
Wajah Bagas (bukan nama sebenarnya) terlihat muram saat menceritakan lagi pengalamannya lepas dari lembah hitam. Pekerja lepas di sebuah rumah produksi film tersebut mengingat bagaimana sabu pelan-pelan merenggut dirinya dan rutinitasnya.
Awalnya, ia menggunakan sabu untuk bersenang-senang pada 2016. Namun, dia akhirnya menjadi pengguna rutin barang haram itu. Salah satu alasannya adalah kejenuhan saat pandemi Covid-19 hingga ingin meningkatkan performa pekerjaan. Alasan lainnya, rasa ketagihan yang menurutnya tidak bisa ditolak.
"Bikin percaya diri, untuk mempersuasi orang lebih mudah, tidak ada rasa malu, bisa telepon klien kapan pun," kata pria berusia 38 tahun itu kepada Katadata.co.id, belum lama ini.
Bagas baru bisa lepas dari jerat sabu pada 2023. Namun dalam prosesnya, dia harus melalui jalan berliku, bahkan sempat ditangkap dua kali oleh polisi. “Enggak akan ada habisnya kalau (konsumsi sabu) diikutin terus,” katanya.
Bagas merupakan potret buram jerat narkoba di kalangan masyarakat Indonesia. Pengedar sabu kini menyasar kelas menengah dan pekerja, berbeda dengan masa lalu di mana narkotika jenis ini menjadi barang konsumsi masyarakat kelas atas.
Direktur Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) periode 2010-2012, dr. Diah Setia Utami Sp.KJ, mengatakan saat ini peredaran sabu semakin berbahaya karena bisa dinikmati berbagai kalangan.
"Zaman dulu harus punya uang (banyak) kalau mau jadi pengguna, sekarang tidak perlu kaya karena (sabu) bisa dijual secara eceran," kata Diah lewat sambungan telepon kepada Katadata.co.id, Jumat (20/6).
Diah mengatakan, bandar narkoba kini bisa menjual sabu kepada masyarakat dengan harga Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta per gram. Beberapa tahun lalu, harga narkoba jenis ini bisa mencapai Rp 2,5 juta per gram.
"Bahkan sekarang bisa dibuat menjadi paket kecil, Rp 100 ribu dua kali hisap," katanya.
Bahaya sabu juga mengintai masyarakat kelas menengah hingga para professional karena dianggap sebagai pelarian dari penatnya pekerjaan. "Misalnya, pada posisi manajer ke atas, untuk rileks dari target pemasaran, maka mereka gunakan (sabu) supaya bisa bekerja 24 jam atau lebih," kata Diah.
Tak hanya itu, Diah mengatakan peredaran sabu juga telah menembus masyarakat kelas bawah. Alasannya sama dengan kelas menengah: para pecandu perlu memacu daya tahan demi kebutuhan ekonomi dan target kerja. Ia lalu menceritakan pengalamannya berinteraksi dengan para pecandu yang merupakan kuli dan tukang ojek di Kampung Muara Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
"Saya wawancara, ternyata alasan mereka karena faktor ekonomi," kata Diah.
Dari wawancara yang dilakukannya, Diah mengatakan, sejumlah kuli panggul memerlukan sabu agar mampu lebih lama melakukan bongkar muat barang dari kapal. Imbalannya, mereka akan mendapatkan upah lebih besar.
“Kalau kurir, mereka menggunakan sabu agar bisa berkendara lebih lama dan menjangkau wilayah lebih banyak, fee-nya bisa naik,” kata Diah.
Masifnya peredaran sabu juga diakui konselor adiksi yang menangani langsung pecandu narkoba. Seorang konselor dari yayasan rehabilitasi Asy Griya Mandiri, Rully Prayogi, mengatakan semua kalangan kini bisa terancam bahaya sabu.
“Bahkan, pengamen ondel-ondel juga bisa kena," kata konselor yang akrab dipanggil Yogi itu saat berbincang dengan Katadata.co.id beberapa hari lalu.
