Prof. dr. Tjandra Yoga: Pandemi Pasti Terjadi Lagi, Kita Perlu Waspada


Peningkatan kasus Covid-19 kembali terjadi di beberapa negara Asia. Kasus ini disebabkan mutasi virus yang terus berkembang dan tidak bisa dihilangkan dari muka bumi ini. Sejak akhir Mei 2025, negara-negara Asia seperti Cina, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Hong Kong mengalami peningkatan kasus Covid-19.
Khusus di Indonesia, positivity rate Covid-19 meningkat, dari semula 2,05% pada periode 25 hingga 31 Mei, kini mencapai 3,13% di rentang waktu 8 hingga 9 Juni 2025. Tren pemeriksaan atau tes Covid-19 di Indonesia fluktuatif, yang tertinggi mencapai 775 tes.
Varian yang saat ini paling banyak ditemukan adalah MB.1.1, yang masih termasuk dalam kelompok varian Omicron dan diketahui memiliki tingkat keparahan yang lebih rendah dibandingkan varian sebelumnya.
“Varian yang berkembang saat ini memiliki fatality rate yang rendah dan gejala yang ringan,” ujar Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, kepada Katadata.co.id.
Bahkan, Kementerian Kesehatan mengambil langkah antisipatif dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor SR.03.01/C/1422/2025, yang dirilis pada 23 Mei 2025. Surat edaran tersebut berisi imbauan kepada seluruh dinas kesehatan daerah dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan naiknya jumlah kasus di Indonesia, sekalipun situasi di dalam negeri saat ini relatif stabil.
Di tengah tingginya peningkatan kasus Covid-19 di Kawasan Asia, Tjandra Yoga mengimbau kepada masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Meskipun, fasilitas kesehatan dan penanganan pasien yang terinfeksi virus ini sudah semakin baik.
Editor Katadata.co.id Saugi Riyandi dan fotografer Fauza Syahputra menemui Prof. dr. Tjandra Yoga di ruang kerjanya untuk mengetahui lebih lanjut terkait lonjakan virus ini.
Berikut petikan wawancaranya:
Dua tahun setelah pandemi Covid-19 dinyatakan berakhir, sejumlah negara Asia menunjukkan peningkatan kasus Covid-19 varian baru NB.1.8.1, termasuk Thailand dan Indonesia. Apa yang menyebabkan virus Covid ini masih tetap ada?
Jadi pandemi yang ada itu sebenarnya sejak dunia modern yang dinyatakan WHO itu baru ada dua yaitu pandemi H1N1 (flu babi) tahun 2009 dan pandemi Covid-19 pada tahun 2019.
Pada waktu pandemi H1N1 pada 2009 itu, selesai dalam waktu dua tahun. Jadi, pada tahun 2009 dinyatakan pandemi, tahun 2011 dinyatakan selesai. Pada waktu pandemi selesai, disebutkan pandemi ini sudah selesai tetapi virus H1N1 itu tetap ada bersama kita.
Tentu saja hal yang sama terjadi pada Covid-19. Walaupun pandemi sudah tertanggulangi, virusnya masih ada. Kalau virusnya masih ada, hal yang sama juga bisa terjadi pada Covid-19. Tetapi, memang ada penurunan.
Virus masih ada, penyakitnya masih ada, yang meninggal pun masih ada. Kasusnya naik turun itu bisa saja terjadi dari waktu ke waktu. Kenaikan kasus itu biasanya disebabkan paling tidak ada dua faktor. Pertama, ada varian baru yang lebih menular. Kedua, orang itu sakit atau tidak sakit akan tergantung dari daya tahan tubuhnya.
Daya tahan tubuh itu bisa dipengaruhi dua hal. Daya tahan tubuh yang spesifik terhadap penyakit, bisa didapat dari vaksin dan dari ketularan yang tidak disengaja. Nah, sekarang vaksinnya sudah lama tidak ada. Penyakitnya juga sudah tidak ada, maka orang sudah tidak punya lagi daya tahan yang cukup untuk menghadapi Covid-19 bisa kembali tertular.
