Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis pertengahan Mei lalu, Anthony Norman Albanese mengenang kisah 80 tahun silam saat Indonesia lahir, melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Perdana Menteri Australia itu menyatakan, salah satu negara yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia secara terang-terangan adalah Australia.

“Ini kebanggaan bagi partai yang saya pimpin,” ujar Anthony yang berdiri di samping Presiden Prabowo Subianto. Sejak enam tahun lalu, dia memegang kendali Partai Buruh. Pada 1945, partai yang dipimpin Joseph Benedict Chifley, juga menjabat Perdana Menteri, ini pun memberi sokongan atas kemerdekaan Indonesia.

“Bapak Presiden, saat ayah Anda berjuang menggalang penolakan internasional terhadap blokade Belanda, para pekerja di Australia memboikot kapal-kapal Belanda di pelabuhan-pelabuhan kami,” kata Anthony. Ayah Presiden Prabowo yang dimaksud yakni Sumitro Djojohadikusumo. Belanda memang melancarkan blokade ekonomi mulai akhir 1945 untuk menghancurkan perekonomian Indonesia yang baru merdeka.

Kala itu, Sumitro termasuk pelajar Indonesia di luar negeri yang kembali ke Tanah Air. Dalam buku Kredit Rakyat di Masa Depresi disebutkan dia kembali ke Indonesia pada 14 Maret 1946 setelah mewakili Indonesia di suatu sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa di London, Inggris.

Ia memang aktif sebagai wakil kepala misi delegasi Indonesia untuk PBB dari 1946 hingga 1950. Dia mengadvokasi dukungan internasional bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia, satu di antaranya menangani taktik blokade ekonomi oleh Belanda.

Di saat itu pula Sumitro memimpin Banking and Trading Corporation, suatu badan perdagangan semi-pemerintah. Pendekatan dengan Isbrantsen Inc., perusahaan swasta Amerika Serikat, misalnya, berhasil membuka keran ekspor Indonesia untuk sejumlah komoditas, seperti gula, karet, dan teh. Upaya lain menembus blokade yakni melakukan diplomasi beras ke India.

Pada saat bersamaan, Sumitro berkecimpung di Kementerian Keuangan yang saat itu dijabat Soerachman Tjokrodisurjo pada masa Kabinet Sjahrir. Tapi salah satu tugasnya juga lintas kementerian, yaitu menjadi Ketua Redaksi Berita Perekonomian. Di posisi ini, dia memiliki akses ke sejumlah peristiwa di masyarakat hingga lapisan bawah, sekaligus kebijaksanaan yang dijalankan pemerintah.

“Di sini perhatian Sumitro sudah mulai mendua, di satu sisi sebagai pejabat dan di lain sisi sebagai pengamat ekonomi,” kata Dawam Rahardjo dalam pengantar terjemahan disertasi Sumitro, Het Volkscredietwezen in de Depressie. “Kedudukannya ini menyebabkan ia selalu menyelipkan pandangan-pandangan politiknya dalam analisa-analisa ekonomi empirisnya.”

Sumitro Muda dan Rakyat Jelata

Libur sekolah menjadi waktu berarti bagi Sumitro Djojohadikusumo, remaja kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, 29 Mei 1917, terutama untuk mengenal lingkungan hingga rakyat jelata. Pada awal 1930, dia menjadi pelajar di Hogere Burgerschool yang lebih sering diingat sebagai HBS, di Jakarta. Ini sekolah menengah yang didirikan Belanda pada 1863.

Tidak sembarang anak bisa belajar di sana. Pemerintah kolonial hanya menerima siswa dari keturunan Belanda, Eropa, Cina, dan kalangan elite pribumi. Dan keluarga Sumitro merupakan pribumi terhormat. Ayahnya, Raden Mas Margono Djojohadikusumo, seorang pegawai negeri golongan menengah ke atas di Hindia Belanda. Ketika itu, Margono menjabat Inspekteur van het Volkscredietwezen.

Di awal kemerdekaan, RM. Margono yang duduk sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung mengusulkan pembentukan bank sentral untuk mendukung stabilitas ekonomi negara. Lalu didirikanlah Bank Negara Indonesia (BNI) yang berwenang untuk menerbitkan Oeang Republik Indonesia.

