Pertaruhan Jokowi di Proyek Infrastruktur

ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Presiden Joko Widodo meresmikan jalan tol Trans Sumatera ruas Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi sepanjang 61,72 km dan Medan-Binjai sepanjang 10,6 km yang telah siap dioperasikan.
20/10/2017, 00.32 WIB

HANYA sepekan menjelang garis finish etape ketiga tahun pemerintahannya yang jatuh pada 20 Oktober, Presiden Joko Widodo tetap sprint. Di gerbang jalan tol Kualanamu, Deli Serdang, Sumatra Utara, Jokowi memerintahkan kepada para menteri pembantunya agar berlari cepat merampungkan pembangunan jalan bebas hambatan Trans-Sumatra.

Perintah itu khususnya menyangkut pembebasan lahan di ruas tol Trans-Sumatra sepanjang 645 kilometer, yang ditargetkan sudah bisa beroperasi pada 2019. Di dalamnya termasuk ruas Medan-Binjai dan Medan Kualanamu-Tebing Tinggi, yang pada Jumat, 13 Oktober, lalu diresmikan. “Pertengahan 2018 sudah harus tersambung,” kata Jokowi mengultimatum.

Sejak awal memerintah, Jokowi memang telah mencanangkan pembangunan infrastruktur menjadi salah satu prioritas kerjanya. Tema yang diusung adalah membangun dari pinggiran, sesuai visi Nawacita. Dalam konteks ini, pembangunan tol Trans Sumatra di belahan barat Indonesia menjadi penting, guna mempersempit ketimpangan Jawa dan luar Jawa. Jalan Tol sepanjang total 2.818 km direncanakan bakal menghubungkan kota-kota di Sumatra dari Lampung hingga Aceh.

Upaya percepatan pembangunan tol Trans Sumatra sesungguhnya sudah dilakukan sejak 2012 ketika Menteri BUMN dijabat oleh Dahlan Iskan. Saat itu diperkirakan menelan dana sebesar Rp 150 triliun. Untuk mendukungnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 100 Tahun 2014, yang semula hanya ditujukan untuk empat ruas. Salah satunya, tol Medan-Binjai.

Tapi rupanya, hingga pemerintahan berganti dan Presiden Jokowi merevisi aturan tersebut dengan Perpres Nomor 117 Tahun 2015 yang berisi penambahan sejumlah ruas jalan yang akan digarap, proyek tol ini justru tak bebas hambatan. Urusan pembebasan lahan tetap menjadi batu sandungan.

Tak hanya di tol, urusan lahan juga mengganjal berbagai proyek infrastruktur lainnya. Salah satunya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang di Jawa Tengah dengan kapasitas 2X1000 MW. Pembangunan pembangkit untuk menangani krisis listrik Jawa-Bali ini tersendat, lantaran 19 hektare lahan belum bisa dibebaskan dari total 226 hektare yang dibutuhkan.

Akibatnya, proses pembangunan yang semula ditargetkan mulai pada 2012 dan rampung pada 2016 tak kunjung bisa terealisasi. Padahal, proyek kerjasama pemerintah dan swasta ini, merupakan yang pertama di Indonesia dengan total investasi US$ 4,2 miliar (sekitar Rp 56 triliun). Saking pentingnya, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pun sempat menanyakan nasib megaproyek ini dalam sebuah pertemuan dengan Jokowi.

Pembangunan PLTU Ujungnegoro (ANTARA FOTO/HO/Sugeng)
Pertumbuhan gedung (Arief Kamaludin|KATADATA)

Menembus Kebuntuan

Presiden Jokowi tak mampu menyembunyikan kegusarannya atas macetnya sejumlah proyek infrastruktur. Sambil bersantap malam dengan sejumlah Pemimpin Media Massa di Istana Negara pada Mei 2015, ia menyampaikan tekadnya. Pokoknya, “Berbagai program pembangunan infrastruktur akan dikebut.”