Dari sisi fatalitasnya, apakah varian baru Covid ini lebih ganas atau tidak dibandingkan dengan varian-varian sebelumnya?
Variannya kebetulan memang yang baru ini lebih mudah menular dibandingkan varian sebelumnya. Dari sisi fatalitasnya, varian baru ini merupakan bagian dari varian Omicron sehingga jelas fatalitasnya rendah.
Pada waktu pandemi, jutaan orang meninggal. Tapi, karena sekarang angka kematiannya lebih rendah, tentu saja kita harapkan tidak akan ada angka kematian sebanyak yang lalu. Untuk itu, pemerintah perlu segera membuat langkah antisipasi terhadap peningkatan kasus ini.
Apa saran Anda bagi pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, dalam mengantisipasi lonjakan Covid varian baru ini?
Misalnya, India. Negara itu baru-baru ini ada kenaikan kasus yang cukup tinggi dan kenaikan kematian akibat kasus Covid ini. Salah satu langkahnya, adalah mengecek kesiapan obat dan fasilitas. Itu yang dilakukan oleh India. Menurut saya, ada bagusnya dicek kesiapan fasilitas kesehatan di tanah air. Ada empat hal yang harus dicek, yaitu (ruangan) isolasi, ventilator, oksigen, dan obat.
India melaporkan, negara itu punya kasus Covid-19 aktif lebih dari 6.000 orang, tepatnya 6.133 kasus. Dalam 48 jam terakhir saja, dilaporkan ada penambahan 769 kasus baru. Walaupun sebagian kasus adalah ringan, tetapi kematian akibat Covid-19 juga menjadi masalah tersendiri. Sejak Januari 2025 sudah ada 65 kematian akibat Covid-19 di India, dan dalam 24 jam terakhir ada enam kematian.
Dengan perkembangan yang ada maka kini India melakukan lima hal penting. Pertama, dilakukan ‘mock drills’ untuk mengecek kesiapan kalau kasus terus meningkat. Kedua, pemerintah pusat India sudah memberi instruksi ke seluruh negara-negara bagian untuk menjamin ketersediaan empat hal, yaitu oksigen, tempat tidur isolasi, ventilator dan obat esensial yang diperlukan. Ketiga, surveilans (pengawasan) diperketat dengan penerapan program terintegrasi yang secara ketat memonitor dua hal, yakni Influenza-Like Illness (ILI) atau gejala serupa influensa, dan Severe Acute Respiratory Illness (SARI) atau gangguan pernapasan yang akut dan berat.
Keempat, diberlakukan kebijakan tes Covid-19 untuk semua kasus SARI yang dirawat di rumah sakit dan 5% kasus ILI. Terakhir, ditetapkan kebijakan bahwa hasil positif COVID-19 pada kasus SARI lalu dikirimkan untuk pemeriksaan Whole Genome Sequencing melalui jaringan Indian Council of Medical Research (ICMR).
Fasilitas pemeriksaan mereka memang cukup baik. Saya juga sudah beberapa kali mengunjungi ICMR ketika masih bertugas sebagai Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara.
Apakah penyebaran Covid ini sama seperti varian sebelumnya, misalnya melalui udara, droplet, atau ada perbedaan dengan varian sebelumnya?
Jadi, penyebarannya melalui droplet. Penyakit lain yang menyebar melalui droplet itu tuberkulosis atau TBC. Nah, pada waktu Covid-19 sedang tinggi-tingginya, maka semua orang memberi perhatian pada Covid-19.
Ketika angka Covid-19 tinggi, TBC agak sedikit terabaikan. Setelah mereda, TBC mulai kembali lagi. Pada tahun 2024, ada project dari USAID, yaitu Stop TB Partnership untuk menilai kesiapan tuberkulosis di negara-negara ASEAN. Tujuannya ada dua, yaitu penanggulangan Covid-19 dan strategi penanganan TBC ini dipakai untuk menangani Covid-19 yang dinamakan Airborne Infection Defense Platform (AIDP). Seperti Covid-19, TBC juga menyebar melalui droplet.