Kemudian, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1946, BNI ditetapkan sebagai bank sirkulasi. RM. Margono menjadi direktur utama yang pertama bank ini hingga empat tahun sampai BNI bertindak sebagai bank devisa. Pada 1955, BNI menjelma bank umum dan membuka cabang pertama di luar negeri yang terletak di Singapura.

Kembali ke era 1930-an, sebagai seorang inspektur yang menangani perbankan, RM. Margono kerap menyusuri pedesaan untuk inspeksi ke lembaga perkreditan masyarakat desa. “Sebagai murid sekolah dasar, pada setiap kesempatan masa libur, saya diajak ayah ikut perjalannya ke banyak desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur,” kata Sumitro dalam pengantar buku Kredit Rakyat di Masa Depresi.

Dalam situasi depresi ekonomi yang melanda dunia mulai 1930 itu, dia melihat antrean penduduk desa yang berjejalan untuk mendapat pinjaman dari lembaga-lembaga perkreditan desa. “Hanya untuk bisa mempertahankan hidup,” ujarnya.

Kondisi mengenaskan ini lebih terasa jika kemarau melanda pusat-pusat produksi beras di Jawa. Panen berantakan, setidaknya tak maksimal. Beban hidup makin berat. Utang para petani dengan variasi skemanya makin menumpuk, juga yang terlanjur menggantungkan hidupnya kepada para tengkulak, pedagang perantara yang waktu itu perannya belum begitu dipahami oleh Sumitro.

Pengalaman-pengalaman tersebut begitu membekas bagi Sumitro remaja, terutama terkait kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang memperlihatkan berbagai ketimpangan. Dia melihat pemerintah kolonial tidak bisa berperan dengan baik dalam mengatasi problem tersebut. Blusukan ini pula yang membentuk ‘kesadarannya’ mengenai ekonomi kerakyatan.

Mungkin karena itu, ketika telah menyelesaikan HBS pada 1935, dia tak berniat mendapatkan beasiswa dalam menempuh pendidikan tinggi. Fasilitas ini hanya tersedia bagi yang masuk militer atau menjadi ‘Indolog’ di Leiden. “Karena itu berarti bekerja untuk Belanda di kemudian hari,” kata Sumitro dalam Recollection of My Career yang terbit dalam Bulletin of Indonesian Economics Studies pada 1986.

Semula, dia tidak begitu tertarik mengikuti kuliah ekonomi. Perhatiannya lebih tergoda untuk mempelajari filsafat dan sastra. “Tetapi saya ingin memahami apa yang sedang terjadi di negara saya sendiri dan di dunia,” ujarnya. “Saya mencoba mencari tahu mengapa rakyat saya tertindas dan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.”

Karena itu pilihannya jatuh pada Nederlandse Economicshe Hogeschool -kini bernama Erasmus Universiteit Rotterdam- dengan pengorbanan yang besar ayahnya. Di sini karier perkuliahannya cukup cepat. Pada 1940, ketika Sumitro masih 23 tahun, sudah masuk program doktoral, dan sekitar dua tahun kemudian disertasinya selesai dituliskan.

Karya akademik yang ia angkat berlatar dari blusukan sang ayah yang kerap ia ikuti saat inspeksi. Sumitro memotret ketimpangan struktural ekonomi masyarakat pedesaan. Hal ini dilihat dalam kacamata perkreditan para petani dan produsen kecil yang menempati kedudukan amat lemah disandingkan dengan golongan lain dalam struktur mata rantai perdagangan.

“Golongan terakhir ini relatif amat kuat karena kedudukannya dan peranannya secara defakto bersandar pada kombinasi oligopoli dan oligopsoni,” ujar Sumitro. Oleh Nederlandse Economicshe Hogeschool, disertasinya diterbitkan pada 1943 dengan judul Het Volkscredietwezen in de Depressie.

Sumitro Sang Teknokrat

Setelah menjejakkan kaki di Tanah Air pada 1946, pemerintahan Presiden Sukarno-Hatta, dengan kabinet-kabinet yang silih berganti, menyerahkan sejumlah tanggung jawab kepada Sumitro Djojohadikusumo. Hendra Esmara, profesor ekonomi Universitas Andalas, yang membuat buku dan sejumlah tulisan perjalanan dan pemikiran Sumitro menyebutkan, pada 1946-1948, Sumitro juga ditempelkan sebagai pembantu dan staf Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Menurut Esmara, dua tahun itu merupakan jembatan yang begitu berarti bagi karier politik Sumitro pada tahun-tahun berikutnya. Sebagai pemuda yang belum genap 30 tahun, Sumitro mulai mengenal seluk-beluk pemerintahan. Dengan posisi Sutan Sjahrir sebagai Ketua Partai Sosialis Indonesia ketika itu, Sumitro juga mulai bersentuhan dengan politik praktis.