Yogi mengatakan, mereka yang hanya sesekali menggunakan sabu, dinilai masih berstatus pengguna rekreasional. Namun, pengguna yang memakai sabu secara rutin dan harian pertanda mereka sudah masuk tahap kecanduan.
“Akhirnya sabu yang mengontrol dia, bukan dia yang mengontrol sabu," katanya.
Menurut Yogi, menangani pasien adiksi sabu bukan hal yang mudah. Ini karena potensi pengguna untuk kembali mengonsumsi sabu sangat besar. Ia mengatakan tak ada pengguna yang mampu sembuh 100 persen.
"Rasio suksesnya empat banding satu. Empat orang kembali menggunakan sabu, hanya satu orang yang tidak," katanya.
Tantangan lain, banyak pasien yang merasa baik-baik saja dengan menggunakan sabu. Padahal, penggunaan barang haram tersebut berdampak pada kondisi psikologis, fisik, hingga finansial pasien. Belum lagi jika pasien tersebut harus menjual barang-barang mereka hanya untuk menggunakan sabu.
"Fase denial itu biasanya ada pada satu bulan dari penggunaan terakhir, Mereka merasa tidak ada masalah, cuma (merasa) apes saja," katanya.
Dampak Beruntun Narkoba, Merusak Mental hingga Menyebabkan Kecanduan Judi
Penanganan merupakan hal yang penting karena sabu bisa berdampak secara jangka pendek dan panjang ke fisik hingga mental pengguna. Diah mengatakan sabu atau methamphetamine adalah narkoba jenis stimulan yang merangsang dopamin di otak.
Dopamin adalah senyawa di otak yang berperan dalam menciptakan rasa senang dan antusias. Namun jika terus menerus dihujani metamphetamine, otak akan kehabisan kemampuan dalam merilis dopamin secara normal.
"Jadi akan sampai pada satu titik, tidak bisa senang dan bisa depresi. Kemungkinan terburuknya, ada rasa ingin bunuh diri," kata Diah.
Sabu juga bisa menyebabkan pasien dengan gangguan mental bertambah parah. Diah mengatakan, narkoba ini bisa menyebabkan gejala dari gangguan psikotik hingga manik bertambah berat.
"Halusinasinya bisa bertambah kuat, paranoidnya juga bisa kencang, apalagi jika berhenti secara mendadak. Buat yang (punya) gangguan Bipolar, bisa bertambah kencang karena perubahan kimiawi di otak," katanya.
Kondisi fisik pengguna juga bisa terancam penggunaan sabu. Diah mengatakan, pengguna sabu bisa memaksakan fisiknya terus bekerja keras karena antusiasme. Dampaknya, jantung akan bergerak cepat dan tekanan darah naik. "Bisa berisiko sakit jantung dan stroke," katanya.
Hal lainnya, pengguna sabu berpotensi terpapar candu lainnya, salah satunya judi online. Diah pernah melakukan studi terkait dampak sabu kepada pasien. Hasil penelitian yang dilakukan: seperempat dari pengguna sabu menjadi pecandu judi patologis.
"Bahkan ada pasien saya datang dengan utang Rp 70 juta (karena judi online)," kata Diah.
Bagas juga memperkuat pernyataan Diah. Ia mengaku pernah menghabiskan uang belasan juta dalam satu malam untuk bermain judi online sehabis menggunakan sabu. "Pernah habis Rp 14 juta sekali main," katanya.
Rehabilitasi Jadi Kunci
Rehabilitasi menjadi kunci kembalinya pengguna sabu ke masyarakat. Yogi mengatakan, Yayasan Asy Griya melakukan penapisan dalam tiga bulan terakhir kepada pengguna sabu sebelum rehabilitasi.
Screening dilakukan untuk mengetahui tingkat keparahan penggunaan narkoba, kondisi kejiwaan, hingga mengetahui hubungan pecandu dengan keluarga serta lingkungan sekitarnya.
Dia mengatakan, rehabilitasi kepada pengguna sabu juga bukan merupakan hal yang mudah karena sikap para pasien. Yogi mengatakan dalam rehabilitasi, konselor akan berfokus untuk memangkas penyangkalan para pasien.
