hadirkan Finalis Pulitzer & Puluhan Pembicara)