TARGET yang dipacak Presiden Joko Widodo tak tanggung-tanggung: 567,9 kilometer jalan tol harus sudah beroperasi di penghujung 2017. Ini hampir empat perlima dari total panjang jalan tol di Indonesia, yang dibangun mulai dari jalan bebas hambatan pertama Jagorawi dioperasikan pada 1978 hingga akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014.
Dalam rentang 36 tahun di bawah kepemimpinan lima Presiden (dari Soeharto hingga SBY) itu, panjang tol yang beroperasi baru sekitar 725 kilometer. Kalau dirata-rata, setiap tahunnya hanya 20 kilometer.
Berkaca pada pengalaman ini, tak mengherankan target Jokowi dinilai terlalu ambisius. Apalagi mantan Walikota Solo ini punya rencana untuk membangun jalan tol sepanjang 1.850 kilometer hingga 2019.
Sebagai bagian dari upaya mewujudkan mimpi besarnya itu, pekan lalu Jokowi baru saja meresmikan dua jalan tol baru di Sumatra. Kedua ruas jalan bebas hambatan itu bagian dari jaringan tol Trans Sumatra.
Yang pertama adalah ruas tol Palembang-Indralaya (Palindra) sepanjang 7,8 kilometer. Sedangkan yang kedua adalah ruas tol Kualanamu-Tebing Tinggi sepanjang 42 kilometer.
Selain Trans Sumatra, tol Trans Jawa pun menjadi perhatiannya. Meski begitu, derap pembangunan tak selalu mulus. Pembangunan jalan tol Serang-Panimbang seksi 1, misalnya, hingga saat ini urusan pembebasan lahannya belum rampung meski groundbreaking dijadwalkan dilaksanakan pada Oktober 2017.
Di luar jalan tol, proyek Light Rapid Transit (LRT) pun dikebut untuk menyambut Asian Games 2018 di Palembang dan Jakarta yang akan menjadi tuan rumah bersama. Lintasan proyek senilai Rp 10,9 triliun yang telah tersambung sejajar dengan Jembatan Ampera ini seolah menjadi landmark baru bagi Bumi Sriwijaya.
Sedangkan yang di Ibu Kota, hingga awal Oktober lalu PT Adhi Karya (Persero) Tbk. telah menggelontorkan dana Rp 5 triliun untuk pembangunan LRT Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi (Jabodebek). Namun, realisasi pembangunannya baru mencapai 22 persen dari target 40 persen tahun ini.
Demi Konektivitas
Tak hanya di darat, untuk mendukung lalu lintas laut, pembangunan pelabuhan pun digenjot. PT Pelindo II kini tengah membangun Terminal Peti Kemas Kalibaru atau New Priok Container Terminal (NPCT) 2 dan 3. Sedangkan finalisasi skema pendanaan pembangunan Pelabuhan Patimban kini juga sedang dibahas bersama Japan International Cooperation Agency (JICA).
Rencananya, seluruh kegiatan di kedua terminal itu akan dijalankan secara digital. “Di terminalnya tidak ada satu orang pun, semua menggunakan automatitation,” kata Senior Vice President Operations Pelindo II David Sirait. “Crane, pembuka sepatu container, dan truknya pun tidak pakai orang, menggunakan robot.”
Lalu, bagaimana dengan di udara? Untuk mendukung transportasi udara, Jokowi menetapkan pembangunan dan perbaikan belasan bandara sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).
Tujuh bandara telah berhasil dirampungkan, yakni Bandara Sentani di Jayapura, Bandara Juwata di Tarakan, Bandara Fatmawati Soekarno di Bengkulu, Bandara Mutiara di Palu, Bandara Matahora di Wakatobi, Bandara Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur dan pengembangan Bandar Udara Soekarno Hatta, Jakarta (Termasuk Terminal 3).
Urusan transportasi tampaknya memang menjadi program prioritas infrastruktur Jokowi. Isu konektivitas untuk mengurangi ketimpangan Jawa dan Luar Jawa sejak awal didengungkannya.
