Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) tentang Rencana Aksi Nasional Sawit Berkelanjutan (RAN-SB). Dokumen itu memuat langkah-langkah untuk mengatasi konflik terkait sawit di Indonesia.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan, Inpres tersebut belum terbit meski telah ditandatangani. “Di dalamnya ada langkah menangani konflik,” kata dia di Jakarta, kemarin (26/11).
RAN-SB juga memuat strategi bersama dalam menangani persoalan terkait lahan kelapa sawit di luar kawasan. Namun, Musdhalifah tidak menyebutkan kapan Inpres tersebut dirilis.
Selain Inpres, pemerintah bakal mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai sertifikasi sawit berkelanjutan atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Dalam Perpres itu, petani wajib mengantongi sertifikat ISPO yang prosesnya akan didukung pembiayaan dari pemerintah.
(Baca: Jokowi dan PM Belanda Sepakati Isu Sawit Berkelanjutan)
Kewajiban sertifikasi ISPO menjadi bukti bahwa produk kelapa sawit petani diolah secara berkelanjutan. Musdhalifah berharap, Perpres mengenai kewajiban ISPO keluar dalam waktu dekat.
Regulasi itu juga mengatur tentang masalah tumpang tindih lahan kelapa sawit yang terindikasi sebagai kawasan hutan. Ha seperti itu kerap menjadi alasan penggundulan hutan atau deforestasi.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, terdapat 3,2 juta hektare lahan yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Dari jumlah tersebut, 735 ribu hektare dalam proses pelepasan.
Namun Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menolak rencana pemerintah menerapkan aturan ISPO, yang mewajibkan petani kelapa sawit harus bersertifikat. Sebab, mereka menilai aturan itu dapat merugikan petani sawit.
(Baca: RI-Malaysia Bawa Kolaborasi Anti-Diskriminasi Sawit ke Asia Tenggara)
"Jadi bukan ISPO yang ditolak, tapi butir aturan di dalam Perpres ISPO yang mewajibkan petani mengikuti ISPO," kata Sekertaris Jenderal Apkasindo Rino Afrino.
Menurut dia, persiapan penerapan aturan ISPO di Indonesia masih terkendala banyak hal seperti legalitas lahan dan sistem budidaya yang belum jelas. Selain itu, masa transisi selama lima tahun sekali membuat aturan itu sulit diselesaikan dengan baik. "Delapan tahun pembahasan aturan, realisasinya hanya 35%," kata dia.
Rino menilai, pembahasan aturan mengenai ISPO oleh pemerintah penuh kontroversi. Dia menduga regulasi ini disponsori oleh lembaga-lembaga internasional yang ingin menjegal upaya aktivis lingkungan asing mengurangi produksi minyak kelapa sawit Indonesia.
(Baca: Gabungan Pengusaha Dukung Pemerintah Lawan Diskriminasi Sawit ke WTO)