Salah satu caranya dengan menerapkan terapi berbasis komunitas. Tujuannya, memangkas sifat buruk para pasien karena dampak penggunaan sabu. Yogi mengatakan situasi dalam terapi ini biasanya berlangsung sangat intens.
"Semua duduk melingkar, ada konfrontasi, mulai dari cara bicara, cara duduk. Itu yang biasanya teman-teman konfrontasi," kata Yogi yang juga mantan pecandu itu.
Perawatan model tersebut akan memakan waktu 3 hingga 6 bulan. Masalahnya, tak mudah bagi mantan pasien untuk benar-benar sembuh, apalagi jika mereka sudah keluar dari rehabilitasi.
"Kalau support system ada dan ingin berubah, mereka akan datang rehabilitasi, itu yang rata-rata sukses. Bukan sekadar formalitas," kata Yogi.
Lingkungan juga menjadi kunci agar pengguna tak kembali masuk rehabilitasi. Mantan junkie atau pecandu juga perlu memutus akses mereka dari narkoba dan lokasi rawan penyebaran narkotika.
"Kalau klien saya masih memilih hidup di Kampung Ambon atau Boncos, saya akan realistis. Setidaknya dia tidak meninggal (karena narkoba)," katanya merujuk pada dua daerah di Jakarta yang dikenal sebagai sarang narkoba.
Usaha untuk memutus peredaran narkoba di tengah masyarakat juga ditegaskan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Marthinus Hukom. Marthinus mengingatkan masyarakat terutama di pesisir agar tak tergoda menjadi kurir atau pengedar.
Marthinus juga meminta masyarakat membangun kesadaran bahwa narkoba adalah ancaman yang bisa melemahkan sumber daya manusia Indonesia secara keseluruhan. Jenderal polisi bintang tiga itu lalu merujuk faktor sejarah.
"Kita harus belajar dari sejarah, seperti Perang Candu, di mana negara dilemahkan melalui ketergantungan masyarakatnya terhadap narkoba," kata Marthinus dalam wawancara khusus dengan Katadata.co.id di Batam, Kepulauan Riau pada 22 Mei 2025.
Pernyataan Marthinus disampaikan usai BNN bersama TNI Angkatan Laut serta Direktorat Jenderal Bea Cukai sebelumnya menyita 2 ton sabu dari Kapal MT Dragon Sea Tarawa di perairan Kepulauan Riau. Dalam pernyataan pers, Marthinus mengatakan tangkapan tersebut merupakan yang terbesar dalam sejarah Indonesia.
Diah Setia Utami mengatakan, permasalahan sabu ini merupakan isu global dan tak bisa dilakukan sendiri oleh BNN. Ia berharap seluruh pihak bisa bersinergi untuk menangkal penyebaran narkotika. "Tidak bisa jalan sendiri-sendiri," katanya.
Sedangkan, rehabilitasi harus tetap dilakukan demi mencegah mantan pengguna kembali memakai sabu. Diah lalu membagikan saran kepada mereka yang memiliki orang terdekat pengguna sabu.
"Jangan panik, ajak bicara secara dewasa. Jangan menghakimi, rangkul mereka," kata Diah.
Bagas juga mengakui keluar dari jerat sabu bukan hal yang mudah. Dia menyadari, jika tak menghentikan konsumsi, sabu bisa menghancurkan dirinya di masa depan.
"Gue juga melihat ibu gue, jangan membuat orang tua sedih," kata Bagas yang mengaku bisa keluar dari jerat sabu tanpa proses rehabilitasi ini.
Bagas juga merasa berhasil menahan keinginannya untuk menggunakan sabu lagi dalam dua tahun belakangan. Ia juga mengaku telah menolak ajakan kembali menggunakan narkoba. Caranya dengan mencari hobi lain, seperti bermain gim hingga mengulik film-film lawas.
"Orang pintar akan belajar dari kesalahan sendiri, tapi orang bijak akan belajar dari kesalahan orang lain," kata Bagas.