Proyek Tol Trans Sumatra termasuk yang ia sebut. Juga proyek kereta cepat Mass Rapid Transit (MRT) dan kereta ringan Light Rail Transit (LRT) yang tersendat. Soal transportasi publik ini, ia meminta agar tak terus berkutat pada kalkulasi untung-rugi. “Kalau begini, kapan bisa dibangun,” ujarnya. “Di berbagai negara pun, MRT rugi. Tapi harus dibangun karena memang dibutuhkan.”

Soal kebuntuan pembebasan lahan, Jokowi pun meminta agar hambatan ini tak serta-merta membuat pembangunan mandek. “Jangan menunggu semuanya siap dulu.” Ia mencontohkan, dalam soal jalan tol, pembangunan harus segera dijalankan, meski lahan belum bisa dibebaskan sepenuhnya. Hal yang sama dengan proyek PLTU Batang.

Selain itu, ia menyatakan proyek-proyek infrastruktur strategis yang mangkrak di tangan swasta, akan diambil alih oleh BUMN. Karena itu, disiapkan skema penguatan modal BUMN melalui Penanaman Modal Negara (PMN).

Untuk melempangkan jalan yang telah digariskannya itu, maka pada akhir Desember 2015, dilansirlah Perpres Nomor 148 Tahun 2015, yang merupakan revisi atas Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Mayoritas perubahan menyangkut tahapan penanganan yang lebih cepat dibanding aturan lama.

Upaya ini rupanya tak sia-sia. Meski sempat tertunda, kontrak pendanaan (financial closing) PLTU Batang, proyek listrik terbesar di Asia ini, akhirnya berhasil diteken pada Juni 2016. Ditargetkan, proyek kerjasama pemerintah dengan konsorsium perusahaan Jepang dan Indonesia ini bisa rampung pada 2019.

Jokowi menyatakan proyek-proyek infrastruktur strategis yang mangkrak di tangan swasta, akan diambil alih oleh BUMN. Karena itu, disiapkan skema penguatan modal BUMN melalui Penanaman Modal Negara (PMN).

Gerak-cepat juga dilakukan di tol Trans Jawa. Sejumlah proyek tol yang menghubungkan Solo, Ngawi hingga Mojokerto yang telah mangkrak 20 tahun lamanya, diambil alih oleh dua BUMN, yakni PT Jasa Marga Tbk. dan PT Waskita Karya Tbk.

Tak berhenti sampai di situ, Presiden Jokowi kemudian mengeluarkan dua kali Perpres yang mencanangkan 245 proyek strategis nasional plus dua program prioritas. Hampir setengahnya merupakan proyek infrastruktur konektivitas untuk menghubungkan antar-wilayah (115 proyek). Sisanya berupa proyek bendungan (54), kawasan (30), energi (12), dan lain-lain (34).

Total nilai proyek strategis nasional itu ditaksir mencapai Rp 4.197 triliun. Negara tentu tak bisa membiayainya sendiri. Dana dari APBN hanya dialokasikan sebesar Rp 525 triliun, dan porsi BUMN/BUMD pun hanya berkisar Rp 1.258 triliun. Karena itu, sisanya senilai Rp 2.414 triliun akan berasal dari swasta.

Mengejar Ketertinggalan

Begitulah, derap pembangunan infrastuktur terus dilecut di era pemerintahan Jokowi. Jika menoleh ke belakang, ditempuhnya kebijakan ini cukup beralasan. Mengingat, para ekonom dan sejumlah lembaga telah lama menyuarakan bahwa infrastruktur yang kurang memadai menjadi salah satu penghambat masuknya investasi asing ke Indonesia.

Sebuah laporan bertajuk “Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007” yang dilansir Bank Dunia menyebutkan bahwa kualitas infrastruktur Indonesia terus merosot pasca-krisis ekonomi 1998. Indonesia sesungguhnya pernah mengungguli Thailand, Taiwan, Tiongkok, dan Sri Lanka dalam Global Competitiveness Report’s 1996 tentang indeks mutu infrastruktur. Namun, sejak 2002, negara-negara ini telah melampaui Indonesia.