Sayangnya, project AIDP tidak berlanjut karena ada kebijakan dari Presiden Amerika yang baru, Donald Trump.
Seperti apa gejala dan fatalitas virus ini, apakah seperti flu biasa dan tidak menyebabkan kematian?
Kita tidak bisa membedakan secara pasti gejala antarvarian (Covid-19). Tapi, pada dasarnya Covid-19 itu sama gejalanya. Batuk, demam, dan lain-lain. Namun, untuk gejala varian yang baru ini ada yang mengeluhkan tenggorokan seperti tersilet benda tajam.
Saya dari dulu berpendapat, kita tidak bisa menggunakan gejala sebagai indikator ini varian A atau varian B atau varian apa. Membeda-bedakan varian itu hanya bisa didapat dari pemeriksaan, bukan dengan gejala.
Beberapa wilayah seperti Surabaya telah mengeluarkan surat edaran terkait perkembangan virus varian baru ini. Namun, Kemenkes belum mengeluarkan imbauan terkait virus ini. Apakah beberapa wilayah ataupun kota-kota besar perlu melakukan social distancing kembali?
Kementerian Kesehatan bikin surat edaran kepada seluruh provinsi, kawasan, dan kota. Memang begitu prosedurnya. Kebijakan WHO mengatakan vaksin itu diberikan pada kelompok yang rentan tertular.
Ini bukan karena peningkatan kasus. Vaksin itu diberikan satu tahun sesudah vaksin yang sebelumnya. Sekali lagi, itu bukan karena peningkatan kasus. Memang kebijakan WHO-nya begitu.
Menurut kebijakan WHO yang sudah dibuat tahun lalu sebelum ada peningkatan kasus, vaksin Astrazeneca itu dianjurkan setahun sesudah vaksin yang terdahulu.
Jadi, dibagi dua kategori. Orang yang belum pernah terima vaksin, atau orang yang sudah pernah terima vaksin. Yang sudah pernah terima vaksin, seperti pasien lansia dan pasien komorbid, maka vaksin harus diulangi. Sementara, yang belum (pernah divaksin) akan langsung menerima vaksin.
Sebenarnya, dalam surat edaran (Kemenkes) ada vaksinasi booster. Tapi, tidak disebutkan waktu dan penerima vaksin tersebut.
Selain varian baru virus Covid-19, apakah Anda melihat ada penyakit lain yang juga perlu diwaspadai oleh masyarakat dan harus diantisipasi penyebarannya?
Saya seratus persen yakin pandemi akan terjadi lagi. Cuma kita tidak tahu dua hal. Pertama, kapan waktu terjadinya pandemi lagi. Kita tidak tahu pandemi apakah akan terjadi lagi lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi, atau dua ratus tahun lagi. Kedua, kita belum tahu virus yang mana yang bikin pandemi.
Ada banyak virus yang mungkin saja bisa menyebabkan pandemi. WHO sudah membuat daftar virus-virus apa yang mungkin akan jadi pandemi. Sudah ada daftarnya. Untuk apa daftarnya dibuat? Supaya jangan sampai kalau pandemi datang, entah dari virus yang manapun juga. kita sudah mulai siap mencari obat dan siap mencari vaksin.
Jadi, jangan pada waktu Covid-19 datang baru mulai dicari vaksinnya. Kalau dari sekarang kita sudah antisipasi, sudah mulai dicari obat dan vaksinnya. Saat Covid-19, vaksin disuntikkan pertama kali pada Desember 2020. Padahal, virusnya muncul satu tahun sebelumnya, yaitu Desember 2019. Itu terlambat, karena cukup banyak orang sudah telanjur meninggal.