Di kancah global, Sumitro mengemban amanah sebagai Wakil Utusan Indonesia untuk PBB, juga merangkap Komisaris Perdagangan di New York, Amerika. Salah satu tugasnya yaitu menggalang dukungan internasional untuk kemerdekaan Indonesia.

Pada pidato 22 Februari 1949 di hadapan peserta School of Advanced International Studies, misalnya, dia meyakinkan dunia internasional bahwa tindakan kolonialisasi Belanda di Inonesia tidak berdampak pada perbaikan tingkat hidup masyarakat. Kondisi sebaliknya terjadi selama berabad-abad penjajahan, teruatama semasa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

“Keadaan demikian harus dilihat tidak saja dari sudut hubungannya dengan meningkatnya produksi seluruhnya melainkan pula dari sudut pembagian hasi produksi. Sedangkan penghasilan ekspor mencapai ratusan juta rupiah dan dolar setiap tahunnya, orang-orang Indonesia hidup atas tingkat segobang sehari,” kata Sumitro saat berpidato di Washington D.C sebagaimana tertuang dalam buku Persoalan Ekonomi di Indonesia. Kala itu, segobang senilai 2,5 sen.

Setelah melalang buana sebagai diplomat, Sumitro diangkat menjadi Menteri Perdagangan dan Industri dalam Kabinet Natsir pada 1950-1951. Di antara tugas utamanya yakni mengurangi defisit anggaran belanja negara. Situasi ekonomi nasional ketika itu cukup buruk. “Kas negara kita kosong. Persediaan devisa tidak ada dan keadaan ekonomi kacau,” ujarnya.

Gebrakan lain yang dijalankan yaitu mengeluarkan Rencana Urgensi Perkembangan Industri, 1951-1952. Ini merupakan program untuk mengembangkan industri dalam segala tingkat, dari yang kecil, menengah, hingga besar. Di sini, Sumitro memberi peran besar kepada usaha-usaha pemerintah. Bagi dia, industrialisasi merupakan kata kunci agar Indonesia keluar dari imbas penjajahan Belanda, juga untuk menggerakkan perekonomian agar menjadi negara maju.

Ketika program itu dijalankan muncul polemik antara Sumitro dan Sjafruddin Prawiranegara, Gubernur Bank Indonesia ketika itu. Saling debat secara terbuka muncul di sejumlah media masa, termasuk jurnal. Sjafruddin yang seorang bankir menilai bahwa untuk menjalankan industrialisasi butuh modal besar. Sementara kas negara ketika itu begitu cekak, bahkan defisit.

Selain itu, menurut Tarli Nugroho ketika menggambarkan polemik kedua orang itu kepada Katadata, Sjafruddin menilai sumber daya manusia ketika itu dianggap belum mampu untuk melakukan industrialisasi. “Yang ketiga, masyarakat masih hidup di sektor agraris. Jadi tidak cocok gagasan Sumitro ini,” demikian pandangan Direktur Riset dan Pemikiran Institut Peradaban ini yang juga penulis buku Polemik Sumitro-Sjafruddin.

Sejumlah catatan menyebutkan program ini memang belum begitu berhasil di tengah situasi politik yang kerap memanas, terutama di industri menengah dan besar. Adapun industri kecil cukup terbantu.

“Profesor Sumitro memang menaruh perhatian yang lebih besar terhadap pengembangan masyarakat kecil. Beliau menginginkan diberikannya kesempatan pengusaha-pengusaha nasional untuk melaksanakan ‘pesan-pesan’ pemerintah dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan asing yang telah besar dan kuat,” kata Hendra Esmara dalam “Sumitro Djojohadikusumo: Ekonom Indonesia Sepanjang Masa”.

