Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menyampaikan perbaikan data pangan menjadi poin penting yang perlu menjadi prioritas kebijakan pemerintah terpilih nantinya. Sampai saat ini, hanya data beras yang sudah dilakukan perbaikan pada Oktober 2018 lalu.
Data pangan yang tak sesuai berpengaruh ke jumlah impor yang tidak tepat. Imbasnya, harga pangan di tingkat petani, pasar, dan masyarakat pun jadi ikut terpengaruh. "Kalau data pangan tidak dapat diandalkan nantinya impor pangan Indonesia bisa terlalu banyak atau sebaliknya," katanya dalam sebuah acara diskusi di Hotel Le Meridien, Jakarta, Senin (13/5).
Komoditas yang sebaiknya diprioritaskan untuk perbaikan data selanjutnya adalah jagung. Jagung berperan penting untuk biaya produksi industri peternakan unggas karena perannya sebagai pakan. Jika jagung yang ada di pasaran tidak mencukupi dan tidak sesuai kondisi yang diharapkan industri, tentunya harga pakan akan semakin mahal sehingga berimbas pada naiknya harga daging ayam dan telur.
Biaya pakan berkontribusi pada 50% hingga 60% dari seluruh biaya produksi industri peternakan unggas. Sehingga data jagung penting untuk diukur lebih akurat agar menghasilkan angka yang tepat untuk perumusan kebijakan.
"Tak hanya itu, penurunan biaya produksi tanaman pangan juga harus diperhatikan", tambah Ilman. Harga beberapa komoditas pangan di Indonesia relatif mahal dibandingkan dengan harga di tingkat internasional. Harga daging sapi internasional rata-rata berada di kisaran Rp60.000/kg. Sedangkan di Indonesia harganya mencapai Rp80.000 - Rp120.000/kg.
Harga gula juga terpaut jauh. Di tingkat internasional hanya sekitar Rp4.000-5.000/kg, sedangkan harga di tingkat lokal mencapai Rp12.000-14.000/kg. Ini merupakan data harga pada 2017-2018 lalu. Salah satu faktor yang memengaruhinya adalah biaya produksi yang cukup mahal.
Ia menilai, peran pemerintah seperti Kartu Tani patut diapresiasi. Fokus Kartu Tani adalah subsidi pupuk yang lebih tertarget dan sejauh ini pelaksanaannya cukup lancar. Dukungan pemerintah juga perlu diarahkan ke industri gula yang memiliki berbagai kendala teknis. Hal ini disebabkan 65% pabrik gula Indonesia berusia di atas 100 tahun sehingga tidak cost-efficient dalam memproduksi gula.