Hosni Mubarak, Penguasa Mesir yang Ditumbangkan Revolusi Arab

Hang Dinh/123RF.com
Ribuan pengunjuk rasa berbondong-bondong ke Lapangan Tahrir Kairo, Mesir, untuk demonstrasi menurunkan Hosni Mubarak, 22/11/ 2011.
Penulis: Hari Widowati
26/2/2020, 15.49 WIB

Mesir tengah berduka. Mantan Presiden Hosni Mubarak meninggal dunia pada usia 91 tahun di sebuah rumah sakit militer di Mesir, Selasa (25/2).

Hosni Mubarak tak pernah bermimpi menjadi presiden. Pria kelahiran Minufiyyah, 4 Mei 1928 ini bercita-cita menjadi tentara.

Ia mendaftar ke Akademi Militer Mesir di Kairo dan lulus pada 1949. Hosni melanjutkan pendidikannya di Akademi Angkatan Udara di Bilbays dan lulus setahun kemudian. Seperti dikutip dari Britannica.com, Hosni mendapatkan pelatihan sebagai pilot pesawat tempur di Uni Soviet.

Kariernya terbilang cemerlang. Hosni menjadi komandan Angkatan Udara Mesir pada 1966-1969 sekaligus direktur Akademi Angkatan Udara Mesir. Pada 1972, Presiden Mesir Anwar Sadat menunjuknya menjadi Kepala Staf Angkatan Udara. Prestasinya ditunjukkan pada awal perang Mesir-Israel pada Oktober 1973. Selanjutnya, Hosni pun naik pangkat menjadi Marsekal Udara pada 1974.

Kepercayaan Anwar Sadat terhadap Hosni Mubarak semakin besar. Ia menunjuk Hosni menjadi wakil presiden pada April 1975. Hosni pun langsung bertugas melakukan negosiasi terkait kebijakan negara-negara Arab dan Timur Tengah. Ia juga menjadi kepala mediator ketika terjadi perselisihan antara Maroko, Aljazair, dan Mauritania terkait masa depan Gurun Sahara bagian barat.

(Baca: Hosni Mobarak Meninggal, Mesir Berkabung Tiga Hari)

Menggantikan Anwar Sadat

Pada 6 Oktober 1981, Anwar Sadat dibunuh oleh anggota kelompok Jihad Islam Mesir ketika sedang mengikuti parade untuk merayakan kemenangan dalam Operasi Badar. Dalang dari pembunuhan itu adalah Omar Abdel-Rahman, seorang pemuka agama yang belakangan terlibat dalam aksi pengeboman gedung World Trade Center (WTC), Amerika Serikat pada 1993.

Hosni Mubarak pun terpilih menjadi presiden Mesir. Masa jabatannya dibuka dengan membaiknya hubungan antara Mesir dengan negara-negara Arab lainnya dan Israel. Ia melaksanakan kesepakatan damai yang dibuat Mesir-Israel di bawah Perjanjian Camp David pada 1979. Hubungan diplomatik Mesir dan AS pun semakin mesra.

Hosni terpilih untuk periode kedua masa jabatannya pada 1987. Ketika terjadi krisis di Semenanjung Persia yang dipicu invasi Irak ke Kuwait pada 1990-1991, ia mendorong negara-negara Arab untuk mendukung keputusan Arab Saudi yang meminta koalisi militer AS untuk membantu Kuwait. Hosni juga berperan penting dalam mediasi perjanjian damai antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina pada 1993.

(Baca: Wakil Menteri Kesehatan Iran Tertular Virus Corona)

Lolos dari Percobaan Pembunuhan

Hosni kembali terpilih menjadi presiden Mesir pada 1993. Namun, ia menghadapi pemberontakan dari kelompok-kelompok oposisi dan gerilyawan. Mereka mendesak agar dilaksanakan reformasi dalam pemilihan umum dengan menggunakan sistem pemilu yang demokratis. Pemilu yang berlangsung secara demokratis terakhir kali dilaksanakan di Mesir pada 1950.