Situasi politik di awal kemerdekaan yang terus bergejolak -karena faktor eksternal maupun internal- ini menyebabkan kabinet kerap berubah. Dalam silih berganti kabinet, setelah era Natsir, Sumitro sempat ditunjuk sebagai Menteri Keuangan pada masa Wilopo (1952-1953) dan Burhanuddin Harahap (1955-1956).

Ketika mengemban amanah baru di Kabinet Wilopo, perekonomian Indonesia makin memburuk. “Keadaan keamanan, yang banyak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan keuangan negara mengkhawatirkan. Dalam lapangan perekonomian sampak suatu ketegangan. Harga-harga dalam pasar dunia turun. Kedudukan Indonesia sebagai eksportir makin jelek,” demikian Sumitro menggambarkan situasi saat itu.

Setelah Kabinet Burhanuddin, Sumitro mengalami gelombang politik besar. Perbedaan pandangan dengan Presiden Sukarno yang makin dekat dengan Partai Komunis Indonesia membuat hubungan keduanya merenggang. Keadaan memanas saat Sumitro memilih jalan oposisi dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pilihan politik ini berujung dengan langkah Sumitro meninggalkan Indonesia pada 1957.

“Tidak seorang pun dapat menuduh saya sebagai antek Sukarno mengingat ia telah memberi harga untuk kepala saya pada tahap tertentu,” kata Sumitro kepada dua anggota dewan redaksi Bulletin of Indonesian Economics Studies, Anne Booth dan Thee Kian Wie. “Tetapi saya sangat menghormatinya meskipun saya mengkritik keras kebijakannya. Saya masih menganggap Sukarno sebagai pemimpin politik yang hebat.”

Jadilah Sumitro dan keluarganya pengelana di luar negeri sejak saat itu. Dia baru kembali ke Indonesia sepuluh tahun kemudian, ketika rezim berganti ke Orde Baru. Di awal pemerintahan Presiden Soeharto, Sumitro bergerak di bidang swasta dengan mendirikan biro konsultan bersama Mochtar Lubis, PT Indoconsult.

Pada 1968 Soeharto mengangkatnya sebagai Menteri Perdagangan pada Kabinet Pembangunan I. Lalu di Kabinet Pembangunan II, Sumitro dipercaya menduduki Menteri Negara Riset. Di Kabinet Pertama, dia mengembangkan lembaga-lembaga perdagangan, seperti Lembaga Pengembangan Ekspor Nasional dan mereorganisasi Akademi Dinas Perdagangan.

Sebagai Menteri Riset, dia menekankan perlunya pemikiran jangka panjang dalam membangun bangsa dan negara. Ada tiga hal yang menjadi penekanannya yaitu, meningkatkan kemampuan sumber daya manusia, sumber daya alam, dan pengembangan teknologi. Secara kelembagaan, misalnya, terwujud dalam Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) di Serpong.

Menurut Hendra Esmara, alur pemikiran dan kebijakan Sumitro dari era pascakemrdekaan, Orde Lama, hingga Orde Baru menitikberatkan pada kebijaksanaan pembangunan. Dengan ekonomi pembangunan, Sumitro mengadakan pembaruan pemikiran, pada waktu itu, mengenai masalah-masalah pembangunan dengan bertitik tolak pada pandangan negara-negara berkembang, bukan negara-negara maju yang memiliki struktur ekonomi dan sosial berbeda.

Untuk merumuskan sasaran kebijakan ekonomi ini mesti dirancang menurut skala prioritas yang tepat. “Sasaran ini mengharuskan adanya program dengan tata laksana yang sistematis dan berencana yang terus-menerus harus disempurnakan dan disesuaikan dengan kebutuhan masa depan,” kata Sumitro ketika menerima piagam Penghargaan Hatta saat ulang tahun Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia ke-30 pada 27 Januari 1985.

Formula pembangunan seperti ini yang kemudian menjelma menjadi rencana pembangunan lima tahun atau Repelita di era Orde Baru. Konsistensi pemikiran dan kebijakan yang dijalankan Sumitro tersebut yang membuatnya dianggap sebagai Bapak Pembangunan Nasional.

Pelopor Pusat Kajian dan Keilmuan

Pada akhir 1988, Purnomo Yusgiantoro kembali dari Amerika Serikat setelah menyelesaikan pendidikan pascasarjananya. Kala itu, Penasihat Presiden Prabowo Subianto untuk Bidang Energi ini baru menggondol gelar doktor dari Colorado School of Mines.