Survei Bank Dunia dalam hal efisiensi distribusi juga hanya menempatkan Indonesia pada peringkat 53, jauh tertinggal dari Thailand (35) dan Malaysia (25). Tak mengherankan, sebuah media Jepang, Nikkei, dalam artikelnya“Poor Infrastructure, Protectionism Threaten Indonesia's Growth” yang dilansir menjelang Presiden SBY lengser pada 2014, ikut menyoroti buruknya infrastruktur Indonesia.

Di tulisan itu disebutkan bahwa perekonomian Indonesia tumbuh secara berkelanjutan di era SBY selama satu dekade. Namun, sayangnya tak diikuti dengan perbaikan prasarana infrastruktur, khususnya jaringan jalan, yang dibutuhkan untuk mempercepat laju roda ekonomi.

Bisa jadi, itu sebabnya pula sebuah survei yang dilakukan oleh Bappenas dan LPEM UI terhadap 200 perusahaan pada 2008, seperti dikutip Kontan, menyimpulkan bahwa ketersediaan infrastruktur yang tak memadai menjadi salah satu faktor utama penghambat investasi di Indonesia.

Berkaca pada kenyataan itu, Presiden Jokowi langsung tancap gas sejak tahun pertama kepemimpinannya. Realisasi belanja infrastruktur yang pada 2014 masih sebesar Rp 139 triliun, di tahun berikutnya langsung membengkak menjadi Rp 209 triliun atau naik 51 persen—di rencana anggaran bahkan naik 63 persen.

Angka ini terus membesar di tahun-tahun berikutnya. Pada 2017 dan 2018, bujet yang dianggarkan masing-masing mencapai Rp 387 triliun (2,83 persen terhadap Produk Domestik Bruto) dan Rp 409 triliun (2,75 persen). Pembengkakan anggaran infrastruktur ini yang kini menuai kritik, karena dinilai sebagian kalangan terlalu ambisius.

Bila dibandingkan dengan masa sebelum krisis 1997-1998, persentase itu sesungguhnya masih lebih kecil. Di era pemerintahan Presiden Soeharto, anggaran infrastruktur di APBN, rata-rata sekitar 3 persen dari PDB.

Laporan Bank Dunia tentang Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 juga menyebutkan bahwa peningkatan bujet infrastruktur dibutuhkan untuk menanggulangi kemunduran investasi masa lalu. Selain itu, diperlukan untuk mendanai proyek-proyek baru guna memenuhi permintaan yang kian besar dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Untuk menutup kebutuhan itu, nilai total anggaran infrastruktur (baik dari APBN/D, BUMN dan swasta) diperkirakan perlu tambahan sekitar 2 persen dari PDB, atau US$ 6 miliar per tahun. Ini pun hanya untuk mencapai tingkat pertumbuhan seperti sebelum krisis.

Sejumlah Risiko

Ekonom dan Rektor Unika Atma Jaya Prasetyantoko tak menampik bahwa pembangunan infrastruktur memang diperlukan, khususnya untuk kepentingan jangka panjang. Hanya saja ia mengingatkan perlunya kehati-hatian dalam melihat eksesnya kepada anggaran.

Kewaspadaan ini diperlukan mengingat pemerintah kini dihadapkan pada risiko membengkaknya defisit anggaran negara. Diperkirakan besarnya defisit hingga akhir tahun ini bisa mencapai 2,9 persen, berhubung penerimaan pajak yang tidak sesuai harapan.

Ini berarti mendekati batas maksimum yang diperbolehkan Undang-Undang sebesar 3 persen. “Jika sampai melanggar UU, implikasi politiknya akan signfikan,” katanya.

Peringatan serupa juga sudah didengungkan oleh ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri. Melihat penerimaan pajak selama delapan bulan pertama (Januari-Agustus) yang baru mencapai 53,5 persen dari target APBN Perubahan dan tidak adanya lagi “berkah” amnesti pajak, maka diperkirakan hingga akhir tahun akan terjadi shortfall alias tekor perolehan pajak.

