Diduga Ada Maladministrasi, Divestasi Freeport Dilaporkan ke Ombudsman

ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Area pengolahan mineral PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Papua.
15/2/2019, 19.04 WIB

Koalisi Rakyat Kedaulatan Sumber Daya Alam (KRKSDA) menduga ada maladministrasi pada proses divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) dengan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Dugaan ini dilaporkan kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI).

Pakar Hukum Pertambangan Ahmad Redi menjelaskan dugaan adanya maladministrasi ini berdasarkan proses divestasi yang tidak sesuai dengan prosedur, salah satunya tidak melibatkan partisipasi publik dalam proses ini. Hal tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah.

Kedua, berkaitan dengan Kontrak Karya (KK) PTFI yang seharusnya berakhir pada 2021. Nyatanya, pemerintah telah memberikan perpanjangan kepada PTFI dengan perubahan kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

(Baca: Inalum Sah Kuasai 51,2% Saham Freeport, Jokowi: Ini Momen Bersejarah)

Menurut Redi, untuk mendapatkan IUPK, perlu adanya beberapa proses, yakni harus melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah mendapatkan persetujuan DPR, saham divestasi ditawarkan terlebih dahulu kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), opsi terakhir yaitu penawaran divestasi kepada perusahaan swasta. Ini sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 9 Tahun 2017.

Kemudian, divestasi ini seharusnya tidak ada kaitannya dengan Rio Tinto. Karena dalam ketentuan, KK hanya melibatkan dua belah pihak, yakni pemerintah dan Freeport. "Tiba-tiba muncul Rio Tinto yang harus diakusisi. Secara administrasi, ini salah," kata dia, di Jakarta, Jumat (15/2).

Di sisi lain, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan potensi kerugian negara akibat operasional Freeport di Papua sebesar Rp 185,58 triliun. Penyebabnya dari sejumlah pelanggaran lingkungan, seperti penggunaan kawasan hutan lindung dalam operasional tambang Freeport seluas minimal 4.535,93 hektare tanpa izin yang berpotensi merugikan negara Rp 270 miliar.

(Baca: Divestasi Saham Freeport Terganjal Izin Pinjam Hutan dari Pemda)

Selain itu, Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman mengatakan bahwa tidak hanya ada dugaan maladministrasi tetapi juga pelanggaran pidana, karena adanya tindakan korupsi. Dia menceritakan bahwa Menteri ESDM pada 1993-1998 IB Sujana menyetujui Participating Interest Rio Tinto ada di Blok B yakni Blok pengembangan, bukan di Blok A Gresberg dan Erstberg. Sehingga seharusnya perhitungan valuasi saham tidak mencapai US$ 3,85 miliar.

Menurut Yusri, seharusnya Rio Tinto sudah meninggalkan Freeport pada 2008. Karena perusahaan asal Inggris tersebut telah melakukan kerusakan lingkungan. "Lembaga dana pensiun disarankan tidak memberikan investasi kepada Rio Tinto," ujarnya.

Setelah menyampaikan laporan tersebut, KRKSDA akan menunggu tindak lanjut Ombudsman untuk memeriksa pihak terkait, baik Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, maupun Inalum. Jika terbukti ada maladministrasi, maka divestasi saham bisa dibatalkan. KRKSDA juga berharap Ombudsman bisa memberikan rekomendasi kepada penegak hukum untuk memberikan sanksi kepada pejabat yang melakukan maladminstrasi tersebut.

Untuk diketahui, KRKSDA terdiri dari sejumlah organisasi yaitu, Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Centre for Indonesia Resources Srategic Studies (CIRUSS), Indonesia Resources Studies (IRESS), Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), dan pakar hukum pertambangan.

(Baca: Utang Inalum Membengkak 5 Kali Lipat Usai Akuisisi Freeport)

Dalam kesempatan terpisah, Head of Corporate Communications and Government Relations Inalum Rendi Witular membantah adanya maladministrasi dalam proses divestasi saham PTFI. Alasannya, proses divestasi tersebut telah melibatkan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Keterlibatan Jamdatun dan BPKP sebagai upaya melakukan uji tuntas (due diligence) dalam proses divestasi. "Tiga tahun lebih hingga akhirnya tercapai kesepakatan. Ini memakan waktu lama, karena kami (harus) memastikan semuanya taat aturan dan transparan," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (15/2).

(REVISI: Artikel ini diperbarui pada Sabtu, 16 Februari 2019, pukul 01.30 WIB, dengan penambahan penjelasan dari manajemen Inalum pada paragraf ke-11 dan 12)