Dampak Corona dan Pembatasan Terbang, Maskapai Dunia Merugi Rp 4.903 T

ANTARA FOTO/REUTERS/Lim Huey Teng/hp/cf
Pesawat AirAsia terlihat terparkir di Bandara Internasional Kuala Lumpur. Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) memperkirakan kerugian industri maskapai dunia akibat corona mencapai US$ 314 miliar atau setara Rp 4.903 triliun.
Penulis: Ekarina
15/4/2020, 12.42 WIB

Pandemi corona memberikan dampak kerugian besar bagi sejumlah sektor usaha. Salah satunya industri maskapai penerbangan dunia yang ditaksir merugi hingga US$ 314 miliar atau sekitar Rp 4.903 triliun seiring pandemi corona dan pembatasan penerbangan rute internasional. 

Perkiraan kerugian maskapai global imbas pandemi corona itu meningkat  25% dibandingkan perkiraan sebelumnya akibat beratnya krisis ekonomi dan lambatnya pembukaan kembali rute internasional.

Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) pada 24 Maret lalu memperkirakan, kerugian maskapai global bakal mencapai US$ 252 miliar. Asumsi ini sejalan dengan penurunan 55% pendapatan penumpang 2020 dibandingkan denganperiode tahun lalu.

(Baca: Imbas Pandemi Corona, Pekerja Ground Handling Bandara Terancam PHK)

Lalu lintas yang diukur dalam pendapatan kilometer penumpang diperkirakan akan turun 48% tahun ini, lebih dalam dibandingkan estimasi penurunan sebelumnya sebesar 38%.

"Pemulihan lebih lambat, sedangkan krisis lebih dalam dari yang kami perkirakan sebulan lalu," kata Direktur Jenderal Alexandre de Juniac dikutip dari Reuters TV dalam sebuah wawancara. 

Pandemi telah membuat sejumlah penerbangan dunia terhenti, dengan banyak armada maskapai mendarat di tengah tidak adanya kepastian kapan pembatasan perjalanan akan dibuka. 

IATA telah mendesak pemerintah untuk menyediakan suntikan likuiditas bagi maskapai penerbangan untuk membantu mereka bertahan dari krisis. Asosiasi juga memperingatkan bahwa banyak yang akan bangkrut dalam beberapa minggu mendatang, apabila mereka menerima bantuan.

(Baca: Maskapai Terdampak Corona, Kemenhub Kaji Kenaikan Tiket Pesawat 100%)

Badan perdagangan, yang mewakili maskapai penerbangan seperti Lufthansa dan pemilik British Airways IAG mengharapkan pasar domestik menjadi yang pertama kali dibuka, sebagaimana yang terjadi di Tiongkok. Baru setelahnya, pembukaan itu diikuti oleh rute internasional secara bertahap.

Penutupan penerbangan internasional memberi tekanan finansial bagi maskapai karena sebagian dari perusahaan tersebut memperoleh pendapatan mereka dari rute internasional.

Oleh karenanya, IATA mendesak negara-negara untuk bekerja mencabut pembatasan dan mengatakan akan menyelenggarakan serangkaian pertemuan regional untuk mempertimbangkan rencana pemulihan penerbangan.

"Langkah-langkah yang telah diterapkan secara sepihak beberapa negara bagian harus dicabut bersama, jika tidak akan berhasil," kata de Juniac.

"Anda tidak bisa mengatakan memberi wewenang kepada warga negara  untuk pergi ke luar negeri tanpa melihat sebenarnya negara lain mengatakan 'Saya siap menyambut mereka',"ujarnya menambahkan. 

IATA memulai rencana tiga tahap untuk meningkatkan kepercayaan diri penumpang dalam penerbangan, memulihkan kepercayaan pemerintah dan mendapatkan persetujuan dari otoritas kesehatan.

(Baca: 96% Pesawatnya Tak Beroperasi, AirAsia Potong Gaji Seluruh Karyawan)

Asosiasi telah memulai survei terhadap penumpang di 11 negara untuk memahami kedalaman kekhawatiran tentang perjalanan udara.

De Juniac mengatakan akan memulihkan permintaan. Namun, sebagian tergantung pada langkah-langkah seperti kontrol dan pengujian, dan ketersediaan peralatan spesialis.

Begitu pemerintah memutuskan untuk mencabut larangan bepergian, terbang akan aman. "Asalkan tindakan ini dirancang dengan baik dan diimplementasikan dengan benar," ujarnya.

Pandemi corona juga menyebabkan maskapai penerbangan di Indonesia merugi. Kerugian perusahaan diprediksi meningkat dengan adanya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Karena itu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengkaji beberapa insentif.

Dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 18 Tahun 2020 tentang pengendalian transportasi dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19, jumlah penumpang dibatasi 50% dari ketersediaan. Regulasi ini diterbitkan pada akhir pekan lalu (9/4).

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Novie Riyanto Rahardjo mengakui, kebijakan tersebut akan merugikan perusahaan. Karena biaya lebih besar dibanding pendapatan.

Namun, hal ini dalam rangka menekan penyebaran pandemi corona. “Kondisinya darurat. Kami tahu dengan pembatasan 50% ini otomatis merugi. Maka perhitungan terhadap Tarif Batas Atas (TBA) di Permenhub diperbolehkan untuk menambahkan,” kata Novie saat video conference, Minggu (12/4).

Saat ini, kementerian masih menghitung besaran kenaikannya dan diharapkan selesai hari ini. “Metodologinya bagaimana? Ya seolah-olah satu penumpang itu dua. Hitung-hitungan kasar ya hampir dua kali lipat, lalu pajak dan lainnya,” kata dia.