Ketahanan Pangan Rentan, Masyarakat Diminta Beralih Konsumsi Jagung

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Petani memanen jagung di Kaliwungu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Minggu (18/12). Kementerian Pertanian memastikan mulai 2017 pemerintah sudah menutup impor jagung, khususnya untuk kebutuhan baku industri pakan ternak, karena sudah tercukupi dari produksi lokal yang pada 2016 ini diperkirakan mencapai sekitar 21 juta ton.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Ekarina
21/10/2019, 18.08 WIB

Anggota DPR Herman Khaeron menyatakan ketahanan pangan, khususnya komoditi beras berpotensi rentan pada masa mendatang. Ia pun meminta masyarakat untuk beralih  dari konsumsi nasi ke komoditas pangan lain seperti jagung, sagu, atau hanjeli.

"Pangan kita sangat rentan ke depan kalau hanya pertahankan sistem kemandirian ketahanan pangan berbasis beras," kata dia di Jakarta, Senin (21/10).

Herman mengatakan, konsumsi beras di Indonesia mencapai 124 kilogram per kapita per tahun. Sementara, jumlah penduduk Indonesia hingga 2018 mencapai 265 juta.

(Baca: Pemerintah Bakal Perbaharui Perpres Kebijakan Strategis Pangan )

Adapun, total bersih konsumsi beras dalam negeri bekisar 33 juta ton per tahun. Sedangkan, jumlah bersih produksi beras domestik mencapai 35 juta ton per tahun. "Jadi surplus beras hanya 2 juta ton per tahun. Ini tidak aman," ujar dia.

Menurutnya, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah memperhitungkan selisih produksi dan konsumsi beras yang dapat dikategorikan aman, yakni apabila mencapai 10 juta ton per tahun. Jumlah tersebut dapat digolongkan sebagai pasokan beras yang tahan dan sesuai dengan kedaulatan pangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 1 juga dijelaskan bahwa kemandirian pangan merupakan kemampuan negara dalam memproduksi pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan hingga tingkat perseorangan. Ini artinya, lanjut Herman, pangan menjadi hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh bangsa dan negara.

(Baca: BNPP: Potensi Lahan Pertanian di Perbatasan Capai 5 Juta Hektare)

Di sisi lain, bila dilihat dari kondisi lahan, ia mengatakan sulit saat ini mencari lahan yang cocok untuk ditanami padi. Tidak hanya itu, lahan pertanian produktif juga mulai hilang seiring pembangunan infrastruktur.

Dia pun menyebut lahan pertanian produktif yang hilang mencapai 100-120 ribu hektare per tahun. "Jadi kalau sudah 10 tahun, (lahan pertanian) hilang 1 juta hingga 1,2 juta hektare," ujarnya.

Kepala Bidang Ketersediaan Pangan Kementerian Pertanian Rachmi Widiriani mengatakan, peningkatan konsumsi beras terjadi seiring bertambahnya jumlah penduduk. Peningkatan konsumsi, perpotensi meningkatkan harga jaul beras. 

"Seiring dengan hal tersebut, harga beras juga meningkat," ujar dia.

Selain itu, bertambah kelompok usia produktif dan ekonomi menengah ke atas,  juga akan meningkatkan permintaan pangan, terutama produk hewani dan sayuran.

Oleh karena itu, ia meminta adanya diversifikasi pangan. Hal ini dilakukan dengan mengalihkan makanan utama dari nasi menjadi komoditas lainnya. Makanan pokok dapat diganti menjadi ubi hingga produk serealia lainnya.

Ketahanan pangan nasional menunjukkan perbaikan sepanjang 2012-2018. Ini tercermin dari naiknya indeks ketahanan pangan global (Global Food Security Index/GFSI) Indonesia yang dinilai dari semua aspek menjadi 54,8 pada 2018 dibanding 46,8 pada 2012, seperti yang digambarkan dalam grafik databoks berikut. 

Dengan skor tersebut Indonesia berada diperingkat 65 dunia dan posisi kelima di tingkat ASEAN.

Reporter: Rizky Alika