PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) membantah adanya maladministrasi dalam proses divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Alasannya, proses divestasi tersebut telah melibatkan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
(Baca: Diduga Ada Maladministrasi, Divestasi Freeport Dilaporkan ke Ombudsman)
Head of Corporate Communications and Government Relations Inalum Rendi Witular mengatakan keterlibatan Jamdatun dan BPKP sebagai upaya melakukan uji tuntas (due diligence) dalam proses divestasi. "Tiga tahun lebih hingga akhirnya tercapai kesepakatan. Ini memakan waktu lama, karena kami (harus) memastikan semuanya taat aturan dan transparan," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (15/2).
Selain itu, Hak Partisipasi (Participating Interest) Rio Tinto telah dikonversi menjadi saham PTFI, agar Indonesia mengendalikan saham mayoritas sebesar 51% di perusahaan tersebut. Adapun, hak partisipasi yang dimiliki Rio Tinto merupakan hak atas produksi dan kewajiban atas biaya operasi PTFI sebesar 40% hingga 2022, dengan batasan produksi tertentu (metal strip).
Dengan begitu, pada 2023 Rio Tinto akan mendapatkan hak dan kewajiban penuh sebesar 40% dari produksi tanpa batasan tertentu hingga 2041. Walaupun tidak memengaruhi kompoisisi saham PTFI, kerja sama dengan Rio Tinto akan memengaruhi komposisi pembagian hasil produksi PTFI.
Apabila masalah hak partisipasi ini tidak diselesaikan, setelah 2022 Inalum dan Freeport McMoran (FCX) hanya mendapatkan 60% dari produksi PTFI. Karena 40% lagi merupakan bagian Rio Tinto. "Jika produksi PTFI 100 ton, maka Rio Tinto akan langsung mendapat 40 ton dan sisa 60 ton dibagi antara Inalum dan FCX ," kata dia.
Adapun, skema Rio Tinto dan FCX tersebut telah disetujui oleh pemerintahan era Presiden Soeharto. Pada 1996, skema tersebut mendapatkan persetujuan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) IB Sudjana, dan Menteri Keuangann Marie Muhammad. Hak Partisipasi Rio Tinto juga tak hanya berlaku di Blok B. Menurut Rendi, Menteri ESDM IB Sudjana telah memberikan persetujuan ke Rio Tinto di atas volume metal strip tertentu untuk Blok A.
Terkait adanya dugaan korupsi pada masalah kontrak tersebut, kata Rendi, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi pada 2008-2013 Mafud MD pernah mengatakan kasus peradilan pidana hanya bisa berlaku hanya 18 tahun. Sedangkan, Kontrak Karya (KK) tersebut mulai berlaku pada 1991, sehingga seharusnya sudah kadaluarsa pada 2009.
(Baca: Mantan Pekerja Adukan Pelanggaran Freeport ke Jokowi)
Sebelumnya, Koalisi Rakyat Kedaulatan Sumber Daya Alam (KRKSDA) menduga ada maladministrasi pada proses divestasi saham PTFI dengan Inalum. Dugaan ini dilaporkan kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Pakar Hukum Pertambangan Ahmad Redi mengatakan divestasi ini seharusnya tidak ada kaitannya dengan Rio Tinto. Karena dalam ketentuan, KK hanya melibatkan dua belah pihak, yakni pemerintah dan Freeport. "Tiba-tiba muncul Rio Tinto yang harus diakusisi. Secara administrasi, ini salah," kata dia, di Jakarta, Jumat (15/2).
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menduga ada pelanggaran pidana, karena adanya tindakan korupsi. Menurutnya, Menteri ESDM pada 1993-1998 IB Sujana menyetujui Hak Partisipasi Rio Tinto ada di Blok B yakni Blok pengembangan, bukan di Blok A Gresberg dan Erstberg. Dengan begitu, seharusnya perhitungan valuasi saham tidak mencapai US$ 3,85 miliar.
"Diindikasi ada dugaan praktik pelanggaran pidana, yang bisa dikenai pasal tindakan kroupsi," kata Yusri.