Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran membuat produsen rokok dan pengusaha televisi resah. Musababnya, dalam rancangan beleid itu terdapat pasal berisi larangan iklan rokok di televisi. Bila Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah menyepakati pasal itu, bisnis dua pelaku usaha tersebut bakal terpukul.
CEO Ads Tensity Atmaji Sapto Anggoro mencatat, stasiun televisi mengantongi pendapatan iklan sebesar Rp 98,6 triliun tahun lalu. Adapun iklan rokok berkontribusi sebesar Rp 6,3 triliun atau 8 persen terhadap total pendapatan iklan. Dengan kontribusi sebesar itu, iklan rokok menduduki posisi enam penyumbang pendapatan iklan terbesar televisi.
Sapto memaparkan, penyumbang pendapatan iklan terbesar bagi televisi memang berasal dari industri makanan dan minuman. Tapi, besarnya nilai tersebut juga dibarengi dengan banyaknya jumlah perusahaan makanan dan minuman. Berbeda dengan perusahaan rokok. “Kalau rokok kan cuma tiga perusahaan yang besar, itu (pendapatan iklan) signifikan,” katanya dalam acara talkshow bertajuk "Gempuran Baru di Tahun Baru untuk Industri Rokok" di Jakarta, Rabu (18/1)
(Baca juga: Beras dan Rokok, Penyumbang Terbesar Kemiskinan di Indonesia)
Berdasarkan catatannya, perusahaan rokok yang menyumbang pendapatan iklan terbesar yakni Djarum Rp 1,9 triliun, Gudang Garam Rp 1,3 triliun, dan Sampoerna Rp 1,2 triliun. Besarnya pendapatan iklan dari produsen rokok lantaran setengah dari total biaya pemasaran perusahaan rokok memang disalurkan untuk iklan televisi. Bila iklan rokok dilarang di televisi, pendapatan iklan stasiun televisi dipastikan bakal merosot.
Dia pun memproyeksi, perusahaan rokok bakal mengalihkan bujet iklan televisi untuk beriklan di internet. Selebihnya, penawaran langsung ke masyarakat. Bila ini terjadi, anak di bawah umur bisa terkena dampaknya.
Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia Budidoyo menambahkan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor.109/2012 yang membatasi iklan rokok di televisi saja sudah berdampak pada penurunan konsumsi rokok. Bila parlemen jadi melegalkan kebijakan pelarangan beriklan ini, tentu akan memukul industri rokok lebih parah lagi.
(Baca juga: Pajak Rokok Terus Naik, Pengusaha Cemas Penjualan Kian Anjlok)
Dia pun menyayangkan sikap parlemen yang tak mengajak pelaku industri rokok dan tembakau berdiskusi soal rencana kebijakan tersebut. Padahal, bila industri rokok terpukul, sebanyak 6 juta orang yang bekerja di industri tembakau serta 700 ribu hingga 1 juta tenaga kerja di industri rokok bakal terkena dampaknya.
Selain itu, penerimaan negara bakal ikut merosot. “Kalau industri ini terus dibatasi, itu akan (merugikan) masyarakat dan tentunya negara. Karena penerimaan cukai dari rokok cukup besar,” tutur Soeseno. (Baca juga: Gara-Gara Aturan, Penerimaan Bea Cukai 2016 Turun)
Menanggapi keluhan dari pelaku usaha, Anggota Komisi Keuangan DPR Bobby Adhityo Rizaldi menyatakan, pihaknya akan mengusulkan agenda tambahan untuk berunding dengan pengusaha setelah RUU ini masuk pembahasan tingkat I atau diparipurnakan. Sekadar catatan, RUU ini sudah tujuh tahun digodok di parlemen.