Menurut kalkulasinya dengan mendasarkan pada sejumlah skenario, defisit anggaran negara bisa mencapai 3,1 persen hingga 4,5 persen. Karena itu, kata Faisal, tidak ada pilihan lain kecuali memangkas pengeluaran. Sebab, hampir tidak ada lagi ruang untuk memotong belanja rutin.

“Memangkas belanja modal merupakan keniscayaan,” kata Faisal Basri.

Hal ini bisa dilakukan lewat dua cara. Pertama, menjadwal ulang proyek-proyek infrastruktur. Kedua, tidak mencairkan penyertaan modal negara (PMN) ke BUMN-BUMN.

Langkah ini perlu segera dilakukan. Jika tidak, maka bisa fatal akibatnya. Peringkat surat utang Indonesia yang kini sudah berpredikat layak investasi bisa kembali diturunkan oleh lembaga-lembaga rating global. “Ongkos ekonomi dan politiknya pun sangat mahal,” kata Faisal. Bahkan Indonesia berpotensi mengalami ‘krisis kecil’.

“Memangkas belanja modal merupakan keniscayaan,” kata Faisal Basri.

Hal lain yang ditekankan Prasetyantoko yaitu perlunya pemerintah memperbaiki tata kelola dan manajemen risiko pembangunan infrastruktur. Di sejumlah proyek, ia menilai pemerintah abai melakukannya. Berbagai proyek besar bahkan miskin studi kelayakan. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung termasuk yang dinilainya agak dipaksakan.

Contoh lain adalah pembangunan Light Rail Transit (LRT) yang masih menyisakan skema pendanaan, bahkan ketika proyeknya sudah berjalan. “Ke depan, blunder semacam ini harus dihindari,” ujarnya. “Apalagi sebagian besar proyek infrastruktur pemerintah dikerjakan oleh BUMN karya. Bahkan ada beberapa yang bersifat penugasan.”

Peran Swasta

Tentang imbas risiko yang ditanggung BUMN, Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan juga turut mengingatkan. “Di sisi BUMN Karya ada tekanan cash flow yang menjadi tantangan, dan kalau tidak bisa ditangani bisa berdampak ke sektor perbankan,” ujarnya.

Kekhawatiran inilah yang menurut beberapa fund manager dan pialang senior di pasar modal membuat harga saham-saham BUMN Karya terus tertekan. Penurunannya di kisaran 25-35 persen sepanjang tahun ini. BUMN Karya itu, diantaranya adalah Waskita Karya, PP, Wijaya Karya dan Adhi Karya.

Soal intensnya keterlibatan BUMN di proyek-proyek infrastruktur, di sisi lain juga mengundang kritik dari Bank Dunia. Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim, menyatakan bahwa ada banyak peraturan tentang kerjasama pemerintah dan swasta atau public private partnership (PPP) yang seringkali lebih menguntungkan BUMN ketimbang swasta.

"Kami sudah mengidentifikasi 100 peraturan perundang-undangan yang mengatur PPP yang tidak konsisten dan kurang menguntungkan swasta," kata Kim saat berbicara di Indonesia Infrastructure Finance Forum, akhir Juli lalu,  seperti dikutip liputan6.com.

BUMN dinilainya lebih mudah mendapatkan proyek. Padahal, ia memandang perlu adanya mekanisme kompetisi yang sehat untuk mendorong praktik terbaik di sektor infrastruktur.

Terkait dengan itu, pemerintah dipandang perlu segera memperbaiki regulasi dan mempersiapkan perencanaan proyek secara matang, agar menjadi jelas bagi seluruh pemangku kepentingan. "Ini perlu dilakukan untuk menarik lebih banyak swasta dalam pendanaan proyek infrastruktur.”

Melihat kondisi keuangan yang seret, saran Kim memang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Apalagi, menurut kalkulasi Kim, Indonesia membutuhkan investasi sekitar US$ 500 miliar dalam lima tahun ke depan untuk mengatasi kesenjangan infrastruktur.

Ini berarti belanja infrastruktur naik dua kali lipat dari sekitar 2 persen menjadi 4,7 persen terhadap PDB pada 2020. Kebutuhan yang sudah pasti akan kian sulit dipikul bebannya oleh pemerintah.