Terkait dengan isu konektivitas, program lain yang juga sedang dikebut adalah infrastruktur broadband melalui proyek Palapa Ring, yakni pembangunan serat optik sepanjang 36 ribu kilometer pada wilayah barat, tengah dan timur Nusantara. Harapannya, seluruh wilayah di Indonesia yang tersebar di ribuan pulau ini nantinya akan terhubung secara maya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara optimistis, proyek Palapa Ring Barat yang menghubungkan pulau Sumatra, Jawa Barat, Banten dan Jakarta akan selesai tepat waktu, yaitu Februari 2018.
Sementara itu, proyek Palapa Ring Tengah telah dimulai sejak November 2016 lalu dan ditargetkan rampung dalam 18 bulan. Begitu juga Palapa Ring Timur yang ditargetkan akan beroperasi pada 2019 mendatang. "Pemerintah akan mendorong infrastruktur pembangunan mobile broadband agar masyarakat mendapatkan akses internet yang cepat," kata Rudiantara.
Tak Selalu Mulus
Banyak kalangan memuji gerak cepat Presiden Jokowi dan jajarannya ini. Namun, tak sedikit juga kritik menghambur. Beberapa proyek di antaranya bahkan mengundang kontroversi sejak awal dan tersendat di tengah jalan.
Ambil contoh proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sepanjang 142,3 kilometer. Opini terbelah di antara yang memandang perlu dan tidak atas keberadaan megaproyek yang menelan dana superjumbo US$ 5,1 miliar atau sekitar Rp 70 triliun ini.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara optimistis, proyek Palapa Ring Barat yang menghubungkan pulau Sumatra, Jawa Barat, Banten dan Jakarta akan selesai tepat waktu, yaitu Februari 2018.
Dalam skemanya, proyek ini akan dikerjakan oleh gabungan tujuh kontraktor dengan bendera High Speed Railway Contractor Consortium (HSRCC) bersama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai pengembang proyek. Sorotan tajam mencuat, karena ada sejumlah BUMN yang juga terlibat dan bisa terbebani di dalamnya.
PT Wijaya Karya Tbk. merupakan satu diantara kontraktor tersebut. Enam sisanya adalah perusahaan asal Tiongkok. Karena itu, sebagian besar pembiayaan akan didanai pinjaman dari Bank Pembangunan Tiongkok (CDB).
Adapun di KCIC terdapat empat perusahaan negara yang tergabung dalam konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dengan kepemilikan 60 persen saham, yaitu PT WIKA, PT Kereta Api Indonesia, PT Perkebunan Nusantara VIII, dan PT Jasa Marga. Sedangkan 40 persen sisanya dimiliki oleh China Railway Corporation.
Dalam perkembangannya, proyek Kereta Cepat yang sudah diresmikan groundbreaking-nya oleh Presiden Jokowi pada Januari 2016 ini ternyata tak mulus. Proses penentuan lokasi dan pembebasan lahan berlarut-larut. Akibatnya, konstruksi tertunda. Namun, kabar terbaru menyebutkan, prosesnya sudah mulai bisa dijalankan bulan depan.
Seiring dengan itu, Menteri BUMN Rini Soemarno juga menyampaikan bahwa dana pinjaman dari CDB akan segera cair. "Pinjaman, baru bulan depan akan ditarik. Kami sudah selesaikan semua (persyaratan) dengan CBD," katanya di Plaza Mandiri, Jakarta, Kamis malam (4/10).
Megaproyek lain yang disorot dan bahkan sempat memicu keributan di kabinet adalah proyek listrik 35 ribu megawatt. Perdebatan seputar realistis tidaknya proyek sebesar itu dikebut dalam lima tahun kepemimpinan Jokowi hingga 2019.
Rizal Ramli saat menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman termasuk yang menyangsikannya. Yang realistis, menurut dia, hanya sekitar setengah dari kapasitas yang direncanakan. Alasan lain yang diungkap, jika proyek ini dipaksakan bakal mengancam keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Kekhawatiran ini belakangan menjadi cukup berasalan ketika surat dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno bocor ke publik. Dalam surat tertanggal 19 September 2017 itu, Sri menyoroti soal risiko atas kondisi keuangan PLN.
Sehubungan dengan itu, dalam salah satu poinnya, Sri mengatakan perlunya penyesuaian target penyelesaian megaproyek 35 ribu megawatt (MW) yang dibebankan kepada PLN. “Hal ini dengan memperhatikan ketidakmampuan PLN memenuhi pendanaan investasi dari arus kas operasi, tingginya profil utang jatuh tempo, serta kebijakan pemerintah terkait tarif, subsidi listrik, dan penyertaan modal negara (PMN),” ujar Sri.