Ia pun meluncurkan kampanye untuk melawan kelompok Islam garis keras, khususnya kelompok Islam yang bertanggung jawab atas serangan di Piramida Luxor pada 1996. Sekitar 62 orang turis asing meninggal dunia dalam serangan tersebut.

Hosni juga pernah lolos dari upaya percobaan pembunuhan saat ia sedang berkunjung ke Etiopia pada 1995. Nasib baik masih berpihak kepadanya ketika terjadi upaya percobaan pembunuhan yang kedua kali pada 1999. Tikaman pisau dari penyerangnya membuat Hosni terluka meski tidak parah.

Pria yang sering disebut sebagai diktator oleh pihak oposisi itu kembali menang dalam Pemilu 1999 sebagai calon tunggal. Ia juga menang dalam Pemilu 2005 yang merupakan pemilihan presiden pertama dengan banyak kandidat di Mesir. Pada pemilu yang terakhir itu, banyak pihak menuding adanya kecurangan dan kurangnya partisipasi publik sehingga Hosni bisa kembali berkuasa.

(Baca: Korban Tewas Virus Corona Tembus 2.700, Kasus Merebak di Timur Tengah)

Digulingkan Gerakan Revolusi Arab

Jumlah penduduk Mesir tumbuh hampir dua kali lipat di masa pemerintahan Mubarak tetapi sebagian besar berada dalam kemiskinan. Padahal, dahulu di bawah pemerintahan Gamal Abdul Nasser, Mesir pernah disandingkan dengan Turki atau Korea Selatan.

Seperti dilansir Reuters, pada dekade terakhir pemerintahannya, pertumbuhan ekonomi didorong oleh reformasi pasar yang berjalan di bawah pengawasan anaknya, Gamal Mubarak. Namun, pemerintahan Hosni menghadapi masalah korupsi yang menyebabkan kekayaan hanya dinikmati oleh kaum elite yang ada di lingkaran pemerintahan, militer, dan para pendukung Partai Demokratik Nasional.

Pada 2010, Partai Demokratik Nasional yakin bisa meraih 90% kursi di pemilu legislatif dan menyingkirkan Ikhwanul Muslimin dari parlemen. Hal ini memicu kemarahan publik. Unjuk rasa diikuti ratusan hingga ribuan massa berlangsung di Lapangan Tahrir, Kairo.

Pada awalnya, Hosni Mubarak membiarkan saja unjuk rasa itu terjadi. Ketika para jenderal mulai meninggalkannya dan AS mendukung para pengunjuk rasa, ia mulai represif dan sempat berpikir untuk mundur. Yang terjadi kemudian, ia malah pergi ke rumah peristirahatannya di Laut Merah. "Mesir dan saya tidak boleh dipisahkan hingga saya mati," kata Hosni Mubarak, seperti dikutip Reuters.

(Baca: PM Mahathir Mohamad Mengundurkan Diri, Bursa Saham Malaysia Turun 2,5%)

Hosni ditangkap dua bulan kemudian. Kasusnya mulai disidangkan pada Agustus 2011. Pada 2 Juni 2012, Hosni divonis hukuman penjara seumur hidup karena berkonspirasi untuk membunuh para pengunjuk rasa. Ia dikirim ke Penjara Tora di Kairo kemudian dipindahkan ke RS Militer Maadi karena kondisi kesehatannya menurun.

Pada tahun itu pula, Mohamed Mursi terpilih menjadi presiden Mesir. Masa jabatan Mursi tak berumur panjang. Setahun kemudian ia dikudeta oleh pemimpin militer, Abdel Fattah al-Sisi.

Pemerintahan al-Sisi ternyata lebih kejam dibandingkan pemerintahan Mubarak dalam memerangi gerakan Ikhwanul Muslimin. Hukuman penjara Hosni dicabut pada 2014. Tiga tahun kemudian, ia diperbolehkan kembali menempati rumahnya yang berada di kawasan elite Heliopolis, tidak jauh dari Istana Kepresidenan yang pernah ditempatinya selama tiga dekade.

(Baca: Mahathir Mohamad, Bapak Pembangunan & Politisi Kontroversial Malaysia)