Strategi Bisnis Hijau Tingkatkan Daya Saing Petani dan Pengusaha Lokal

IDH/Beawiharta
Pekerja PT Asal Jaya, menyortir biji kopi Robusta untuk pangsa pasar ekspor, Malang, Jawa Timur.
Penulis: Tim Publikasi Katadata - Tim Publikasi Katadata
15/10/2019, 16.19 WIB

Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP-21) di Paris pada 2015 berkomitmen menyiapkan dana senilai US$ 100 miliar hingga  2020 bagi yang bersedia menjalankan investasi hijau.Komitmen ini mendorong banyak  negara  giat melakukan investasi hijau (green investment). Namun untuk mendapatkan dana ini, setiap negara harus mewujudkan rencana aksi pengurangan emisi gas rumah kaca sesuai kontribusi nasional yang ditetapkan (Nationally Determined Contribution/NDC).

Indonesia pun berusaha menangkap peluang ini. Strategi investasi hijau itu dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Pemerintah ingin meraih investasi hijau hingga sekitar Rp 1,3 triliun dalam lima tahun ke depan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga tengah menyiapkan RPJMN 2020-2024 hijau dan Green Growth Plant (GGP) masuk dalam RPJMN ini.

Direktur Program Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YIDH) Zakki Hakim mengatakan, YIDH telah mengembangkan berbagai model investasi hijau. Salah satunya adalah konsep Produksi, Proteksi, dan Inklusi (PPI). Suatu konsep untuk meningkatkan produksi sumber daya alam, sambil melindungi kawasan hutan di sekitar lokasi usaha dan menjadikan masyarakat sebagai aktor yang masuk dalam rantai nilai komoditas berkelanjutan.

Model bisnis ini hanya dapat  berjalan dengan melibatkan semua pihak, baik dari pemerintah daerah, swasta sebagai penyandang dana, lembaga swadaya masyarakat, serta petani. "Mereka berada dalam satu lembaga yang bersifat setara dan diikat dalam sebuah perjanjian, yakni PPI Compact," ujar Zakki.

Dalam PPI Compact, semua pihak menyepakati produk apa yang hendak dikembangkan, teknologi seperti apa yang akan digunakan, serta hal-hal teknis lainnya, dengan mengacu pada Green Growth Plan (GGP) atau Rencana Pertumbuhan Hijau yang sudah ditetapkan pemerintah daerah.

Langkah selanjutnya YIDH akan mencari investor dimana YIDH ikut menyertakan  modal 30% dari total investasi, sementara mitra investor lainnya sebesar 70 persen. "Investasi dari kami untuk memastikan bisnis tetap berjalan. Setelah tiga atau empat tahun bisnisnya berjalan mandiri, kami keluar," kata Zakki.

Proyek Percontohan

Ada beberapa produk yang menjadi proyek percontohan YIDH, di antaranya kopi, budidaya udang, sawit, dan kakao. Model bisnis yang dikembangkan disesuaikan dengan karakteristik daerah, jenis produk, serta industrinya, dengan mengusung konsep PPI.

YIDH menggandeng swasta sebagai pemodal untuk memastikan bisnis hijau terus berjalan. Di produk sawit, ada Unilever, Asian Agri, PT PP London Sumatera Indonesia, Cargill, PT Perkebunan Nusantara III (Persero), Wilmar, serta pemodal lainnya.   

Di Jambi, YIDH bermitra dengan Asian Agri dan menggandeng Yayasan Setara Jambi. Yayasan Setara ini yang melakukan pendampingan terhadap 5.000 petani swadaya sawit, dengan total luas lahan mencapai 10.000 hektar.

Dengan adanya pendampingan, pola kelembagaan petani semakin solid dan mereka menerapkan Good Agricultural Practices (GAP) secara taat. Kualitas buah dan harga jual menjadi lebih baik dan bisa langsung dijual ke pabrik Asian Agri. Perusahaan pun mendapat pasokan sawit lebih stabil dan mutu terjamin.

Pada kopi, tentu berbeda model penerapan bisnisnya. Pada sawit, banyak produsen yang memiliki perkebunan sawit sendiri. Sementara di industri kopi, 80% mengandalkan petani.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengungkapkan konsumsi kopi nasional sebenarnya cukup pesat dalam lima tahun terakhir, yakni sebesar 8,8 persen per tahun. Tapi tidak diimbangi dengan pertumbuhan produksi yang cenderung stagnan, bahkan negatif, rata-rata minus 0,3 persen per tahun.