Sesampainya di Indonesia, Purnomo bergabung dan berkarya di Resource Development Consultants. Redecon ini lembaga riset swasta yang sangat aktif pada 1970-an hingga 1980-an yang didirikan oleh Sumitro Djojohadikusumo. “Lembaga ini memainkan peran strategis dalam membantu pemerintah dan sektor swasta merancang berbagai strategi pembangunan, termasuk proyek-proyek infrastruktur dan industri,” kata Purnomo kepada Katadata.

Menurut Purnomo, selain dikenal sebagai arsitek awal ekonomi pembangunan Indonesia, Sumitro merupakan salah satu pionir dalam pendirian think tank dan lembaga riset independen di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar sebuah kebijakan publik mesti berlandaskan pada kajian ilmiah.

Selain mendirikan Redecon, Sumitro membangun Indoconsult Associates dan Center for Policy and Implementation Studies (CPIS). “Beliau berfokus pada penelitian ekonomi, perencanaan pembangunan, dan konsultasi kebijakan publik,” ujar Purnomo. “Pemikiran Soemitro menekankan pada kombinasi antara perencanaan negara dan mekanisme pasar, sejalan dengan pendekatan developmental state.”

Jauh sebelum itu, sebagai doktor ekonomi pertama selagi Indonesia masih dalam jajahan Belanda, Sumitro telah menaruh perhatian besar dalam menyiapkan sumber daya manusia melalui pendidikan. Karena itu dia turut menginisiasi pendirian Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 18 September 1950.

Sumitro menjadi dekan kedua setelah Sunarjo Kolopaking yang hanya beberapa bulan menduduki posisi tersebut. Di sini dia mulai mengenalkan secara sistematis mengenai ekonomi pembangunan di kelas-kelas perkuliahan. “Peranan sebagai pengajar memaksa saya untuk terus-menerus mengikuti perkembangan dunia teori serta mendalami pemikiran-pemikiran ekonomi yang waktu itu berkembang pesat di banyak cabang ekonomi,” kata Sumitro.

Untuk memenuhi kebutuhan dosen di Fakultas Ekonomi -saat itu sebagian pengajar Belanda kembali ke negaranya- Sumitro mengirimkan murid-muridnya belajar ke luar negeri. Semula, beberapa orang hendak dikirim ke London School of Economics agar mereka memperoleh ilmu ekonomi sosialis modern. Namun beasiswa dari Inggris tidak ada.

Maka, menurut Dawam Rahardjo, Sumitro mengirim sejumlah muridnya seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Mohammad Sadli, dan Ali Wardhana ke Universitas California, Berkeley, Amerika atas biaya The Ford Foundation. Sumitro menjatuhkan pilihan tersebut, di antaranya lantaran Andreas Papandreou sebagai dekan di sana. Sumitro telah berteman dengan Andreas, seorang ekonom sosialis, ketika bekerja di lingkungan PBB.

Ketika memimpin Fakultas Ekonomi UI, Sumitro juga membentuk dua pusat penelitian pada 1952: Seminar Administrasi Niaga dan Pusat Penelitian Sosial, untuk mendukung kegiatan penelitian civitas akademik. Setahun kemudian, kedua pusat penelitian tersebut dilebur dan diubah namanya menjadi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) yang masih eksis hingga saat ini.

Pada tahun-tahun Demokrasi Parlementer (1950–59) ini, pemerintahan tidak stabil. Persaingan ideologi partai-partai politik besar mengakibatkan kabinet jatuh-bangun. Dampaknya, program pembangunan ekonomi tidak berjalan semestinya.

Di tengah situasi tersebut, dan menjelang pemilihan umum pertama, Sumitro mendirikan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) pada 14 Januari 1955. Organisasi profesi tersebut didirikan untuk memajukan bidang ekonomi, meningkatkan kualitas pendidikan ekonomi, serta meningkatkan keterampilan dan pengetahuan para sarjana ekonomi di Indonesia.

“Langkah Sumitro mendirikan ISEI boleh dikatakan “revolusioner” karena organisasi ini diharapkan dapat berkontribusi langsung untuk mengatasi berbagai masalah konkret seperti kemiskinan,” demikian di antara petikan Kelampauan, Kekinian, dan Hari Depan, buku yang terbit untuk memperingati 70 tahun ISEI pada Januari kemarin.