Dalam beberapa kesempatan, Jonan sudah menyampaikan bahwa target 35 ribu MW memang tak mungkin dicapai pada 2019. "Mungkin pada 2023 atau 2024," ujarnya seusai menghadap Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, pada akhir September lalu.
Alasan yang juga kerap diungkap, target 35 ribu MW ditetapkan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 7 persen per tahun. Sementara, kenyataannya saat ini hanya di kisaran 5 persen.
Adapun soal PLN, Jonan menyatakan bakal mengevaluasi investasi pembangkit PLN. Apabila PLN kesulitan mengerjakan porsi 10 ribu MW dari jumlah keseluruhan program pembangkit 35 ribu MW, ia membuka peluang kepada swasta untuk mengambil alih pekerjaan.
Sejumlah Catatan
Menanggapi fenomena ini, Prasetyantoko, ekonom dan Rektor Unika Atma Jaya, mengingatkan bahwa meski pembangunan infrastruktur masih sangat diperlukan, “Membangun tanpa manajemen risiko yang baik juga berbahaya.”
Aspek manajemen risiko ini yang dalam penilaiannya kerap diabaikan pemerintah di tengah ambisi yang menggebu. Berbagai proyek besar bahkan miskin studi kelayakan. “Contoh paling kelihatan adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, terlihat agak dipaksakan. Acara ground breaking-nya pun sedikit kontroversial,” katanya.
“Saya khawatir, pembangunan is for the sake of bangun infrastruktur, tapi tidak terlalu nyambung dengan arah kegiatan ekonomi,” kata Anton. Ia mencontohkan, ada pembangunan dam tapi tidak ada saluran irigasinya.
Contoh lain yang disorotnya adalah pembangunan Light Rail Transit (LRT) yang masih menyisakan skema pendanaan, bahkan ketika proyeknya sudah berjalan. “Ke depan, blunder semacam ini harus dihindari.” Perbaikan tata kelola mutlak dilakukan.
Sejumlah catatan juga diberikan oleh Anton Gunawan, Kepala Ekonom Bank Mandiri. Ia menilai pembangunan infrastruktur agak kehilangan ‘roh’ nya. Sebab, pembangunan jalan tol yang kini banyak diprioritaskan tidak selaras dengan paradigma Indonesia sebagai negara kepulauan dan pembangunan ekonomi maritim yang sasarannya memangkas biaya logistik.
“Saya khawatir, pembangunan is for the sake of bangun infrastruktur, tapi tidak terlalu nyambung dengan arah kegiatan ekonomi,” kata Anton. Ia mencontohkan, ada pembangunan dam tapi tidak ada saluran irigasinya.
Soal jalan tol di Sumatra, Anton juga mempertanyakan urgensinya. Berhubung, sudah ada Trans-Sumatran Highway (Jalan Raya Lintas Sumatra), namun kondisinya banyak yang rusak karena tidak dirawat dengan baik. “Sementara, jalur penghubung dari sentra-sentra produksi perkebunan dan pertambangan ke pelabuhan-pelabuhan tidak dibangun.”
Pembangunan tol yang hanya memanjang dari utara ke selatan Sumatra pun dinilainya tidak optimal. “Kenapa tidak memperbaiki jalur TSH saja, lalu bangun jalur barat-timur ke arah pelabuhan barang dan kembangkan angkutan laut barang?”
Jokowi bisa saja punya kalkulasi lain. Yang jelas, kata dia, saat bertemu dengan para eksportir di acara Trade Expo Indonesia 2017 pada 11 Oktober lalu, ia hakul-yakin bahwa kenaikan ekspor pada Januari-September 2017 sebesar 17,4 persen hingga mencapai US$123,4 miliar, tak lepas dari dampak pembangunan infrastruktur.
“Semua ini merupakan perpaduan, hasil kerja sama beriringan antara eksportir, swasta, dunia usaha dan pemerintah,” ujarnya. “Tentu saja, ini karena pembangunan infrastruktur dan konektivitas yang telah dipercepat tiga tahun terakhir.”