Jadi, kalau yang akan datang targetnya tiga bulan. Dari mulai pemeriksaan laboratorium sampai penyuntikan vaksin, itu targetnya tiga bulan.
Setelah pandemi berakhir, tidak ada lagi program vaksinasi gratis untuk Covid. Bagaimana dengan kalangan yang rentan terhadap virus Covid, seperti orang dengan komorbid dan lansia, seberapa sering vaksinasi harus dilakukan kembali untuk meningkatkan imunitas terhadap Covid?
Untuk kita di Indonesia, setidaknya ada tiga hal yang perlu jadi perhatian. Pertama, pemerintah harus terus meningkatkan surveilans epidemiologis untuk mengetahui jumlah kasus dan kematian serta pasien di fasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu, pemerintah melakukan surveilans genomik untuk mengetahui varian atau sub varian apa yang masih dan sedang beredar.
Tercatatnya peningkatan kasus Covid di beberapa negara tetangga kita tentu terjadi karena mereka melakukan surveilans kasus, serta pencatatan dan pelaporan dengan sistematis dan sangat baik. Bukan hanya ketika pandemi berkecamuk tetapi juga pada keadaan biasa.
Malaysia, misalnya, masih tetap memberlakukan Prevention and Control of Infectious Diseases Act 1988 [Act 342]. Semua fasilitas pelayanan kesehatan di Malaysia, baik pemerintah maupun swasta, harus melaporkan secara real time semua kasus Covid-19 yang mereka temui. Informasi rutin tentang pola dan perkembangan Covid-19 di negara kita tentu akan baik kalau secara berkala diinformasikan secara luas.
Kedua, tentang vaksinasi maka memang anjuran umum bagi kelompok risiko tinggi adalah untuk mendapatkan vaksinasi Covid-19 setahun sesudah vaksinasi terdahulu. Waktu saya di New York untuk menikahkan putri saya, pada awal Mei 2025 yang lalu, maka di berbagai toko Farmasi CVS besar di New York selalu ada pojok untuk vaksinasi, termasuk juga Covid-19. Walaupun, tidak ada peningkatan kasus di Amerika Serikat (AS) saat ini.
Seperti disampaikan di atas, di Singapura JN.1 juga merupakan varian yang dominan beredar, dan JN.1 juga yang digunakan untuk formulasi vaksin Covid-19 yang dipakai di negara Singapura. Kita nampaknya belum ada data tentang varian atau sub varian yang beredar di Indonesia yang secara jelas dihubungkan dengan ketersediaan vaksin di negara kita.
Ketiga, kita tentu perlu memantau dengan intensif pola perubahan epidemiologis negara tetangga dan juga negara-negara lain di dunia, antara lain dengan kerja sama ASEAN dan juga dengan WHO. Hanya dengan perkembangan data yang jelas, maka kebijakan yang tepat dapat dilakukan.
Kita perlu menyadari bahwa Covid-19 memang masih ada di tengah kita. Jadi, karena ada kasus maka tentu saja ada kemungkinan variasi peningkatan kasus dari waktu ke waktu. Yang penting variasi epidemiologis ini dipantau ketat, bukan hanya perubahan jumlah kasus dan kematian tetapi juga pola genomiknya.
Secara umum, saat ini tentu tidak diperlukan pembatasan kedatangan warga dari negara tetangga, dan belum perlu juga pembatasan kunjungan warga kita ke negara tetangga. Untuk masyarakat, perilaku hidup bersih sehat (PHBS) harus terus kita jaga dan terapkan. Ini akan meningkatkan daya tahan tubuh kita, baik menghadapi kemungkinan Covid-19 ataupun penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Ingatlah bahwa kesehatan merupakan aset utama kita, yang perlu selalu kita jaga dan beri prioritas utama.
Akhirnya, secara umum kita dapat katakan bahwa peningkatan kasus COVID-19 di beberapa negara tetangga perlu kita amati dengan cermat, tentu tidak perlu panik tetapi jelas harus waspada.