ISEI lahir pada saat rakyat terbagi menjadi pendukung ideologi berbeda yang direpresentasikan oleh partai-partai politik. Lantaran itu, pada masa-masa awal kehadirannya, ISEI kerap menjadi sasaran kritik dan hujatan para pendukung ideologi kiri. Hal itu karena para ekonom di dalam ISEI dinilai memiliki pemikiran yang berafiliasi dengan liberalisme di bidang ekonomi.

Fokus Sumitro memperkuat sumber daya manusia dan mengembangkan lembaga riset konsisten hingga Orde Baru. Di awal 1971, dia mendirikan Perhimpunan Indonesia untuk Pembinaan Pengetahuan Ekonomi dan Sosial (Bineksos). Menurut Tarli Nugroho, selain Sumitro, yang terlibat di sini antara lain Emil Salim, Koentjaraningrat, Selo Soemardjan, dan Billy Joedono.

Dari Bineksos ini lahir Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Lembaga think thank ini hasil kerja sama dengan Friedrich Naumann Stiftung. Nama-nama yang terlibat seperti Nono Anwar Makarim dan Dawam Rahardjo. “LP3ES merupakan lembaga pelopor yang pertama kali mengambil inisiatif proyek penulisan buku-buku daras yang membumi,” tulis Tarli dalam pengantarnya di Nasionalisme, Sosialisme, dan Pragmatisme.

Trilogi Pembangunan

Mulai 4 September 1984, dua pekan sekali wajah Sumitro Djojohadikusumo selalu muncul di layar kaca yang disiarkan oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI). Ia memberikan kuliah perdana seusai Presiden Soeharto memencet tombol peresmian Universitas Terbuka di Bina Graha, Jakarta.

“Saya diberi kehormatan untuk menyajikan kuliah perdananya,” kata Sumitro yang terpancar ke pelosok negeri bagi yang bisa mengakses televisi.

Ada sejumlah topik yang dia sampaikan selama dua bulan itu, di antaranya mengenai pertumbuhan ekonomi, penduduk, dan kesempatan kerja. Kemudian lalu lintas perdagangan dan peranan koperasi. Namun yang kerap diingat dan menjadi diskusi hingga hari ini yakni mengenai trilogi pembangunan dan kaitannya dengan Ekonomi Pancasila.

Menurut Sumitro, dalam pembangunan ada tiga unsur pokok yang mesti diperhatikan, yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas. “Ketiga unsur pokok ini dapat kita lihat sebagai tiga dimensi dalam proses perkembangan,” kata Sumitro.

Secara sederhana, untuk dapat memacu pertumbuhan ekonomi, perlu upaya serius untuk meningkatkan produksi nasional. Sehingga barang dan jasa yang tersedia mesti memenuhi kebutuhan jumlah penduduk. Namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan target tunggal.

“Masalah yang tidak kurang penting ialah seberapa jauh bertambahnya produksi barang-barang dan jasa-jasa itu berada dalam jangkauan daya beli sebagian besar penduduk,” ujarnya merujuk soal pemerataan. “Sehingga terpupuk rasa keadilan dalam hidup masyarakat. Lebih merata di antara golongan-golongan masyarakat.

Untuk mencapai sasaran kembar ini, pertumbuhan dan pemerataan, Sumitro menekankan  pentingnya faktor kehidupan masyarakat yang stabil. Karena itu harus dicegah timbulnya kekuatan-kekuatan yang saling berbenturan. “Stabilitas nasional merupakan syarat dalam penyelenggaran pembangunan, agar bertambahnya produksi barang-barang dan jasa-jasa dapat dinikmati oleh sebagian besar penduduk,” katanya.

Dengan beragam pemikiran dan kiprah tersebut, Ekonom Pusat Penelitian Ekonomi dan Pembangunan LIPI Thee Kian Wie, menyematkan kepada Sumitro sebagai salah satu arsitek utama kebijakan ekonomi Indonesia pascakemerdekaan. “Ia telah berperan penting dalam membentuk pendidikan beberapa generasi ekonom di Indonesia,” kata Thee ketika mengenang kepergian Sumitro yang meninggal pada 9 Maret 2001.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Editor: Yura Syahrul

Cek juga data ini