Pohon Sengon Picu Listrik Mati Massal, Ini Daftar Penyebab Lainnya

ANTARA FOTO/AJI STYAWAN
Personel Tim Labfor Mabes Polri Cabang Semarang melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) peristiwa ledakan yang diduga akibat loncatan arus jaringan transmisi Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kV interkoneksi Jawa-Bali yang melintang di Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (6/4/2019). Gangguan di area SUTET tersebut pada Minggu (4/8/2019) lalu diduga menyebabkan listrik padam di wilayah Jabodetabek, sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Penulis: Pingit Aria
7/8/2019, 14.42 WIB

Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan memberi catatan menggelitik soal listrik mati massal yang terjadi di Jakarta, Banten, hingga sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah pada Minggu (4/8) lalu. Dahlan menyoroti soal pohon sengon yang diduga sebagai penyebab mati lampu.

"Pohon sengonnya ada di Desa Malon. Nun jauh di Gunung Pati, 28 km selatan Semarang. Mati listriknya sampai Jakarta," kata Dahlan melalui laman pribadinya disway.id, dikutip Rabu (7/8).

Menurutnya, tinggi tiang Sutet itu 40 meter, tapi bentangnya menggelayut hingga tinggi 18 meter. Sedangkan tinggi sengon itu sekitar 15 meter. “Sudah mencapai medan magnet Sutet,” katanya. 

Bagaimanapun, PLN belum memastikan penyebab mati listrik massal tersebut. Alasannya, sistem kelistrikan di Jawa-Bali sangat kompleks.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani menyebutkan, Jawa-Bali memiliki 250 pembangkit dan 500 Gardu Induk (GI). Selain itu, terdapat 5 ribu kilometer sirkit (kms) dengan kapasitas 500 kilovolt (kV) dan 7 ribu kms transmisi berkapasitas 150 kV di wilayah ini.

(Baca juga: Bankir: Tak Ada Lonjakan Tarik Tunai selama Listrik Mati)

Karena itu, ia meminta agar diberi waktu untuk melakukan investigasi secara menyeluruh. "Perlu dipahami bahwa sistem (kelistrikan) Jawa-Bali itu sangat kompleks. Jadi, persoalan pemadaman listrik kemarin bukan penyebab tunggal," kata Sripeni saat rapat dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung MPR/DPR, Selasa (6/8).


Sebelumnya, listrik mati massal telah beberapa kali terjadi di Indonesia. Penyebabnya pun bermacam-macam.

Pada 5 September 2018 misalnya, PT PLN (Persero) melakukan pemadaman listrik di sejumlah daerah di Jawa Timur (Jatim) dan Bali. Prosedur itu dilakukan untuk menghindari mati listrik yang lebih luas setelah suplai listrik sebesar 70 KV dari PLTU Paiton mengalami gangguan.

Manager Komunikasi Hukum dan Komunikasi PLN Distribusi Jawa Timur, Dwi Suryo Abdullah saat itu mengatakan bahwa pemadaman terjadi pada hari ini dilakukan selama 3 jam, mulai pukul 11.00 WIB.

(Baca: Datangi Kantor PLN, Jokowi Minta Listrik Mati Tidak Terulang Lagi)

Masih di Jawa Timur, pemadaman listrik kembali terjadi pada 8 November 2018 di Madiun, Caruban, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Trenggalek hingga Pacitan. Penyebabnya adalah sambaran petir pada transmisi 150 KV dari Kediri ke Manisrejo (Madiun). Akibatnya, isolator pada dua tower pecah sehingga aliran listrik ke gardu induk 70 KV yang diambil dari GI 150 KV Manisrejo tidak bisa beroperasi.

Kemudian, pada 18 Agustus 2005, pasokan listrik di Jawa-Bali juga pernah terganggu. Penyebabnya adalah kerusakan jaringan transmisi Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 KV Saguling, Cibinong, dan Cilegon. Ini membuat sistem kehilangan pasokan hampir 50%. 

Hitungan PT PLN (Persero) kala itu, pemadaman listrik dirasakan oleh 120 juta pelanggan. Di daerah Jakarta dan Banten, mati lampu memang 'hanya' dirasakan sekitar 3 jam. Namun, pemulihan untuk seluruh Jawa-Bali membutuhkan waktu hingga 24 jam. 

(Baca: Bayar Kompensasi Listrik Mati, Berapa Gaji dan Bonus Pegawai PLN?)

Insiden itu sampai mendapat perhatian dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 22 Agustus, SBY menggelar rapat dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Kapolri Sutanto, dan Kepala BIN Syamsir Siregar. Hasilnya, pemerintah menegaskan bahwa pemadaman massal kala itu murni terkait masalah teknis, tidak terkait dengan aksi sabotase atau terorisme. 

Reporter: Fariha Sulmaihati