Baru-baru ini Indonesia masuk dalam kelompok negara-negara Pasifik Barat dalam kategori WHO, di sini Indonesia satu kelompok dengan Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Apa dampak perubahan kelompok ini, apakah sistem kesehatan Indonesia bisa dibandingkan dengan negara-negara tersebut? Atau perubahan kelompok ini apakah bisa mendorong Indonesia untuk lebih baik lagi dalam sistem kesehatannya?
Pada World Health Assembly (WHA) bulan Mei yang lalu, Indonesia pindah dari WHO South East Asia Region (SEARO) atau WHO Asia Tenggara yang kantornya di New Delhi, ke WHO Western Pasific Region (WPRO) atau WHO Pasifik Barat yang kantornya di Manila. Memang pengesahannya pada WHA bulan yang lalu, tapi prosesnya sudah panjang sejak tahun yang lalu.
Pemindahan seperti ini akan dibicarakan dulu di regional awal, dalam hal ini SEARO, dan lalu dibicarakan lagi di regional yang baru dalam hal ini WPRO, baru lalu dibicarakan di WHO pusat di Jenewa, Swiss.
Pada dasarnya semua regional WHO tentu melakukan kegiatan-kegiatan kesehatan masyarakat yang berjalan baik, sesuai bukti ilmiah terbaru (evidence-based). Jadi di regional manapun satu negara berada, tidak akan terlalu banyak bedanya.
Di WPRO, salah satu keuntungannya adalah karena kita bersama dengan delapan negara ASEAN lain, kecuali Thailand dan Myanmar yang tadinya sama-sama kita di SEARO. Artinya, kerja sama WHO dan ASEAN jadi lebih mudah koordinasinya. Disebutkan bahwa dalam WPRO ada cukup banyak negara besar di kawasan ini, serta juga orientasi ke negara-negara Pasifik Barat.
Di sisi lain, kalau di SEARO tadinya hanya ada sebelas negara, sementara WPRO adalah 37 negara. Kalau ada giliran (pertemuan) tahunan, kita tinggal menunggu 11 tahun sekali di SEARO. Dengan menjadi anggota WPRO, kita harus menunggu setiap 38 tahun sekali.
Juga, kalau ada team teknis tertentu di WHO, biasanya jumlah anggotanya berimbang dari setiap regional. Di SEARO kita bersaing dengan sebelas negara, sementara di WPRO bersaing dengan 37 negara, termasuk Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea, dan Cina.
Saya sebelum kerja di WHO sering sekali jadi anggota berbagai tim kerja WHO. Yang dari negara WPRO seringkali diwakili negara-negara seperti Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea, dan Cina. Perlu juga diperhatikan tentang bagaimana Flexible Fund yang akan kita tanggung di WPRO ini dibandingkan dengan SEARO, serta bagaimana pula kondisi dan status kantor perwakilan WHO di negara kita nantinya.
Indonesia pernah menduduki pimpinan tertinggi WHO regional SEARO, yaitu Dr. Uton Rafei sebagai Regional Director WHO SEARO. Di WHO itu ada direktur jenderal di Jenewa, dan ada enam direktur regional di berbagai kawasan, seperti SEARO, WPRO, Amerika, Eropa, Afrika, dan Mediterania Timur. Selain sebagai pimpinan puncak, juga ada beberapa orang Indonesia yang pernah menjadi direktur di SEARO, katakanlah semacam pejabat eselon 1 di regional WHO.
Tentu kita harapkan agar prestasi ini dapat juga dirintis di kawasan baru WPRO. Mudah-mudahan akan ada regional director dan beberapa direktur WPRO yang berasal dari Indonesia. Hal ini punya dampak ganda. Pertama, menunjukkan peran aktif kita dalam diplomasi kesehatan internasional dan kesehatan dunia. Kedua, punya dampak positif bagi kesehatan masyarakat bangsa kita.