Ada ketimpangan antara pertumbuhan konsumsi kopi nasional dengan tingkat produksi kopi di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Padahal, Indonesia merupakan negara produsen utama kopi dunia dengan varian produk yang beragam dan kualitasnya diakui di pasar internasional.

Menurut Darmin, kendala lain dalam mengembangkan kopi di Indonesia adalah masih kecilnya luasan lahan kebun kopi yang digarap petani. Dari data terakhir, kebun kopi yang dikelola keluarga petani di Indonesia baru seluas 0,71 hektare per keluarga untuk jenis robusta dan 0,6 hektare untuk jenis arabika.

Padahal, kata Darmin dalam Gathering dan Roundtable Discussion tentang Strategi Kebijakan dan Program Pengembangan Kopi Indonesia untuk Merespons Kebutuhan Agroindustri Kopi Global, seperti dikutip dari Kompas.com, Rabu, 8 Agustus 2018, luasan kebun yang ideal untuk setiap keluarga petani adalah 2,7 hektare setiap keluarga.

Dari sisi produktivitas juga terhitung masih rendah dari potensi yang bisa digali. Produktivitas kopi petani kini sekitar 0,53 ton per hektare dari total potensi sebesar 2 ton per hektare untuk kopi robusta dan 0,55 ton per hektare dari total potensi 1,5 ton per hektare untuk kopi arabika.

Kombinasi dua permasalahan itu berimplikasi pada kemampuan finansial petani untuk modal memperluas kebun. Mau intensifikasi dan peremajaan kebun jadi sangat terbatas. Padahal bila dilihat data Coffee Market Report dari International Coffee Organization (ICO) hingga akhir Juni 2018, komoditas kopi global mengalami defisit dalam beberapa tahun terakhir, yakni defisit sebanyak 1,36 juta karung pada 2017. Menurut Darmin, kondisi-kondisi itu bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk mengambil bagian dalam level nasional hingga global.

Produsen kopi biasanya bekerja sama dan membantu petani untuk mengamankan pasokan. Bentuk bantuan tak selalu berupa dana, tapi bisa juga berupa pelatihan untuk meningkatkan kemampuan petani.

Di Jambi, Rabobank dan Nestle menggandeng mitra Kelompok Usaha Bersama (KUB) Robusta Prima. Petani memperoleh pinjaman dan mendapat pendampingan dari penyuluh lapangan Nestle.

"Dengan kerja sama ini, semua pihak mendapat kebaikan, baik petani, pemodal, dan pemerintah. Lingkungan juga tetap terjaga dan siklus kebaikan ini akan kembali digulirkan terus menerus," kata Zakki.

Di Malang, Jawa Timur, PT Asal Jaya, eskportir kopi, telah membina petani kopi dengan mengenalkan aspek ekonomi, sosial, dan ramah lingkungan (keberlanjutan). Pada 2012, Asal Jaya membina 6.000 petani dan sukses menjalankan sertifikasi 4C (common code for the coffe community). Tahun 2015 sampai 2020, Asal Jaya juga bekerja sama dengan YIDH membina 16 ribu petani.

Direktur Utama PT Asal Jaya, Hariyanto, mengungkapkan saat ini permintaan kopi jauh lebih besar dari pada suplainya. Karena itu, Asal Jaya tidak lagi fokus dalam mencari pasar, melainkan suplai, dengan ikut membina para petani kopi agar produksi mereka naik. Untuk meningkatkan produksi, perusahaan memberi pendampingan, baik dari petugas PPL maupun rekanan Asal Jaya, seperti YIDH. Sistem polikultur juga dikedepankan dari pada monokultur agar petani kopi juga bisa mendapatkan tambahan penghasilan.

Aspek perlindungan lingkungan dilakukan lewat komitmen untuk tidak menggunakan pestisida serta menggunakan  pupuk organik. Sistem sustainalbe agriculture bisnis cluster (SABC) juga diterapkan agar petani bisa berbisnis dan mandiri dalam menyediakan pupuk organik dan bibit sendiri.

Hariyanto menjelaskan Asal Jaya mengekspor kopi dari mitra petani ke Italia dan Jepang. Mereka sangat peduli pada produk hijau, peduli keamanan pangan  dan membeli dengan harga  lebih baik. “Tentu saja nilai tambah ini para petani lah yang seharusnya menikmati. Kami berjuang  mencari pembeli yang benar-benar membutuhkan kualitas dan peduli lingkungan hijau,” ungkapnya. (*)